1 - Risiko Jadi Sahabat Niko

61 14 61
                                    

'Ketika cinta dilibatkan dalam persahabatan, lihatlah siapa yang paling lihai memainkan peran.'

***

Cewek memang selalu repot dalam segala hal, apalagi menyangkut sesuatu yang spesial. Contohnya hari perayaan.

Nikita Zhafira Adnan sudah merelakan waktu tidur normalnya semalam. Namun, pagi ini dia kembali sibuk dengan urusan kue, kado, dan menu makanan. Ibunya hanya bisa menghela napas, memilih pasrah ketika anaknya sudah mode riweuh.

"Bu, makanan udah siap, kan?" Pertanyaan yang sama kembali terulang dari mulut cewek bertubuh kurus itu.

Ibunya mengangguk sambil menghela napas. "Ajak Nikonya dulu, gih. Nanti keburu siang. Kalian telat ke sekolah takutnya."

Niki mengangguk semangat. Dia meletakan kado yang dibungkus dengan kertas warna cokelat motif Teddy Bear di atas meja. Kemudian, berjalan terburu-buru menuju pintu.

Rumah yang dituju hanya berjarak beberapa langkah. Tidak lima langkah juga meski terbilang berdekatan. Kedua rumah hanya dibatasi pagar tembok sedada dan beberapa pohon hias.

Hal paling penting yang menjadi perbedaan lainnya, tentu saja stratanya. Rumah Niki hanya berupa bangunan permanen satu lantai dengan ukuran tidak besar-besar amat. Rumah Niko terdiri dari dua lantai, memiliki halaman luas, dan di garasi depan ada satu mobil serta dua motor.

Seandainya Niki kenal Niko baru-baru ini, niscaya dia insecure duluan. Untungnya, mereka sudah kenal sejak orok, empat belas tahun lalu. Ketika itu mereka dipertemukan dalam acara ulang tahun sekaligus reuni dua sahabat yang adalah ibu mereka.

"Niko!" Tangan Niki yang mengepal, mengetuk pintu depan dengan keras berkali-kali.

"Tunggu, Neng!" Suara Bi Asih terdengar samar-samar di dalam, disusul langkah yang mendekat, kemudian pintu pun dibuka. "Mari masuk, Neng! A Nikonya masih di kamar."

Niki tersenyum manis. "Makasih, Bibi. Aku izin masuk, ya. Mau ke Niko. Ada urusan penting," cerocosnya sembari berjalan masuk.

Bi Asih kembali ke dapur untuk lanjut menyiapkan sarapan. Membiarkan tamu langganan yang sudah jadi bagian rumah ini berkeliaran. Memang, dia kenal Niki sejak pertama kali bekerja di rumah ini, tujuh tahun lalu. Jadi, sudah tidak heran kalau pagi buta mendapat tamu.

"Niko! Bangun, Nik!" Niki mengetuk pintu bercat cokelat keemasan kamar sahabatnya. Namun, sampai berulang kali, tetap tidak ada jawaban.

Tidak habis akal, dia mengeluarkan ponsel. Ketika tombol ditekan, layar pun terbuka dan menunjukkan waktu, pukul 05.45.

Dia menelepon Niko. Terdengar dering yang samar, tetapi panggilan tidak kunjung dijawab.

Niki berdecih, kembali melakukan panggilan. Akhirnya usaha kali ini membuahkan hasil.

"Apaan? Paket skincare, ya? Simpen aja di depan pintu. Aku masih di Alaska," racau Niko dengan suara pelan.

"Dih?" Niki menjauhkan ponsel dari telinga, melihat nomor yang dipanggil. "Bangun, Niko! Aku udah di depan kamarmu, nih."

"Hah? Udah mau akad, ya? Nanti dulu, lah. Aku masih pedekate sama Billie Elish," kata Niko, makin tidak karuan.

Helaan napas keluar dari mulut Niki. Pasti sahabatnya itu begadang lagi semalam sampai jam segini masih tidur.

Dia memutuskan panggilan. Dengan jengkel kembali mengetuk pintu, kali ini lebih kencang dan cepat.

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Niko muncul dengan tampilan kusut sampai ke rambut-rambut. Matanya mengerjap-ngerjap.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now