21 - Lamaran

3 1 0
                                    

'Menangislah. Kalau sudah reda, siapa tahu mau cerita.'

***

Tidak ada yang berubah dari suasana rumah ini. Dalam rumah yang dicat perpaduan (dominan) ungu dan putih, yang selalu memberikan ketenangan. Tatanan barang-barang di dalamnya hanya berubah sedikit karena Sintia mudah bosan jika melihat ruangan yang itu-itu saja.

Dulu, pot bunga imitasi berada di sudut kanan dengan meja kecil di sampingnya. Sekarang kedua benda itu terpisah. Jam dinding dengan beberapa piagam penghargaan Niki sejak kecil juga ditata ulang.

Dari sekian barang yang ada, hanya televisi yang masih bertahan di posisi semula. Ada untung ruginya juga tatanan ruangan itu berubah. Niki senang sekaligus sesaat asing dengan suasana baru.

Kali ini, ada yang lebih asing lagi. Niki senang-senang saja ibunya bahagia, tetapi kalau sampai ibunya sering senyum-senyum sendiri, dia jadi bertanya-tanya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah belakangan ini sehingga menyadari perubahan signifikan pada Sintia.

"Niki, hari ini kamu ada tugas?" Bahkan ibunya bertanya hal remeh semacam itu tanpa melunturkan senyum.

"Ada, sih. Tapi, sudah aku bereskan tadi sehabis pulang sekolah," jawab Niki yang menjeda bacaannya pada novel berbau misteri karangan Agatha Christie.

"Anak baik," puji Sintia. Sepertinya senyum di wajahnya sudah diawetkan oleh formalin sehingga susah luntur. "Kalau gitu, bantu Ibu siap-siap, ya?"

"Eh? Memang akan ada tamu?" Niki jadi memusatkan pandangan pada ibunya.

Wanita yang sedang memakai kaus oblong merah itu mengangguk penuh semangat. "Tante Arin juga bakal bantu-bantu, sih. Cuma, tetep aja akan lebih seru kalau kamu ikut bantu," bebernya, masih senyam-senyum.

"Engg, tentu aja aku bantu Ibu, sih ...." Niki tidak jadi menuntaskan kalimatnya dan berakhir memilih menelan sebagian kata-kata. Dia menatap wajah bahagia ibunya yang terus berseri-seri.

Sebuah praduga muncul di hatinya. Bahwa bisa saja kebahagiaan Sintia karena Rama, calon ayah barunya.

Acara yang diadakan malam ini sudah disepakati sejak lama, sekira dua mingguan lalu. Hanya saja, Sintia memang telat mengabari Niki karena belakangan dia sering melihat anaknya itu lebih banyak murung dan memasang wajah sedih.

Orang pertama yang ditanyai Sintia saat melihat perubahan pada anaknya adalah Arin.

"Rin, anakmu baik-baik aja?" Pertanyaan ambigu ini bisa langsung dipahami Arin.

Wanita itu sadar bahwa Niki dan Niko sudah ibarat saudara kembar yang tidak terpisahkan. Jika salah satu ada masalah, satunya lagi bisa menjadi petunjuk.

"Si Niko lagi aktif main doang dia. Tiap abis pulang sekolah langsung laporan buat kelayapan," beber Arin.

Sintia diam cukup lama, menyimpulkan sesuatu dari banyak pertanyaan dan pernyataan yang berkecamuk di kepalanya.

"Aku pikir Niki lagi marahan sama Niko. Soalnya anak itu lebih banyak diam dan kayak lagi galau belakangan ini," beber Sintia, terdengar teramat resah. Bahkan kuku-kuku jari tangan kirinya jadi korban, terus digigiti sambil berbicara.

"Hmm, entah, sih. Tapi, Niko kayaknya sibuk jalan-jalan terus, lagi laku keras dia." Arin tertawa singkat, menciptakan suasana membahagiakan.

Sintia baru saja membuka mulut, hendak berkata.

"Sin, gimana persiapan lamaran kamu?" Pertanyaan Arin menohok ketenangan dalam diri Sintia.

Wanita itu diam cukup lama untuk mengembalikan kendali diri yang mulai kalang kabut karena sebuah masalah.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now