30 - Hari Persiapan

7 1 0
                                    

'Satu-satunya cara untuk tidak mengharapkan adalah dengan tidak memberi harapan.'

***

Ada yang berbeda dalam perjalanan kali ini sampai-sampai Niko tidak bisa mengontrol bibirnya untuk jangan terlalu sering memamerkan senyum. Bisa-bisa dia dianggap sinting.

Itu karena sekarang di jok belakang motornya ada penumpang. Memang, sejak beli motor ini pun jok belakang tidak pernah sepi penumpang, hanya saja kalau tidak makhluk satu klan dengannya, ya Niki yang numpang.

"Kita mau ke mana, sih?" Qiya teriak. Suaranya mengalahkan bisingnya kendaraan di sekitar.

Jalanan sore itu lumayan padat, mobil berduyun-duyun, motor saling lomba salip. Cuaca seolah merestui, panas tidak, mendung tidak. Pas, seperti mereka yang dikatakan pas kalau jadi pasangan. Itu harapan Niko.

Motor Ninja merah itu berbelok ke sebuah kafe kekinian yang lumayan sepi pengunjung. Mereka datang terlalu sore dan memang Niko sengaja cari tempat sepi.

Mojok, kan, enaknya di tempat yang tenang biar bisa fokus gombalin gebetan.

"Sini aja nggak apa-apa?" Pertanyaan itu terlontar seiring Niko yang  melangkah ke belakang tubuh Qiya, kemudian menarik kursi yang hendak diduduki cewek itu.

"Eh?" Qiya sempat kebingungan sebelum sadarlah dia kalau sedang berhadapan dengan buaya yang melancarkan serangan. "Nggak apa-apa, sih. Aku nggak neko-neko soal tempat atau makanan."

"Hmm, oke, deh." Niko duduk di kursi yang berhadapan dengan Qiya. Dia meletakkan ponsel, kunci motor, dan masker.

Kalau di film-film, ketika cowok tampan melepas masker damage-nya tidak tertolong, kurang lebih itulah anggapan—harapan—Niko tentang betapa tampan dirinya dalam setiap angle.

Pelayan datang, menanyakan sekaligus memberikan buku menu. Kedua remaja beda usia itu pun menyebutkan pesanan mereka. Qiya hanya pesan Oreo Ice Blueberry dan pisang cokelat, sementara Niko memesan Coffe Latte Creamy saja.

"Aku belakangan lagi cari-cari info buat persiapan muncak, nih. Kira-kira, kamu ada saran nggak biar pas muncak lancar terus?" Jurus berikutnya dari seorang Niko, yakni mengambil topik obrolan yang disukai target.

Qiya tersenyum. Dia memberikan senyum ekstra dan termanis yang bisa dia berikan. Sekarang, cewek itu sudah hafal dan punya cara untuk menghadapi cowok di depannya.

Niko salting sendiri melihat senyuman cewek itu.

"Ya, kamu latihan fisik yang rajin. Terus, cari-cari info juga dari mulai persiapan fisik sama barang bawaan, gunung yang mau kamu daki, rute-rute sama medannya. Ya, intinya kalo mau muncak, kamu harus siap fisik, pengetahuan, sama saku," cerocos Qiya, menjelaskan dengan nada lembut.

Niko angguk-angguk sambil memasang muka serius. "Kamu suka gunung, ya?"

"Suka, sih. Tapi, belum pernah kesampaian muncak," aku Qiya dengan ekspresi kecewa.

"Kenapa, tuh?" Sepertinya Niko memang cocok jadi aktor. Mukanya bisa mengubah dan memperdalam ekspresi dalam sekejap.

Buaya, mah, gitu.

"Pertama, biaya. Kedua, izin. Ketiga, persiapan. Mamaku nggak izinin aku muncak sebelum lulus," jawab Qiya yang tampak sungguh-sungguh.

Pesanan mereka datang, menjeda obrolan. Niko dengan ramah mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang segera membalasnya.

Namun, bukan jadi masalah karena Niko segera menyambung obrolan dengan topik demi topik yang tampaknya membuat Qiya nyaman untuk bercerita.

***

Kediaman Shintia sedang ramai karena besok akan ada acara penting. Sebenarnya dia tidak terlalu setuju dengan ini, tetapi desakan Arin sangat-sangat sulit untuk ditolak, apalagi disangkal.

Kata wanita itu, pernikahan tetap selalu jadi hari teristimewa sekalipun bukan yang pertama.

Rama, sih, setuju-setuju saja dengan ide yang dibeberkan dengan detail dan rinci oleh Arin. Riweuhnya mengalahkan calon pengantinnya sendiri.

"Dekorasi oke, tinggal katering. Apa lagi, ya, yang kurang? Ah! Gaun! Gaun juga udah oke. MUA ada. Hmm." Arin bicara sendiri. Telunjuknya menggosok-gosok dagu, sementara keningnya berkerut dalam.

Niki memperhatikannya dari jauh. Tercampur kagum dan heran dari sorot matanya yang menatap wanita itu. Wanita yang jadi penanggung jawab acara dadakan.

Tiba-tiba pandangan Niki meredup seiring perasaannya yang mulai berkecamuk. Besok, ibunya akan sah menjalin rumah tangga dengan orang lain. Besok pula, akan ada orang baru di rumahnya. Orang asing yang harus diterima sebagai keluarga. Besok pula, ayahnya bertambah satu, ayah tiri.

Matanya memanas begitu saja, membuat pandangannya mengabur dan tidak bisa menatap jelas pada Arin yang mulai melangkah ke tempat lain. Pulpen dan lembar demi lembar kertas yang dijepit di papan dada, seolah diberi lem di tangannya.

Langkah pendek-pendek tetapi cepat menuntun Niki meninggalkan ruang tengah yang sudah didekorasi. Saat hatinya kacau begini, biasanya pelariannya adalah Niko.

Dulu, tentu saja. Kalau menilik keadaan mereka belakangan ini, ada begitu banyak pemikiran pesimis yang membesarkan keraguan di hati Niki.

"Aku baru sampe, nih. Kamu jangan lupa mandi, makan, terus istirahat." Niko sepertinya sedang berbicara di telepon.

Bukan, bukan. Faktanya cowok itu menurunkan ponsel dari depan mulutnya, kemudian mendorong motor sampai berada tepat di tempat parkir yang diinginkan. Sepertinya dia baru saja mengirim pesan suara.

"Niko." Niki memanggil dengan nada pelan, tetapi karena jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah, suaranya bisa didengar jelas oleh cowok itu.

Niko berbalik, memasang tampang datar. Ekspresi yang biasa saja, tetapi terasa menyakitkan bagi Niki saat ini.

"Apa?" Suara cowok itu malah ikutan sedingin es batu.

"Kamu ... habis dari mana?"

Sejujurnya Niki ingin langsung bilang kalau dia mau ngobrol sama Niko, tetapi melihat reaksi cowok itu yang seolah sedang lelah, dia terpaksa basa-basi.

"Main. Sama cewek. Kenapa?"

Hancur sudah kepercayaan Niki.

"Kamu capek, ya?" Suara Niki makin pelan.

"Iya. Itu di rumahmu rame banget." Niko juga ikutan basa-basi.

Dari tingkah, ucapan, dan kerjaan Arin yang heboh membahas pernikahan sahabat terbaiknya, mustahil Niko tidak tahu kalau ibu Niki akan menikah besok.

"Ibu besok nikah." Kepala Niki berangsur menunduk.

Niko menghela napas. Dia mengerti—lebih menebak-nebak—bagaimana perasaan Niki sekarang. Hanya saja, ada satu hal yang membuatnya mendirikan dinding tak kasatmata. Hatinya harus berhenti mengharapkan sesuatu yang lebih dan satu-satunya cara untuk tidak mengharapkan adalah dengan tidak memberi harapan.

Niko rasa, sekarang ini persahabatan mereka harus murni sahabat tanpa rasa cinta. Maka, dia memulai dari diri sendiri. Karena dia sadar, dia memiliki rasa cinta lebih besar untuk cewek itu.

"Selamat. Harusnya kamu bahagia dan aku pun ikut bahagia," pungkas Niko.

Cowok itu berbalik dan melangkah dengan langkah pendek-pendek dan perlahan.

"Aku ...." Kalimat Niki menggantung. Kedua tangannya mengepal erat dengan kepala yang tertunduk. "Aku nggak terlalu bahagia sekarang."

Rasa kecewa itu perlahan merambati hati Niki saat sadar bahwa Niko tidak sepeka dan seperhatian dulu.

Dia sedih karena itu.

Niko mengerutkan kening saat melihat Niki berbalik dan berlari pergi. Sebelumnya dia yakin bahwa cewek itu sempat meneteskan air mata.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now