'Kepergian tidak selalu buruk. Meninggalkan demi kebaikan kadang bisa dimaafkan.'
***
Kelas pagi ini cukup ramai. Ketika Niki tiba, sudah banyak teman-teman yang meramaikan ruangan. Dianya juga yang datang terlambat karena harus naik angkutan umum. Meski hanya naik satu jurusan, keadaan jalan pagi-pagi yang selalu macet, benar-benar membuang waktu lebih banyak.
"Ni ...." Suara Niki terputus, tangannya menggantung di udara, sementara matanya memelotot.
Cowok itu datang dengan langkah santai, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Matanya pagi ini tidak menampakkan reaksi apa pun. Biasanya minimal ada lirikan genit dari cowok itu saat tiba di kelas.
Lebih parah, kali ini Niko malah melewati bangku Niki. Berjalan beberapa langkah sampai di jejeran paling ujung, kemudian duduk di sana setelah disambut temannya. Mereka tertawa.
Niki menundukkan pandangan, menatap sedih rok abu-abunya. Matanya tiba-tiba memanas dengan cepat, seperti ada cabai di dalamnya atau sensasi ketika mengiris bawang di dapur.
Dia pikir, Niko hanya sebatas numpang di tempat duduk Doni. Nyatanya, cowok itu tidak kembali ke bangkunya, di samping Niki, sampai guru pertama datang.
Niki paham dan bisa mulai menerima sikap cowok itu yang belakangan menjauh darinya. Tidak pernah lagi mereka makan siang bareng di kantin, baca buku bareng di perpustakaan, pulang bareng, bahkan main bareng.
"Niki?" Sebuah suara memecah kesedihan yang menguasai Niki.
Cewek itu mengerjapkan mata sebelum menjawab, "Ya? Kenapa?"
"Kantin nggak, nih?"
Niki terdiam sejenak, menatap heran pada Raya. Oke, mereka satu kelas dan belakangan Niki tahu mereka juga satu ekstrakurikuler di PMR. Hanya saja, mereka tidak pernah tegur sapa, apalagi sampai melakukan kegiatan bareng.
"Eh?" Niki diam lagi, berpikir. Perutnya cukup keroncongan juga. "Boleh?"
Melihat ekspresi bertanya yang muncul di wajah Niki, Raya tersenyum manis. "Ya boleh, lah. Emang makan bareng ke kantin itu dosa? Haram gitu?" Kemudian, tawanya meledak dan tenggelam di antara keramaian ruangan.
"Eh, oke, deh," putus Niki.
Kemudian, dia berdiri dan mereka pun berjalan beriringan menuju kantin.
Niki sempat berpapasan dengan Niko di pintu kelas. Namun, lagi-lagi cowok itu menampilkan ekspresi yang mengecewakan. Tidak ada teguran atau jailan Niko. Cowok itu melengos begitu saja.
"Yuk!" ajak Raya yang prihatin melihat kesedihan di muka Niki.
Walau tidak terlalu dekat, dia sering mendengar cerita dari orang-orang tentang kedekatan dua sahabat itu.
Ketika Niki dan Raya sudah pergi, Niko berbalik dan memandangi kepergian keduanya yang sudah hampir terlambat. Perasaan sedih merayapi hatinya.
Maafin aku, Kiki, batin Niko yang menyesal. Kayaknya kita begini lebih baik dan aman untukmu. Aku nggak mau lagi denger dan lihat kamu digangguin siapa pun. Termasuk Joshua.
Tangan kanan Niko mengepal, disusul rahangnya yang mengeras. Dia mendengkus, kemudian melanjutkan langkah bersama Doni dan beberapa cowok lain untuk main gim bareng di pojok kelas.
***
"Seblak juga, nih?" Raya bertanya sambil menghampiri meja yang ditempati Niki. Di tangan kanannya ada mangkuk seblak yang kuahnya merah. Tangan kirinya membawa gelas es teh manis.
"Huum," jawab Niki, pendek saja karena bingung harus menambahkan kalimat dengan kata apa lagi.
Mangkuk seblak di depannya tidak kalah merah, sementara di dekat sikut kirinya ada segelas es jeruk.
"Widih, main satu selera aja, nih." Raya duduk, kemudian menaruh barang bawaannya. "Cocok kayaknya kita." Dia merapikan rambut yang panjangnya sepunggung. Terhitung panjang dan ribet karena dia tidak mengikatnya.
"Cocok apa?" Alis Niki nyaris beradu karena keningnya berkerut.
"Temenan, lah. Masa pacaran. Aku masih normal kali. Aku masih suka Wang Yibo," cerocos Raya yang mulai tertunduk pada mangkuk seblak.
Ketika sendok mengaduk isi mangkuk, kepulan asap tipis yang membawa aroma khas seblak, mengepul dan terasa nikmat saat menyapa hidung. Cacing-cacing di perut Raya dan Niki langsung meronta-ronta.
"Yuk, ah. Selamat makan!" kata Raya dengan riang. Dia mulai menyuap dan langsung ber-hah karena kepanasan.
Niki tersenyum, lucu saja melihat tingkah cewek bermata bulat di depannya. Dia menyusul, mengaduk-aduk isi mangkuk, dan mulai menikmati seblak bersama—dia masih agak aneh—teman barunya?
"Lo jangan ngadi-ngadi, deh. Atau, gue jitak sampe kepental ke Afrika lo." Suara yang terasa familier dari seseorang, mengalihkan perhatian Niki.
Saking kaget melihat kemunculan Joshua di depannya, dia sampai lupa pada sekitar, termasuk diri sendiri. Cowok jangkung itu sedang berjalan bersama dua temannya yang terus mengoceh. Tiba-tiba, dia memokuskan pandangan pada Niki, pada sesuatu di wajahnya.
Sesuatu sengaja dijatuhkan dari saku cowok itu ketika dia lewat di depan meja Niki. Langkahnya sempat terhenti sesaat, kemudian mengetuk permukaan meja.
Raya tersedak, tetapi tidak berani bicara karena sadar cowok di depannya ini sedang ada urusan pada Niki, bukan dirinya. Jadi, dia sadar diri saja.
Tatapan Joshua dan Niki beradu. Cowok itu seperti menyampaikan sesuatu lewat kode-kode, alisnya bergerak, kepalanya mengangguk ke samping. Seolah mengatakan, tisu, buatmu. Jangan lupa dipakai dan bersihkan mulutmu.
Ternyata mata Joshua jeli juga. Dia yang melihat mulut Niki belepotan, sengaja menjatuhkan tisu yang sebelumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu. Tadi mejanya ada ketumpahan saus dan bekas minuman. Sangat jorok dan merepotkan.
"OMG! Niki-Niki-Nikiii!" jerit Raya yang sudah berusaha menahan intonasi suaranya. Dia heboh sendiri saking gemas dan bersemangat.
"A–apa?" Niki planga-plongo.
"Tisu! Tisumu, astaga! Mulut, belepotan. Tuh, cowok, perhatian. OMG, MAMA! Mau cogaaan!"
Demi apa pun, Niki heran plus ngeri melihat tiba-tiba teman barunya seperti kerasukan setan diskon.
"Jangan kepedean, deh!" Seseorang muncul, berkata dengan nada ketus.
Kehebohan Raya langsung mereda, senyum di wajah Niki pun luntur. Mata kedua cewek itu serempak menoleh pada seseorang yang baru saja muncul dan mengacaukan suasana.
"Kamu memang cewek kecentilan yang hobinya playing victim, drama, bermuka dua! Niki, jijik sekali saya menyebut nama kamu. Kamu mau lihai banget caper ke cowok-cowok, ya?"
Ucapan pedas cewek itu menusuk hati Niki. Apalagi setelah melihat wajahnya, mental Niki benar-benar langsung jatuh dan hancur. Dua kali mereka bertemu, lagi-lagi cewek itu melakukan serangan tanpa alasan.
"Heh, lo siapa, sih? Bisa dijaga nggak mulutmu itu?" semprot Raya yang sudah berdiri. Matanya menatap nyalang pada cewek di depannya.
Tidak kalah garang, cewek itu membalas tatapannya dengan dua kali lipat lebih tajam. "Sopan dikit, kek, sama kakak kelas. Dan, lagian jangan sok jadi pahlawan, jangan ikut campur. Ini urusan saya sama ... calon saudara tiri saya!"
Keramaian kantin mendadak lenyap, berganti keheningan yang membuat Niki merasa dan mendengar denyutan ngilu di hatinya. Sementara itu, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Calon suadara tiri?
Jadi, cewek di depannya ini ....
Niki mendadak kehilangan harapan hidup.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...