29 - Makam Ayah

3 1 0
                                    

Setelah kepergian seorang ayah, rata-rata anak perempuan ibarat akan kehilangan pilar terbesar dalam hidupnya.

***

Bulir demi bulir air mata berjatuhan dengan cepat dari kedua mata Niki yang sedang terpejam. Mati-matian dia menahan tangis karena di depannya ada makam cinta pertamanya, sang ayah.

Pagi ini, cuaca cerah sehingga langit pun tampak biru bersih. Burung-burung berkicau atau ada pula yang sedang terbang di atas sana, mengepakkan sayap, bebas. Hal yang baru kali ini disadari Niki, bahwa dia seperti seekor burung. Tanpa induk, tanpa petunjuk, terbang entah ke mana.

Setelah kepergian seorang ayah, rata-rata anak perempuan ibarat akan kehilangan pilar terbesar dalam hidupnya.

"Kiki nggak tahu harus gimana, Yah. Kiki masih nggak rela kalau peran Ayah digantikan di rumah ini," lirih Niki yang masih belum berhasil menahan tangisannya.

Tangan kiri cewek itu mengusap air matanya, sementara tangan kanan masih mengelus-elus nisan yang bertuliskan nama sang ayah, meninggal belasan tahun lalu.

"Tapi, Kiki sadar, Kiki belum bisa bahagiain Ibu. Maka, Kiki nggak bisa dan nggak punya hak buat nolak apa atau siapa pun yang bisa bikin Ibu bahagia."

Tepat setelah mengatakan itu, seseorang muncul dan langsung mencari tempat bersembunyi. Meski jaga jarak, dia tetap bisa mendengar ucapan yang dilontarkan Niki.

"Yah, sekarang Koko juga nggak deket lagi sama Kiki. Padahal Ayah tahu 'kan, dulu kami sedeket apa?" Suara Niki bergetar. Mengangkat bahasan ini benar-benar membuat hatinya bak disayat sembilu, kemudian ditaburi garam.

"Kiki sedih, karena sejak dulu cuma Koko sahabat deket Kiki. Kami udah bareng sejak kecil, pas udah besar malah kayak orang asing gini."

Kalimatnya terjeda saat tangis makin sulit ditahan. Dia menangis tersedu, menyembunyikan wajah di antara celah kaki dan tangan yang menyatu. Dia membungkuk dengan tubuh gemetar karena tangis.

Cowok itu merasa iba, tetapi merasa tidak sopan jika dia tiba-tiba muncul terus masuk ke acara curhat cewek itu. Jadi, dia memutuskan pergi untuk mencari sesuatu.

"Ayah, sekarang Kiki ngerasa sendirian. Nggak ada Koko yang selalu hibur Kiki, terus Kiki juga takut kehilangan Ibu karena .... Ayah tahu, saudara tiriku kayaknya nggak suka aku, deh, Yah." Niki menatap lekat pada batu nisan.

Suasana pemakaman yang cukup sepi karena terhalang tembok pembata dengan area luar dan lumayan jauh dari jalan raya, membuatnya merasa tenang dan leluasa untuk bercerita. Ada banyak beban dan "sampah" di hati yang menunggu dikeluarkan, sebelum menjadi racun mematikan yang akan meledak jika ditahan lebih lama.

"Kiki udah pernah ketemu berkali-kali dan selama itu juga, dia kayak ngibarin bendera permusuhan sama Kiki." Niki menghela napas, pandangannya berubah kosong. "Kayaknya dia emang nggak suka sama Kiki. Apa Kiki sejelek itu, ya, Yah?"

Niki mengamati sekitar dulu untuk pengalihan. Di pemakaman umum ini, ayahnya beristirahat, tempat terakhir yang menjadi penanda keberadaan ayahnya. Ada pohon kamboja tumbuh subur di dekatnya. Bunga-bunganya bermekaran dan daunnya yang berguguran jadi menimpa makam.

Niki tentu saja sudah membersihkannya tadi sebelum memulai curhat. Oh, tentu tidak lupa, dia juga sudah mengaji sehingga di samping kanannya ada buku Yasin kecil bergambar wajah sang ayah.

Dulu sekali, dia paling anti melihat benda itu. Sampai beberapa tahun belakang, barulah dia memiliki keberanian. Meski tetap saja, ada rindu yang sesak, mendesaknya untuk pergi menemui sang ayah.

"Kiki sekarang udah kelas sepuluh, Yah. Kiki kangen banget sama Ayah. Tapi, Ayah lagi apa di sana?"

Pertanyaan sederhana itu mungkin akan mudah dijawab bagi mereka yang sosok ayah dan ibunya masih ada. Jika terpisah jarak, masih bisa melalui telepon. Teknologi makin canggih sekarang. Berbeda jika sudah beda dunia. Doa-doa yang dilantunkan merupakan salah satu jalan, tetapi tetap saja, kerinduan itu akan sulit terobati. Justru makin bertumpuk dan kesedihan makin menguasai.

"Yah, ini udah agak siangan, deh. Kiki pamit, ya, Yah? Kiki nanti balik lagi buat cerita ke Ayah." Niki mulai merapikan dan mengumpulkan barang bawaannya. Tidak banyak, hanya tas, kerudung, buku Yasin, dan segelas air minum.

Setelah berbasa-basi lagi, akhirnya dengan berat hati Niki melangkah pergi. Dia menunduk selama perjalanan meninggalkan area pemakaman.

"Hai!"

Niki tergemap saat suara itu baginya cukup kencang. Ketika mendongka, dia justru makin kaget karena menemukan Joshua tengah pamer gigi sambil bersandar ke batang pohon.

"K–kak S–shua?" Mata Niki memelotot lebar saking syok. Lupa menundukkan pandangan, jadinya terus menatap wajah putih cowok tinggi di depannya.

"Abis dari makam?" Joshua basa-basi, pemanasan sebelum ngobrol panjang.

Niki mengangguk patah-patah. Matanya masih terpaku pada gerak-gerik Joshua. Cowok itu menunduk dan Niki pun menemukan bahwa Joshua tengah memegang keresek hitam di tangan kanannya.

Cowok itu mengeluarkan botol air mineral. "Minu?" tawarnya dengan nada ramah.

"Anu ... aku bawa, sih." Niki tampak ragu. Bimbang sebetulnya, ingin menolak karena tidak enak, tetapi lebih tidak enak menolak.

"Hmm, oke." Suara Joshua sarat akan kekecewaan.

Mendengar itu, Niki jadi tidak tega. Maka, dia segera menunduk dan mengulurkan tangan. Menahan cowok itu mengembalikan botol air mineral ke dalam keresek. "Aku mau. Haus."

Alis Joshua terangkat karenanya, menyusul kening yang berkerut. "Eh, oke."

Sesaat suasana mereka mendadak canggung. Joshua ketar-ketir karena takut ketahuan bahwa tadi dia sudah menguping, sementara Niki baru menyadari bahwa mukanya masih kusut dan ada bekas air mata.

"Tisu?" tawar Joshua yang sudah mengeluarkan sepak kecil bungkus tisu.

Niki sempat heran, tetapi akhirnya menerima pemberian cowok itu. Detik demi detik membuat mereka menyamankan diri dengan situasi dan mencari alternatif untuk memecah suasana.

"Jadi, Kak Shua kok bisa ada di sini?" Niki akhirnya bisa menyuarakan keheranannya yang tertahan sejak menemukan cowok itu.

"Aaah ...." Ucapan Joshua menggantung lantaran bingung harus jujur atau mencari alasan. "Maaf sebelumnya, tadi aku lihat kamu jalan ke sini. Terus ... kamu nangis, ya?"

Joshua menatap cewek di sampingnya yang sedang menunduk.

"Kakak denger curhatanku juga, dong, sama Ayah?" Niki bertanya dengan nada pelan. Jantungnya berdebar karena takut dengan jawaban dari Joshua.

Jeda cukup lama. Helaan napas Joshua terdengar, lagi-lagi mengagetkan Niki.

"Maaf lagi, tapi aku ... iya, mendengar curahatan kamu," aku Joshua. Dia menunduk, teramat menyesal. Dia takut cewek di sampingnya ini marah.

"Hmmm. Gitu, ya?" Nada bicara Niki terdengar santai. Tidak bisa dimungkiri, bahwa saat ini dia membutuhkan seorang teman untuk mendengar keluh kesahnya.

"Menurut Kakak, punya keluarga baru dan saudara tiri itu gimana?" Niki melempar tatap ke arah langit luas yang sedang cerah, matahari bersinar terik. Untung mereka sedang duduk di warung pinggir jalan yang cukup teduh.

Ada jeda lagi. Joshua sedang memilih kata-katanya yang pas. Sampai, kalimat panjang pun keluar sebagai jawaba—sekaligus curhat.

"Itu pasti berat, sih. Tapi, takdir Allah selalu misterius. Pertemuan dan kebersamaan memang tidak selamanya manis. Hanya saja, aku selalu berpikir bahwa dari setiap kejadian itu, selalu ada hikmah."

***

Jantung Niko seperti sedang main lompat tali, terus lari sepuluh putaran. Betapa cepat detakkannya saat ini, sementara kepalanya dipenuhi pemikiran-pemikiran negatif. Ponsel digenggam erat di tangan kanannya.

Benda pipih itu berdering, menyusul sebuah notifikasi pesan.

Qiya: Iya, aku mau.

Maka, melompat-lompatlah cowok berkaus oblong putih itu di kamarnya.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now