'Dalam beberapa situasi, berpikir sambil berjalan itu disarankan daripada terus diam dan tidak membuat pergerakan.'
***
Pertemuan kali ini, para junior PMR harus bekerja keras untuk menyelesaikan misi dari senior. Mereka membentuk kelompok yang terdiri dari minimal lima orang. Sistemnya, mereka praktik lapangan. Jadi, sekarang tengah mengisi lapangan.
Sayangnya, karena di area sekolah tidak ada lapangan asli tanah, akhirnya para senior sepakat menggunakan kelas sebagai bagian dari peta misi. Ada tujuh murid yang ditunjuk untuk berperan sebagai korban. Syaratnya, mereka harus yang paling bertubuh kecil di dalam kelompok.
Untuk melancarkan acara, di tiap kelompok, ada satu senior yang menjadi bagian, tetapi memiliki batasan sebagai pengawas. Jadi, pada akhirnya tetap para junior yang bekerja, sementara senior hanya mengarahkan.
Niki tidak masuk jadi salah satu korban. Ada junior yang lebih pendek dan mungil darinya, padahal dia berharap banyak.
"Semua kelompok sudah siap? Kita memiliki waktu satu jam untuk melaksanakan acara ini!" Joshua berbicara dengan suara lantang.
"Siap, Kak!" Semua yang hadir menjawab serempak, kecuali Pak Cecep selaku pengawas dan pembina PMR.
"Alurnya nanti kalian bayangkan, kalian terjun ke medan bencana langsung. Temukan minimal dan maksimal satu korban yang kemudian harus kalian obati, sesuai dengan luka yang diderita. Untuk itu, setiap korban telah diberi kertas yang menerangkan luka-lukanya," imbuh Joshua, mengedarkan pandangan pada barisan kelompok yang memasang wajah antusias.
Diam-diam dia senang dan merasa makin terdorong melihat semangat seluruh anggotanya. Terutama—entah mengapa—saat melihat Niki begitu bersemangat, hatinya jadi menghangat. Mungkin karena mereka sebentar lagi akan terikat sebuah hubungan spesial.
"Perlu diingatkan lagi, senior menjadi bagian kelompok, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada junior. Kalian hanya boleh mengarahkan dan memberi tahu, minimalisir ikut praktik!" Joshua menajamkan pandangan pada tujuh senior yang masuk barisan para junior.
"Siap, Kak!" Ketujuhnya menjawab serempak, lantang, dan tegas.
Para junior makin merinding merasakan arena yang makin terasa serius. Rasa antusias memenuhi dada mereka sehingga kesulitan menahan senyum.
"Baik, sebelum acara dimulai, mari kita tundukan kepala dan angkat tangan untuk memohon pada Yang Mahakuasa agar acara kita dilancarkan, serta semua yang terlibat dilindungi dari mara bahaya."
Setelah mendengar arahan Joshua, seluruh anggota PMR segera menunduk dan melafalkan doa sesuai kepercayaan masing-masing. Beberapa menit kemudian, mereka mengangkat kepala, menatap pada Joshua, menunggu instruksi berikutnya.
"Sekarang, setiap kelompok, oleh ketua, mohon disiapkan kemudian bubarkan. Silakan menuju tempat yang sekiranya terdapat korban," pungkas Joshua.
Kelompok demi kelompok mulai membubarkan diri. Mereka berpencar, ada yang berjalan sesuai arahan ketua, ada yang berdiskusi, atau ada pula yang tampak ragu-ragu sehingga berdebat. Lokasi korban tentu saja disembunyikan. Masalahnya, karena arena berada di lingkungan sekolah, agak sulit mengidentifikasi karena semuanya tampak sama.
"Kosong," lapor Niki setelah memastikan keadaan kelas X-IPA 2 bersama Aira.
Reni terdiam selama beberapa saat, kemudian pandangannya mengedar ke sekeliling. Kelompok lain ada yang sudah menemukan korban, terbukti dari keramaian yang mereka buat.
"Lanjut jalan. Berpikir sambil berjalan. Membuang waktu di arena adalah tindakan fatal," tegur Mela dengan nada serius.
Mendengar ucapan senior di kelompok mereka, kelima junior itu sepakat melanjutkan perjalanan.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...