'Tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf atas apa yang kamu anggap salah padahal dirimu tidak salah.'
***
Hidup Qiya tenang-tenang saja mulanya. Dia mengambil peran sebagai anak tunggal dari pasangan suami-istri yang doyan bercanda. Masuk SMAN 32 Bandung tahun 2018 dan sekarang terdaftar sebagai murid kelas XI-IPS 1.
Hari-harinya berjalan normal. Sekolah, tugas-tugas-tugas, tidur, bangun. Paling-paling "nyamuk" dalam hidupnya adalah gerombolan cowok kelas yang otak dan akhlaknya sudah diloak.
"Qiya!"
Hanya saja, akhir-akhir ini, cewek yang memiliki tinggi 155 sentimeter itu harus pandai-pandai menyembunyikan diri agar gendang telinganya bisa lebih tahan lama.
Dia sudah hafal bahwa setiap pagi sebelum jam masuk, siang saat jam istirahat, dan waktu pulang adalah saat-saat genting di mana nyawanya terancam. Bahkan, lebih parah, nyaris di setiap langkah dan waktu, dia merasa ancaman itu sudah mengintai dan siap menyerang.
"Ke kantin, ya?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih kencang dan dekat.
Duh, Gustiii! Ni setan satu lenyapin aja ngapa, keluh Qiya sambil mempercepat langkah dan masuk rombongan cewek-cewek yang kebetulan lewat.
Lorong kelas IPS saat itu tengah ramai, banyak orang berlalu-lalang, yang sendirian atau rombongan. Namun, entah bagaimana bisa, cowok itu dengan mudah menemukannya. Padahal dia sudah berusaha keras untuk menyamarkan diri.
"Nih, minum sama camilannya. Jangan lupa dihabisin, ya. Buat ganjal perut. Dan, jangan sering keluar, hari ini panas. Nggak baik buat kulit cewek." Niko mencerocos sambil menyerahkan tas kanvas mungil yang berlogo emoji tersenyum.
Qiya merinding dibuatnya. Hanya dalam waktu seminggu dan cowok di depannya ini sudah banyak tahu tentangnya. Niko tahu minuman kesukaannya minuman perisa jambu, camilan gurih-gurih, dan sedang mengikuti program meminimalisir penggunaan plastik.
"Eh, kok, ngelamun?" Suara Niko memecahkan lamunan Qiya. Dia menyodorkan tas kanvas krem ke hadapan cewek itu.
Dengan tangan dan gerakan yang kaku, Qiya ragu-ragu menerima pemberian cowok di depannya. Sejenak mereka bertatapan sampai dia duluan yang mengalihkan pandangan ke arah lain. Kalau cowoknya model Niko, dia akan susah menolak.
"Oke. Aku pamit, ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan jangan lupa senyum," kata Niko sebagai penutup perjumpaan mereka.
Cowok itu melenggang pergi, bergerak duluan sebelum Qiya usir. Sikapnya benar-benar membuat Qiya dilema. Dia memang tidak suka cowok yang sok akrab sok dekat dengannya, cowok yang doyan modus dan doyan gombal—seperti Niko kalau kata orang-orang, cowok-cowok agresif apalagi.
Niko berbeda di matanya. Cowok itu kalem, perhatian, dan bisa dikatakan dewasa dari segi kata-kata yang diucapkannya. Dia makin bimbang karena banyak orang memperingatkan buat jangan dekat-dekat sama cowok playboy satu ini.
"Qiy?" Sebuah tangan bergerak-gerak di depan wajah bulat cewek itu.
Rara mengerutkan kening keheranan, tetapi hatinya lebih banyak takut plus cemas saat melihat sahabatnya hanya berdiri mematung di tengah-tengah koridor.
"QIYA!" Febri malah menjerit lantaran Qiya masih bengong setelah berulang kali dipanggil.
"Allahuakbar!" Qiya latah mengangkat kedua tangan. Jelas saja tas kanvas mungil pemberian dari Niko terlihat oleh mata kedua sahabatnya.
"Widih, dari pangeranmu lagi?" goda Rara sambil mengintip.
Qiya memelotot tajam. "Dih, pangeran siapa? Orang gila kali," sangkalnya lalu mendengkus.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...