.
.
.
"Ketakutan ataupun rasa cemas dan resah yang dialami pasangan ketika menginjak momen pernikahan adalah hal yang wajar. Karena mereka menyadari bahwa pernikahan itu sakral. Pernikahan bukan hal main-main."
Hari sudah beranjak malam ketika Abimana memasuki kantornya. Seharian ini ia habiskan di luar kantor, bekerja di lapangan, melihat proses pembangunan proyek 2 tahun mereka yang sudah mulai dikerjakan tiga minggu lalu. Tubuhnya begitu letih. Ia menghela nafas berat ketika menyadari pasti pekerjaanya yang ditinggalnya seharian akan menumpuk di meja kerjanya. Ia sudah bisa membayangkan betapa dirinya akan kembali kerja lembur hingga tengah malam.
Setengah pekerjaannya sudah hampir ia selesaikan. Tinggal sedikit lagi dan ia bisa pulang dan beristirahat. Rasa lelahnya akan segera terbayar. Meskipun begitu, seharusnya kelelahannya ini bisa membuatnya tidur nyenyak di kasur dengan segera, tidak mencari masalah yang malah membuatnya dipusingkan dengan masalah lain.
Tapi, sepertinya kekalutannya akan proses lamarannya dengan Namira yang terbilang kurang dari seminggu lagi, membuatnya menjadi hilang akal. Ia marah dengan perempuan itu dengan alasan yang tidak jelas dan kekanak-kanakan.
Sepertinya.
Tidak sampai satu minggu lagi ia akan meminang perempuan itu. Ia jadi ingat ucapannya malam itu sebelum benar-benar meninggalkan ayahnya di ruang makan yang merubah segalanya. Ucapannya saat itu sepertinya mampu membuat ayahnya melunak. Rupanya sekali lagi ia masih memegang kendali untuk dirinya sendiri.
"Tapi, ayah harus siap-siap jika mas tidak mau membahas pernikahan lagi."
"Mas mau menikah hanya dengan Namira."
Abimana tersenyum kecil ketika mengingat ayahnya malam itu yang terkejut, diam mematung, dan tidak bisa membantah. Lagian, mana mungkin ayahnya itu bisa terus menentang jika ia katakan seperti itu. Dan akhirnya kemenangan memihak dirinya.
Sekeras apapun ayahnya menentang ia masih tidak terkalahkan. Tekadnya mampu menepis kekeraskepalaan ayahnya. Bukan salahnya jika ia keras kepala seperti ini, ia mewarisi sifat ayahnya. Seperti kata orang buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Dan Abimana sungguh menyadari itu.
Satu notifikasi masuk ke ponselnya, dengan tergesa ia mengambilnya dan menghela nafas berat ketika melihat siapa pengirim pesan di jam hampir sepuluh malam itu. Kara di sana. Sebuah pesan yang mengatakan jika pria itu tidak pulang ke Semarang dan langsung dari Bandung ke Jakarta saja pas acara lamarannya beberapa hari lagi.
Setelah mengirimkan balasan singkat, jemarinya membawanya untuk membuka ruang pesannya dengan Namira. Perempuan itu tidak mengabarinya lagi setelah pesan permintaan maaf yang dikirimnya pagi-pagi sekali. Abimana mendesah, merasa keputusannya yang mengabaikan pesan perempuan itu, malah terasa menyerang dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Problematika Orang Dewasa [Vol.2]
Romance[Sebenarnya apa permasalahan yang lebih pelik di alami orang dewasa?] Abimana Hanenda tidak pernah mengerti kenapa pekerjaannya yang sudah bagus ini tidak bisa membuat ayahnya merasa bahagia. Akhirnya, ia menyadari keputusannya tidak menuruti keingi...