'Seseorang bisa dengan mudah tertarik pada lawan jenis, tanpa tahu dengan yakin apakah rasa tertariknya didasari perasaan atau hanya sebatas penasaran.'
***
Ingatan Niki masih berfungsi dengan baik sehingga bisa langsung mengingat kejadian-kejadian sebelumnya yang mempertemukan mereka. Cewek yang berdiri di hadapannya sekarang ini pernah bertemu dengannya di acara keluarga. Satu kali ketika makan malam, satunya lagi ketika acara lamaran kemarin.
Benar, cewek di depannya ini adalah calon saudara tirinya.
Niki memamerkan senyum termanisnya, berusaha maksimal bersikap ramah untuk melunturkan wajah permusuhan cewek di depannya ini. Dia membaca name tag cewek itu, Anuradha Athalia.
"Nggak usah sok manis di depan saya!" ketus cewek itu sambil menatap tajam.
Senyum Niki luntur seketika, tetapi hanya sesaat. Dia kembali memasang senyum, karena itu lebih baik daripada langsung mengibarkan bendera perang.
"Saya tidak menyangka kalau ternyata kamu yang akan menjadi saudara tiri saya," sambung cewek itu. Gayanya masih sama, angkuh dan mengintimidasi.
Niki menunduk, memandangi ujung sepatunya. Dia masih syok karena ternyata dirinya satu sekolah dengan calon saudara tiri.
"Saya sudah mendengar banyak informasi tentang kamu. Agak mengejutkan karena ternyata harus satu rumah dengan cewek seperti kamu." Cewek itu mencondongkan tubuh, tatapannya masih mengintimidasi sehingga Niki buru-buru menunduk lagi saat keberanian membuatnya mendongak.
"Saya tidak suka kamu. Jadi, saya harap kamu tidak merebut atau menyinggung dunia saya apabila nanti papa saya resmi menikahi ibumu," bisik cewek itu. Matanya menatap lurus ke depan dan menemukan seseorang tengah berdiri, memandang tajam dan penuh ancaman kepadanya.
Cewek itu mengibaskan rambut ketika Niki merasakan ada seseorang lagi yang mendekat dari arah belakangnya. Sekali lagi, cewek itu menatap ke belakang Niki, kemudian berbalik dan berjalan ke arah berlawanan.
"Siapa?" Joshua muncul.
Kehadirannya agak mengagetkan Niki sehingga cewek itu tergemap, kemudian gelagapan saat memaksakan diri untuk menjawab, "A–itu ... itu temen."
Alis kiri Joshua terangkat. Dia kemudian beralih ke samping kiri Niki, memasukkan kedua tangan ke saku celana, dan menghela napas.
"Nyari temen perlu, lho." Cowok itu menceletuk, pandangannya lurus ke depan. "Selama ini aku lihat kamu mainnya kalo nggak di perpus, di kantin—jarang, dekat area lapangan futsal, ya paling di kelas."
Niki menoleh, mengerutkan kening. "Kok, Kakak tahu?"
"Ya, soalnya aku tiap hari kerjaannya keliling sekolah. Mayan, olah raga kaki," jawab Joshua, tersenyum lebar.
Dua cewek lewat dan tidak sengaja menatap mereka. Lantas, keduanya berbisik-bisik sambil menyebut kata 'dekat' bahkan 'pacaran'. Muka Niki rasanya memerah.
"Eh, temenmu gimana, tuh?"
Keduanya sepakat melangkah pelan meninggalkan tempat. Joshua lagi-lagi melempar pertanyaan, sepertinya akan lebih mendominasi pembicaraan kali ini.
"Niko?" Joshua mengangguk. "Baru kemarin ketemu terus ngobrol, sih."
"Baru kemarin?" Kening Joshua berkerut. Kepalanya mulai menerka-nerka.
Niki mengangguk. "Belakangan kami jarang punya waktu bareng, sibuk sama urusan pribadi," bebernya dengan nada pelan dan mimik muka yang sedih.
"Oh. Tapi, baik-baik aja, kan?"
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...