15 - Acara Keluarga

2 1 0
                                    


'Acara pertemuan keluarga tidak selalu membuat bahagia.'

***


Cewek memang selalu ribet kalau urusan penampilan, apalagi jika akan menemui gebetan. Tua muda, sama saja. Makanya, Niki tidak heran saat melihat kesibukan baru ibunya yang sangat langka.

Selama ini, Sintia memang selalu memperhatikan penampilan sehigga busana hariannya lumayan nyaman dipandang. Hanya saja, entah apa yang merasukinya sehingga wanita itu tidak berhenti bergerak karena belum menemukan baju yang pas.

"Nik, menurutmu yang ini gimana?" Sintia datang-datang menyodorkan dua dress. "Merah atau hitam?"

Niki jadi terdiam karena berpikir keras. Dia tidak terlalu paham soal dunia fashion. "Emm, aku pikir yang hitam cocok," jawabnya, ragu-ragu dan dengan nada pelan.

Sintia berdecak, menatap dress hitamnya sambil mengerutkan kening. "Ah, kayaknya nggak cocok, deh. Terlalu gelap auranya." Kerutan di keningnya makin banyak saja, belum lagi mata yang menyipit demi memfokuskan perhatian. "Merah juga terlalu menyala."

Decakan lagi-lagi terdengar. Niki hanya bisa menghela napas dan menyesali jawabannya yang tidak membantu Sintia. Wanita itu kembali sibuk dengan kebingungannya, sementara Niki kembali menunduk untuk menyelesaikan soal Matematika.

"Nik, jaga rumah aja?" Sintia muncul sambil kerepotan memasukan beberapa barang ke tas cokelatnya.

Wanita itu akhirnya keluar dengan memakai celana kulot krem, baju panjang corak bunga, kemudian kerudung cokelat tua.

Niki melongo. Kali pertama dia melihat ibunya tampil dengan hijab di hari-hari biasa.

"Apa mau ikut, nih? Makan malam," sambung Sintia karena tidak mendengar anaknya bersuara.

"Eh? Ke mana, Bu?" Niki akhirnya tersadar setelah Sintia lewat di depannya.

"Resto. Ibu pergi sendiri, sih. Naik taksi aja kali, ya? Tapi, moga aja nggak telat," cerocos Sintia sambil fokus menatap ponselnya.

Setelah merenung sebentar, Niki akhirnya sadar kalau Sintia sedang mengajaknya dengan cara halus. "Aku ikut, Bu." Dia memutuskan sambil menutup pulpen lalu buku dan menumpuknya di atas meja.

Sintia tersenyum. Sebenarnya dia bisa saja mengajak anaknya secara langsung, tetapi acara makan kali ini spesial. Seseorang mengajaknya makan malam sekaligus mengadakan perkenalan antara kedua belah pihak.

Ya, acara malam ini berkaitan dengan seseorang yang telah mencuri hatinya. Dia masih takut Niki menolak pergi jika diajak langsung.

Taksi yang membawa keduanya bergerak merayap di antara padatnya kendaraan. Sintia tampak harap-harap cemas melihat kendaraan yang tak kunjung lenyap dari hadapannya, minimal membukakan jalan. Dia sedang terburu-buru.

Sesekali perbincangan hangat mengisi kebosanan keduanya. Sintia melontarkan topik apa saja untuk dibahas. Niki berusaha memberikan jawaban terbaik sambil menebak-nebak siapa gerangan yang ingin ditemuinya.

Pria seperti apa yang akan jadi ayah tirinya? Ya, Niki sudah tahu dalam agenda makan malam kali ini, terselip tujuan lain, yakni berkenalan dengan calon keluarga baru.

Hatinya kacau tidak karuan, belum lagi jantung yang berdetak kencang. Kecemasan juga terus menyerang, membuatnya hanya bisa meremas jemari tangan. Dia benar-benar gugup.

Chocho: Nik, kamu lagi apa?

Satu pesan yang dikirimnya kepada Niko, sama sekali belum mendapatkan jawaban. Cowok itu sejak meminta maaf di parkiran sekolah kemarin, jadi seperti menjaga jarak.

Taksi berhenti di halaman restauran yang tampak dikunjungi banyak orang. Lampu-lampu oranye menyala terang, menjadikan tempat itu seperti sebuah permata diterpa cahaya bulan.

"Terima kasih," kata Sintia dengan senyum yang terlalu berlebihan untuk ditunjukkan kepada orang baru. Maklum, hatinya sedang teramat bahagia. "Yuk, Nik!" Dia menggamit lengan kurus Niki.

Keduanya berjalan memasuki restauran, melewati kursi-kursi dan meja yang tertata rapi diisi pengunjung di area depan. Rata-rata di sana diisi para remaja.

Niki sejujurnya agak kurang nyaman dengan tampilannya malam ini. Terlalu mencolok—mungkin—sehingga beberapa kali dia mendapati mata orang-orang terarah kepadanya. Dia benar-benar tidak nyaman.

Sebelum berangkat, Niki sudah yakin akan penampilannya yang hanya memakai celana training abu-abu dan sweter. Namun, Sintia buru-buru mendorongnya untuk kembali ke kamar dan mendandaninya. Jadilah dia memakai dress peach selutut yang di bagian dadanya ada renda-renda.

"Kayaknya itu, deh."

Niki menoleh saat mendengar kalimat ibunya yang diucapkan dengan pelan. Namun, karena jarak keduanya yang berdekatan, dia bisa lebih jelas mendengar itu. Dia kemudian mengikuti arah pandang Sintia.

Di antara kursi-kursi yang diisi pengunjung, meja nomor 36 terisi seorang pria bersetelan santai tetapi kasual dan seorang cewek mungil di sisinya. Niki yakin pandangan ibunya terarah ke sana, soalnya dia telah memastikan beberapa kali.

Sintia membetulkan tampilannya beberapa kali sambil tidak henti melebarkan senyum. "Yuk, Nik!" Kemudian, menggamit tangan Niki.

Keduanya berjalan sambil mengumpulkan keberanian. Terutama ketika melihat pria itu menatap ke arah keduanya dan tersenyum.

"Selamat malam," sapa pria itu, begitu ramah karena senyumnya tidak juga luntur.

Namun, senyum itu terasa lebih spesial, lebih lebar. Khas orang yang sedang jatuh cinta.

"Malam juga, Mas," balas Sintia setelah duduk di depan pria itu.

Sejenak keramaian mengambil alih suasana. Sintia yang sedang mencuri pandang sembari sesekali menunduk demi menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya. Pria di depannya justru sedang terpukau atas kecantikan luar biasa yang terpancar darinya.

"Ekhem." Rama tiba-tiba merasa gugup sehingga mengalihkannya dengan membetulkan pakaian yang bahkan tetap rapi karena selalu rutin dicek sejak ketibaan di sini. "Mau pesan apa?"

Sintia mengangkat kepala, tersenyum lagi.

Sementara itu, dua cewek yang duduk berhadapan saling melempar pandang dengan isi hati yang tidak bisa didefinisikan.

Niki mengira cewek di depannya ini adalah calon saudara tirinya. Maka, dia berusaha ramah, dimulai dari melempar senyum. Namun, keramahannya justru tidak ditanggapi. Cewek itu memasang tampang ketus dengan tatapan tajam yang seolah menyerang Niki.

Keadaan benar-benar canggung bagi kedua cewek tanggung itu. Sikap Niki yang terlihat pemalu justru membuat cewek di depannya memiliki niat jail yang segera dilaksanakan melalui tatapan tajamnya.

"Selamat menikmati menu kami, Pak, Bu," kata seorang pelayan yang mengantar pesanan bersama dua rekannya.

Suara perempuan itu sedikit membuyarkan acara "perkenalan" Niki dan calon saudara tirinya. Dia mendongak dan menemukan beberapa piring berisi makanan yang tampak lezat-lezat. Hanya saja, dia tidak merasakan lapar. Justru hasrat ingin pulang makin kuat, tetapi ditahannya demi sang ibu.

Acara malam itu berjalan normal bagi Sintia dan Rama. Mereka bertukar cerita, mengobrol santai. Sesekali cewek kurus itu menyahut atau terlibat obrolan. Sekadar meramaikan suasana. Berbeda dengan Niki yang hanya bisa diam dan lebih banyak meremas dress di bagian lutut.

Dia benar-benar gugup saat ini. Terjebak acara keluarga yang seperti mengasingkannya benar-benar sebuah petaka. Dia berupaya mengalihkan perhatian kepada apa pun agar perasaan itu enyah sebentar saja. Namun, yang muncul di benaknya hanyalah Niko.

Sejak ungkapan permintaan maaf cowok itu kemarin sore, hubungan persahabatan mereka seperti kembali hambar. Ada jarak tidak kasat mata yang terbentuk, membentengi keduanya.

Hal yang lebih parah bagi Niki adalah, dia mengira dan merasa bahwa Niko mulai kembali menjauhinya.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now