'Sahabat harusnya tidak mengekang. Kalau tidak mendukung, seengaknya jangan mengurung.'
***
Ada yang kebakaran tetapi bukan kayu. Namun, seandainya hati itu sebuah kayu, niscaya Niko sudah bisa mendengar bahkan merasakan bahwa hatinya perlahan-lahan patah. Bergemeratak tertimpa beban berlabel cemburu segede gaban yang menyesakkan dada.
Dia membuang muka, pura-pura sibuk pada ponsel saat melihat Niki datang bersama Joshua. Rasanya tangannya gatal ingin mendaratkan sebauh bogeman ke pipi cowok itu.
"Niko." Niki memanggil ragu-ragu, sampai suaranya lebih pelan dari yang diinginkan. Maka, dia mengambil napas untuk ancang-ancang dan kembali memanggil, "Niko?"
Kali ini suaranya lebih keras sehingga Niko yang pura-pura tuli pun terpaksa menoleh. Hanya menoleh karena mulutnya seperti ditempeli perekat transparan.
Joshua terlihat menampakkan senyum miring. Meski tatapan cowok jangkung itu terarah ke tempat lain, Niko sadar sasarannya adalah dirinya.
Sial, umpat cowok itu sambil menggertakkan gigi.
"Pergi aja sana!" usir Niko, telanjur kesal sampai tidak bisa mengontrol mulut.
Alis Niki langsung beradu, membuat keningnya berkerut. Belum lagi matanya yang menyipit. Matanya sudah agak sipit, tambah disipitkan malah membuat pandangannya jadi terlalu sempit.
Niki buru-buru kembali menormalkan tatapannya agar bisa melihat dengan jelas gerak-gerik Niko. Cowok itu tidak mau menatap ke arahnya lebih dari tiga detik, mulutnya terkunci rapat-rapat, dan tatapan tajam seolah mengibarkan bendera perang.
Reaksi seperti itu selalu ditampilkan Niko saat tahu dia sedang bersama Joshua.
"Ya udah, ayo, pergi!" celetuk Joshua yang mengejutkan Niki, termasuk Niko—hanya saja cowok itu pandai berakting.
"Ke ...?" Niki ingin mengeluarkan banyak kata, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk digerakkan. Jantungnya tiba-tiba berdebar lebih kencang dan cepat. Belum lagi rasa panik yang makin pekat menyelimuti.
Entah bagaimana awalnya, sekarang dia merasakan suasana menggelisahkan berdiri di antara dua cowok.
Joshua tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi matanya memberi kode.
Memang dasar kemampua peka Niki di bawah rata-rata sehingga cewek itu hanya bisa mengerutkan kening sebagai tanda tidak memahami kode dari Joshua. Padahal cowok itu hanya menyampaikan kalimat 'ayo, pergi!' melalui tatapannya.
Gemas dengan tingkah dua remaja labil ini, akhirnya Joshua melakukan cara nekat. Dia menunduk, menatap pergelangan tangan Niki yang kurus, kemudian menggenggamnya.
Ditarik oleh Joshua dengan keadaan masih bingung, Niki hanya bisa pasrah mengikuti langkah cowok itu. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Niko menatap ke arahnya. Sekejap saja karena lagi-lagi cowok itu dengan cepat mengalihkan pandangan.
"Sini!" Suara Joshua memecah lamunan Niki.
"Apa?" Cewek itu kebingungan. Mata beriris hitamnya menatap lekat pada Joshua, agak mendongak lantaran perbedaan tinggi yang lumayan.
Joshua hanya geleng-geleng pelan, kemudian mendekat ke depan Niki. Kedua tangannya terangkat ke atas kepala cewek itu yang tiba-tiba jadi manekin. Tidak berapa lama, helm yang nyaris sepenuhnya hitam telah terpasang rapi di kepala Niki.
"Nah, aman. Ayo, naik!" ajak Joshua dengan ramah. Dia berjalan duluan untuk naik ke motor dan memarkirkannya.
Niki tetap saja jadi manekin, bahkan sepertinya cewek itu tidak bernapas. Joshua jadi khawatir. Maka dia segera menekan klakson tepat saat motor sudah di samping Niki.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...