3. Dilabrak

16 4 15
                                    

'Mengaku paling dekat padahal baru kenal sesaat. Siapa saja bisa mengaku teman, tetapi tidak semuanya atas dasar ketulusan.'

***

Niki duduk di samping kanan Niko yang sedang fokus main gim. Kehadirannya sama sekali tidak mengganggu cowok itu.

"Nik?" panggilnya sembari menepuk pundak kanan Niko.

"Hmm." Mata Niko tidak beralih seinci pun dari layar ponsel.

Niki menghela napas. Dia bosan setelah menamatkan satu novel seri Percy Jackson, sementara Niko sepertinya tidak terserang virus bosan-selama ada ponselnya.

Waktu masih pukul empat sore. Ibu Niki ada acara ke luar, paling pulangnya malam. Daripada dia gabut di rumah, jadi ngungsi dulu ke rumah Niko. Namun, cowok itu malah sibuk push rank sejak tadi, mengabaikannya.

"Nik?" Niki memanggil lagi. Kali ini dia melepas kedua ikatan rambut sehingga rambut pendeknya tergerai.

Meski rambutnya pendek, cewek itu paling suka mengikat rambutnya menjadi satu atau dua bagian. Baginya cukup ampuh menambah kadar imut diri.

"Diem, ya!"

"Hmm." Lagi-lagi Niko tidak fokus menjawab.

Niki tersenyum, malah cekikikan pelan. Tangannya mulai memainkan rambut Niko. Rambut hitam cowok itu terbilang panjang sehingga bisa digenggam, mana lebat lagi. Niki paling suka kalau memainkannya.

Sekarang Niko punya dua tanduk. Hasil kerja Niki berupa dua kucir kuda yang cukup rapi karena Niko diam saja dan fokus main gim.

"Ya ampun!"

Niki mendongak, sedikit terkejut. Kemudian, tersenyum manis saat melihat Arin memelotot ke arah keduanya. Dia pun berdiri dan berjalan untuk menghampiri ibu sahabatnya yang sudah dianggapnya ibu sendiri.

"Anaknya ganti gender, ya, Ma?" celetuk Niki yang sukses bikin Arin meledakkan tawa.

Niko tersadar sekarang setelah berhasil memenangkan gim. Dia menatap sesaat pada mamanya yang balik menatap geli, mengangkat alis pertanda heran.

"Kalian lagi nugas bareng?" Arin berjalan menuju sofa, kemudian meletakkan tas mahalnya di atas meja kaca hijau yang diisi beberapa piring makanan, minuman, dan sebuah pot bunga imitasi.

"Niko, sih, main game sejak tadi. Aku doang yang nugas," jawab Niki, mengungkapkan dengan jujur.

Arin geleng-geleng. "Kamu, tuh, udah SMA masih aja main-main. Gimana kalau nilai kamu turun?"

Diceramahi begitu, Niko menatap Niki dengan isyarat dasar tukang adu yang membuat cewek itu cengengesan.

"Ah, ya. Karena Niki rajin, Mama ada hadiah kecil buat kamu." Arin mengambil sesuatu dari tas merahnya. Sebuah kotak persegi panjang hitam. Dari tulisan di luarnya saja sudah bisa ditebak itu isinya apa.

"Maaa, kok, malah Niki yang dapat? Aku mana?" protes Niko, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca-merajuk.

"Whoaaa, cantik banget, Ma!" Mata Niki tidak kalah berkaca-kaca ketika menatap jam tangan berwarna hitam dengan corak perak, terkagum-kagum.

"Maaa, anak Mama dia atau aku, sih?" Niko merengek, sampai-sampai badannya melorot ke sofa hijau lumut sambil memasang muka merengut.

Arin tertawa singkat. "Makanya, kamu harus rajin belajar kayak Niki. Udah, ah, Mama mau mandi, gerah."

Wanita itu pun berdiri lalu beranjak pergi menuju lantai dua.

Tinggallah Niko dan Niki. Cowok itu masih menatapnya dengan mulut mengerucut dan alis bertaut.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now