'Menyatukan dua keluarga tidak pernah mudah, apalagi yang sama sekali tidak ada ikatan darah.'
***
Qiya mendadak punya babu tampan setelah berhari-hari ini Niko selalu menuruti apa pun kemauannya. Malah, tanpa disuruh pun, itu cowok selalu memberikannya makanan ketika jam istirahat pertama dan kedua.
Kadang tiba-tiba chat dan bilang ada titipan makanan atau hadiah. Atau, tiba-tiba nongol bawa makanan kesukaan Qiya.
"Pacarmu, tuh." Rara menyenggol pundaknya sambil menggerakkan dagu ke arah pintu.
Di sana, cowok yang sedang dipikirkannya sudah nyengir lebar sambil berjalan pelan. Sudah pasti, cowok itu akan ke mejanya.
Benar.
"Halo, Qiya. Dimakan, ya." Niko meletakkan paper bag berisi camilan yang beberapa menit lalu tiba diantar tukang ojek online.
Sikap lemah lembut cowok itu bikin Qiya jadi kehilangan cakarnya. Dia cuma bisa balas nyengir canggung sambil kaku menerima pemberian—yang disodorkan setengah paksa—Niko.
"Hari ini belajar apa aja, tuh? Mukanya sampe kusut gitu," tanya Niko yang dengan mudah bisa mendapatkan bahan obrolan.
"Ah, nggak. Cuma belajar Bahasa Inggris," jawab Qiya. Nadanya canggung, belum lagi reaksi wajahnya yang menampakkan kerisian.
Niko memahami itu. Maka, lagi-lagi sepertinya perjuangannya masih panjang dan melelahkan. "Oke. Kalo gitu. Aku pamit, ya? Kamu semangat kelasnya!"
Cowok itu benar-benar beranjak pergi.
Qiya menghela napas, kemudian setengah menjedotkan kepala ke permukaan meja. "Sial, sial, sial."
"Kayaknya si Niko tahu kelemahanmu, yang nggak bisa nolak cowok kalem yang nggak banyak tingkah." Rara mendekatkan bibirnya ke telinga Qiya yang tampak begitu frustrasi.
"Haduh," gumam cewek itu sambil menggerakkan kepala. Kini, pipi sebelah kirinya yang menempel ke permukaan meja.
Permukaan meja itu tidak dingin bak AC yang bisa mengenyahkan gerah. Namun, suasana hati yang buruk membuatnya enggan untuk melakukan apa pun dan berpikir.
"Baguslah, jomlo di geng kita akhirnya sold out. Berkat kertas itu, nih!" Febri main menceletuk dengan kerlingan genit.
Rara jelas langsung melayangkan tatapan tajam padanya. Kentara sekali dia mengancam karena Febri berani-beraninya main ember.
"Dasar cangkir tidak berkepricangkiran," desis cewek itu yang masih menatap tajam.
Febri malah cengengesan. "Cangkir? Cantik-cantik banyak yang parkir." Dia malah melantur.
"Tunggu-tunggu! Kertas apa?" Qiya sepertinya baru tersadar sehingga tubuhnya tersentak bangun.
Mata cewek itu menelisik pada dua sahabatnya yang berada di sisi kiri dan kanan. Keduanya kompak cengengesan, malah seperti menahan tawa.
"Kertas apaaa?" jerit Qiya, frutrasi.
Mendengar nada penuh kemalangan Qiya, Febri jadi tidak tega. "Sebenarnya kami selipin kertas kecil pas di keresek yang—"
"Bukan apa-apa, kok!" Rara memamerkan giginya.
Sudah jelas ini aneh. Jadi, Qiya jelas makin mempertajam tatapannya. Belum lagi ancaman yang tersampaikan melalui aura di tubuhnya.
"Jangan jagal kami!" mohon Febri yang mengerti akan kemarahan sang sahabat.
"Tulisannya apa?" Nada bicara Qiya mendadak datar dan ... dingin.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...