5 - Salah

8 3 0
                                    

'Kata pembawa petaka. Apalagi yang terucap dari mulut buaya.'

***

Seandainya Joshua adalah seekor kerbau sakti, niscaya dari hidungnya akan keluar kepulan asap hitam dengan muka bak besi panas. Untungnya, cowok itu masih manusia bermuka tampan—meski lebih sering ditampilkan dalam mode judes dan galak—dan masih mengeluarkan napas seperti biasa.

Joshua menghela napas setelah mendengar kata-kata pedas Niko yang mendebat pernyataannya. "Tulis alasan lain selain demi Niki," titahnya, terakhir bicara. Karena setelahnya, dia berbalik dan melangkah pergi.

Permainan yang telah selesai, membuat para junior mengobrol dengan nada pelan di tempat semula. Termasuk Niki dan timnya yang sedang berbahagia karena keluar sebagai juara satu. Namun, kebahagaiannya lenyap begitu saja ketika mendengar Joshua menyebut namanya dengan ekspresi jengkel.

Dia tahu karena sejak tadi berusaha keras untuk bisa menguping dan tidak henti melempar pandang pada kumpulan senior itu.

Apalagi pas melihat Niko menendang angin. Dia tahu, pasti cowok itu benar-benar kesal.

"Pertemuan sore ini berakhir, ya. Silakan membubarkan diri dan hati-hati di jalan," kata Lili.

Sebelum barisan benar-benar bubar, mereka melakukan tos perpisahan sebagai keakraban. Gayanya berupa beberapa gerakan tangan yang diadu. Niki lumayan sudah menghafal gerakan itu.

Sekarang Niki tengah bersama Niko di area parkir sekolah, menunggu cowok itu mengeluarkan motor dari impitan mobil. Padahal di sana bukan tempat parkir mobil.

Sejak berangkat sampai sepanjang perjalanan, Niko memasang muka yang tidak enak dipandang. Belum lagi tiba-tiba dia jadi bisu. Mulutnya setengah menggunung dengan mata yang berkali-kali menghindari tatapan Niki.

"Nik!" Terlalu gemas dengan sikap diam sahabatnya, Niki mencubit pinggang Niko.

Cowok itu mengaduh. Motor nyaris oleng. "Kamu mau bikin kita jatuh, Nik? Jatuh cinta, sih, iya. Aku mau. Lah, kalo jatuh dari motor terus tubuh atau bahkan mukaku yang lecet, gimana? Kamu mau tanggung jawab? Untung kalo aku oplas jadi mirip Jeon Jungkook, Cha Eunwoo, Asahi, atau Jaemin. Gimana kalo—"

"Berisik! Tuh, cewek-cewek natap ke kamu," potong Niki karena kesal mendengar cerocosan Niko. Cowok itu berteriak masalahnya.

Mereka berhenti di lampu merah. Jelas saja cerocosan Niko bisa mengundang banyak perhatian.

"Ya makanya. Jadi penumpang tuh diem aja di belakang. Gosah maen nyubit-nyubit, geli tahu!" omel Niko, masih dongkol.

Niki merengut, kembali memukul pelan pundak kanan Niko. "Abisnya kamu kayak kesel terus sejak tadi. Kenapa, sih? Gara-gara Kak Shua?"

"Shua, Shia. Geuleuh aing sama cowok songong itu!" sembur Niko, begitu menggebu-gebu.

Di belakangnya, tubuh Niki sedikit bergetar karena menahan tawa. "Emangnya tadi ada apa, sih? Kayaknya bawa-bawa aku."

Lampu merah berganti hijau. Niko mulai menarik gas, mendahului motor dan mobil yang tadi berjejer—tidak terlalu—rapi di belakang zebra cross.

"Aku gak diizinin masuk PMR, padahal udah isi formulir," beber Niko, berteriak sekencang mungkin agar Niki mendengar.

"Apa? Kamu muntaber?" Niki balas berteriak.

"Takbir, takbir apaan, sih?"

Niki membuka kaca helm. "Kok, jadi bawa-bawa tukang parkir. Kamu bikin ulah?" Dia menelengkan kepala ke kanan, menaikkan volume suara.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now