'Mencintai sahabat sendiri apa harus setebal ini topengnya?'
***
Niki benar-benar kaget ketika melihat ternyata Niko-lah yang membuat pintu terjeblak terbuka. Yang bikin tambah aneh adalah, cowok itu masuk ruangan hanya untuk memantaunya. Bukan untuk ngotot daftar PMR atau bahkan ikut belajar.
Apesnya, ternyata ada yang lebih aneh dari Niko hari ini. Sepanjang menghabiskan waktu di ruang PMR, jalan bareng ke kelas, duduk bareng menyimak pelajaran, jalan keluar kelas menuju parkiran, bahkan sampai di dalam perjalanan, cowok itu sama sekali tidak mengucap sepatah kata padanya. Mendengar hela napasnya saja tidak rasanya.
Niko sepertinya sedang mode PMS versi cowok.
"Niko, kamu kenapa, deh?" Akhirnya Niki kembali bertanya—pertanyaan yang serupa selama lima kali berutur.
Cowok itu tidak menjawab, justru membuang muka.
"Hmmm, kamu ngambekan banget, sih." Suara Niki terdengar pelan. Kepalanya menunduk. "Gara-gara Kak Shua, ya?"
"Au." Niko menyahut sangat singkat.
Sepertinya dia benar-benar sedang PMS (versi cowok).
"Dasar ambekan, ih. Aku, kan, cuma belajar bikin tandu sama Aira, sama yang lain. Nikooo, jangan ngambek, dong," bujuk Niki sembari meraih tangan Niko yang bertumpu di atas helm.
Cowok itu menarik tangannya.
Suara klakson mobil menarik perhatian keduanya. Ketika berbalik, mereka menemukan sebuah mobil kuning yang merupakan kendaraan pribadi Arin. Wanita itu turun sambil melempar senyum pada Sintia yang juga sama-sama turun.
"Eh, Niki," sapa Arin, masih tersenyum. Dengan anggun dia yang memakai setelan dressoce putih bercorak bunga-bunga hitam, berjalan menuju Niki.
"Ma, kebiasaan, deh." Tampang Niko makin ketus dan tidak enak dipandang saja. Dia memutar bola mata malas.
Arin malah tersenyum, matanya tertuju pada Sintia yang menghampiri Niko.
"Duh, anak tampan Ibu, kok, cemberut terus?" goda wanita yang memakai atasan kaus hitam dipadukan blaser hijau toska. Untuk bagian bawah, dia memakai celana cutbray krem dan high heels hitam.
Hubungan para kaum hawa memang bisa terikat sangat erat, sampai-sampai ada agenda bertukar anak, seperti Arin dan Sintia. Tidak betul-betul menukarkan anak mereka sampai menempuh jalur hukum, tetapi bagi Niko tetap saja terasa risi.
Ibunya memang suka mengada-ada.
"Mama abis reunian, lho, sama temen-temen SMA," beber Arin tanpa ada yang bertanya.
Maka, sebelum ada yang menyahut, Niko lebih dulu menyerobot. "Nggak ada yang nanya, Ma. Lagian aku sama Niki tahu karena tadi pagi Mama udah bilang." Nadanya datar, tatapan dan tampangnya juga ikut-ikutan datar.
"Heh, kamu!" sembur Arin yang mukanya dengan mudah memerah kalau sedang malu atau marah.
Arin dan Sintia dulu satu almameter di SMA. Keduanya terbilang dekat karena ternyata menyukai pada dua orang yang berteman. Sudah klop memang. Sama-sama membagi kebahagiaan, sama-sama merasakan kesedihan, sama-sama berjuang demi mendapatkan cowok idaman.
Pertemanan mereka sangat erat. Makanya Sintia merasa bahagia ketika Arin lebih dulu jadian dengan Nukho, sementara Arin ikut terpukul ketika Sandi meninggalkan Sintia untuk selama-lamanya setelah berjuang melawan kanker.
"Kamu mandi dulu, gih, terus nanti jangan lupa main ke sini, ya. Mama soalnya nggak ada kerjaan lagi," celetuk Arin. Tangannya masih mengelus-elus kedua pundak Niki.
YOU ARE READING
Kiki-Koko
Teen FictionBersahabat dengan buaya darat tentu banyak ruginya. Namun, Nikita Zhafira Adnan tetap setia menemani Nicholas Ivander selama empat belas tahun belakangan. Meskipun dengan status itu, dirinya selalu terlibat masalah, terutama dimusuhi cewek-cewek kor...