Narasi | 7

25 0 0
                                    

Ini merupakan narasi ketujuh yang ada di au After Marriage

***

Abimana tidak pernah lupa hari itu. Hari di mana dia ketakutan hebat menunggu tanpa kepastian. Waktu yang terasa begitu lama sekali dengan harap cemas yang tak kunjung hilang. Dan sekarang kembali dia rasakan ketakutan itu. Sepanjang perjalanan dia hanya bisa menghela nafas gusar, cemas hampir mengisi penuh dirinya. Hingga dia tiba di rumah sakit, langkah kakinya melaju dengan cepat. Dia seolah kembali pada waktu itu, berdiri di depan ruangan yang tertutup rapat dengan degup jantung yang kian cepat.

Jemarinya bergerak ke arah pangkal hidungnya, menekannya kuat di sana, menyalurkan rasa frustasi yang mencekiknya sedari tadi. Pandangannya sayu menatap ke arah wanitanya yang terbaring lemas di bankar rumah sakit. Selang infus bercongkol di punggung tangan kirinya, meneteskan sedikit demi sedikit cairan agar masuk ke dalam tubuh Namira. Abimana mendesah, mendesah sekali lagi, hanya itu yang dia lakukan sedari tadi, duduk di kursi yang di bawanya mendekat dengan ranjang rumah sakit sembari mencengkeram kuat kedua tangannya yang bertaut.

"Istri anda mengalami pendarahan, tetapi beruntung dia dan bayinya kuat. Mereka bertahan."

Abimana kembali mengingat percakapannya dengan dokter tadi. Netranya bergerak ke arah perut Namira, lama diam di sana dengan benak yang berisik.

"Istri saya hamil?" Dia tidak percaya. Bukan! Dia terlalu terkejut mendengarnya.

Dokter perempuan itu mengangguk. "Empat minggu, Pak."

Abimana memejamkan matanya, tanpa sadar sudut matanya basah. Dia menangis dalam diam. Berkali-kali menghela nafas gusar, mencoba menghilangkan sesak yang menghimpitnya. Namira yang terbaring di hadapannya begitu pucat pasi, tampak tidak berdaya.

"Maafin mas, Na. Maaf." sesalnya.

Entah mengapa rasa bersalah menyerbu dirinya. Dia marah dan dia begitu kesal saat ini. Mengingat kejadian semalam, mengingat hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Namira pasti tertekan karena perselisihan mereka dan berakhir membuat wanita itu pendarahan. Setelah dia melihat bagaimana Namira semalam yang tampak tidak sehat, seharusnya dia bisa menghentikan pertengkaran mereka. Seharusnya dia menahan diri untuk tidak keluar malam itu. Seharusnya dia tetap tinggal dan memohon maaf kepada wanitanya. Seharusnya dia bisa membuat Namira untuk tidak pulang. Seharusnya mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sebelum Namira pergi. Dan ya seharusnya ... seharusnya ... yang hanya angannya. Sungguh terlambat.

Lama dia termenung menyalahkan dirinya sepenuhnya sembari memusatkan perhatiannya pada tubuh Namira yang terbaring lemah. Sampai ketika suara isakan pelan membuyarkan lamunannya. Abimana menegakkan badannya, menajamkan pandangannya hanya kepada Namira. Perempuan itu menggigit bibirnya kuat. Netra Abimana berpindah cepat kemana tangan Namira berlabuh.

"Perutnya sakit?"

Bisa Abimana lihat pupil mata Namira membesar, tampak terkejut. Mereka berpandangan cukup lama dengan isi kepala yang hanya mereka tahu satu sama lain. Lalu, selang berapa detik, dia menangis. Wanitanya menangis tersedu-sedu.

"Aku kehilangannya lagi." Suaranya lirih, terdengar diseret menahan kesakitan. "Aku kehilangan bayiku, mas."

Abimana memejamkan matanya, terasa sakit ketika melihat keadaan Namira yang hancur seperti ini. Dia berusaha mendekat, menggenggam erat tangan Namira, menggelengkan kepalanya berulang kali, mencoba menyadarkan Namira.

"Engga, Na." Dia balas berkata, mengeratkan genggamannya ketika menyadari Namira masih dengan pemikirannya. "Bayi kita selamat. Dia bertahan."

Namira mengerjap, tangisannya menghilang hanya berganti dengan sesegukan yang belum sirna. Perempuan itu menatap dengan gusar, mencari kebenaran dari matanya. Bibirnya terbuka seolah ingin berucap namun tidak juga bersuara.

Abimana tersenyum sembari mengangguk. Dia membantu perempuan itu setengah duduk kemudian memeluknya erat. Menyalurkan rasa sesalnya yang masih tersisa. "Maafin mas ya, Na. Maaf."

Namira tidak membalas pelukannya. Tidak ada telapak hangat yang ikut membalas usapan jemarinya di punggung Namira. "Maaf, Na. Mas salah. Seharusnya mas bisa lebih tahan emosi lagi." Dia ketakutan ketika tidak mendapati respon penerimaan dari istrinya. "Seharusnya mas tetap tinggal, kita selesaikan masalah kita dulu." Suaranya terdengar bergetar. Setiap katanya terasa sulit sekali dia ucapkan. "Bisa-bisanya mas biarin kamu pulang sendiri.. mas brengsek ya, Na." Sudut matanya berair dan semakin menumpuk kala pelukannya terbalas.

Namira tidak lagi menolaknya. Dan Abimana bisa sedikit merasakan ada desiran lega yang mengalir di darahnya. "Maaf sayang."

"Aku juga minta maaf mas. Aku salah," lirih perempuan itu. "Aku egois banget mas. Aku tau gak mudah buat kamu menghadapi kekeraskepalaanku. Maaf." Namira hanya mampu bersuara pelan.

Abimana menggeleng, "gak Na, mas yang salah di sini. Mas yang sudah buat kamu stres sampai keadaan kamu begini."

"Stop, mas, kita sama-sama salah di sini," Namira menyela. "Kamu berhenti nyalahin dirimu sendiri ya," ujar perempuan itu. "Aku gapapa sekarang dan bayi kita juga baik-baik ajakan."

"Makasih ya, Na." Pelukan mereka terlepas, Abimana mengusap wajah Namira lembut. "Kita jaga dia sama-sama ya."

Namira mengulum bibirnya. Perasaan haru melingkupinya sehingga rasanya dia ingin menangis.

"Jangan nangis!" Abimana menyentuhkan kedua jempolnya di pipi Namira, menyeka air matanya yang menetes.

"Kita bisakan mas jadi orang tua yang baik?"

Abimana terkekeh, "bisa sayang." Kedua ujung hidung mereka bersentuhan. "Kita pasti bisa jadi orang tua yang terbaik untuk anak kita kelak." Jawabnya. "Kita besarkan dia sama-sama ya, Na."

Abimana mengembangkan senyumnya lebar ketika melihat Namira tersenyum. Dia daratkan bibirnya di kening wanitanya cukup lama. Sampai suara samar yang menganggu terdengar, menghentikannya.

Dia terkekeh, "istri mas lapar ya?"

Namira hanya bisa menganggukkan kepalanya, terlalu malu untuk mengeluarkan suara.

"Ya udah, mas cari di kantin rumah sakit ya." Katanya. "Kamu tunggu di sini sebentar, sekalian mas panggilin dokter buat periksa kamu."

"Mas.."

"Iya, Na." Abimana berhenti di ambang pintu. Tangannya sudah menyentuh handle pintu, siap untuk membukanya. "Kenapa?" Dia menoleh ke belakang, ke ranjang tempat Namira duduk bersila.

"Aku bahagia nikah sama kamu." Jawab perempuan itu. "Amat sangat Bahagia, mas." Ada senyuman yang terukir di bibir Namira.

Abimana terpaku sesaat. Lalu, langkah kakinya melaju lebar kembali mendekati bankar rumah sakit. Ada usapan lembut di sebelah pipi Namira, sebelum Abimana mengecup bibir Namira. Mereka kembali memeluk satu sama lain, berbagi rasa bahagia mereka.

***

Problematika Orang Dewasa [Vol.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang