'Orang bilang, persahabatan selalu diuji ketika akan direkatkan makin erat.'
***
Setelah sekian purnama, akhirnya dua sahabat sejak orok itu bisa bersama lagi. Itu pun gara-gara Sintia yang berkunjung ke rumah Arin. Dua wanita itu langsung saja menempel bak kertas dan perangko karena beberapa hari kemarin terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan.
Arin dan Sintia terdengar membahas masalah rumah tangga mereka. Sesekali tertawa, tawa yang menggelegar sampai merambat ke dalam ruangan.
"Nik." Niki memanggil, tidak tahan sekaligus rindu mengobrolkan apa saja bersama Niko.
Cowok itu malah asyik dan fokus main game. Sesekali terdengar mengumpat karena heronya mati terus.
"Niko," panggil Niki sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih keras.
"Hmmm." Cowok itu menyahut dengan tidak niat.
"Akunya masa dicuekin, sih?" Niki berupaya merajuk, siapa tahu triknya berhasil.
Sayangnya tidak. Padahal biasanya dulu, trik itu lumayan ampuh untuk meluluhkan ego di hati Niko. Ah, mungkin telah banyak yang berubah dari mereka dan termasuk hubungan persahabatan itu.
"Tanggung," kata Niko sambil tetap fokus menatap ponsel.
Double kill!
Suara ponsel yang bising karena sedang ada pertempuran sengit, benar-benar menyita perhatian cowok itu, pun mengganggu Niki yang merasa makin kesal.
Cewek itu berakhir main ponsel juga. Untung di ponselnya ada aplikasi baca gratis online-offline sehingga dia segera saja mengetikkan judul dan mulai membaca.
"Apa?" Rupanya Niko telah selesai menyelesaikan turnamen.
Tiga puluh menit kemudian, dua wanita itu masih asyik mengobrol di kursi halaman samping. Di depan mereka ada sebuah meja kecil bercat putih, di atasnya tersaji dua piring camilan dan dua piring kopi dingin.
Kopinya memang diseduh dengan air dari kulkas, plus es batu. Bukan benar-benar dingin karena diabaikan. Jadinya, dua gelas kopi dingin itu lebih tepat disebut kopi dingin yang sudah tidak dingin lagi.
"Hmmm." Kini giliran Niki yang membalas. Dia tertunduk, fokus membaca. Tanggung, beberapa halaman lagi habis bab. Baginya, berhenti baca di akhir bab itu lebih bagus dan lebih disarankan karena konflik yang dibahas akan mudah diingat.
"Dih, balas dendam, nih?" Tangan Niko mulai nakal dengan menarik-narik rambut Niki yang diikat dua sore itu.
Cewek itu habis keramas sehingga rambutnya tercium harum dan lembut saat dipegang. Niko jadi suka memainkannya sehingga berakhir mengganggu Niki. Tangannya tidak berhenti memainkan rambut Niki, membayangkan dirinya memeganngi tali kekang kuda.
"Nikooo," rajuk Niki yang merasa terganggu. Dia akhirnya selesai baca, jadi segera menutup ponsel, kemudian memusatkan pandangan pada Niko.
Cowok itu cengengesan sesaat, kemudian memasang tampang jutek lagi. "Tumben ke sini," sindirnya.
"Aku, kan, sahabat kamu," balas Niki, merasa heran mengapa cowok itu masih ketus terhadapnya.
"Sahabat?" Niko tergelitik dengan kata itu sehingga tanpa sadar dia tertawa singkat. "Kita sahabatan, ya, Nik?"
Ditatap oleh Niko, Niki balas menatap sambil menunduk. Di antara lautan manusia, dia lumayan bisa beradu tatap dengan Niko dan Sintia.
"Aku pikir kamu udah beralih ke kakak kelas songong itu." Niko mendengkus, melipat kedua tangan di dada, kemudian mengalihkan pandangan ke depan.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...