17 - Menangislah

2 1 0
                                    

'Nangis aja sampai kamu lega. Kalau kamu udah nangisnya, aku mau minta maaf dan jelasin sesuatu.'

***

Niki sedang menikmati bacaan sambil berjalan ketika tiba-tiba namanya mulai disebut-sebut oleh gerombolan cewek di pinggir lapangan basket. Namun, yang paling mengejutkannya adalah melihat dua cowok di tengah lapangan.

Tangan kanan Niko mencengkeram kuat kerah seragam Joshua. Meski dari kejauhan, Niki yakin mata cowok itu sedang menatap tajam pada cowok di depannya. Jadi, sudah dipastikan aura permusuhan dan amarah sedang menguasai keduanya.

Niki tidak tahu bagaimana bisa kedua cowok itu bisa terlibat konflik di tengah lapangan, disaksikan para cewek yang menyebut-nyebut namanya dalam dengungan tidak jelas.

"Niko, berhenti!" Cewek itu menjerit panik sembari menatap dengan mata berkaca-kaca.

Novel setebal tiga ratus halaman, dicengkeram kuat oleh tangan kanannya. Itu demi menyalurkan ketakutan, kepanikan, sekaligus keterkejutan. Tubuhnya mendadak gemetaran, sementara pandangan makin mengabur karena air mata tidak bisa lagi ditahan.

Tatapan tajam Niko teralih ke pingir lapangan dan seketika berangsur melembut saat menemukan sahabatnya. Cengkeramannya juga mengendur, kemudian mengempaskan tubuh Joshua sekuat tenaga. Untung cowok itu memiliki penguasaan tubuh yang baik sehingga tidak terjengkang.

"Ni ...." Kepala Niki secepat kilat menunduk, menyusul air matanya yang mulai berjatuhan. Pundaknya mulai berguncang dan isakan tertahan mulai terdengar patah-patah.

Kerumunan cewek-cewek mulai membagi pandangan mereka. Namun, sekarang mereka sudah memantafkan fokus pada cewek yang diduga jadi penyebab Joshua dan idolanya, Niko, terlibat pertengkaran.

"Masa, sih, cowok sekeren Niko berantem gara-gara cewek kayak dia?"

"Ih, nggak banget, deh. Cantik nggak, cupu iya."

Tawa sinis terdengar. "Junior zaman sekarang, kan, paling suka caper dan lupa daratan."

Niki makin menundukkan pandangan, menatap ujung sepatunya dengan pandangan yang makin kabur. Belum lagi hidungnya yang mulai tidak bisa menahan lelehan ingus.

Suara lari yang mendekat membuat Niki makin panik. Seseorang tidak boleh melihatnya menangis—itu menyedihkan, tetapi berdirilah Niko dan Joshua di depannya.

"Nik." Niko memanggil dengan napas ngos-ngosan. Sekilas matanya menatap tajam pada Joshua yang berdiri sesiku di samping kirinya.

Niki tidak menjawab, justru makin diam seolah berubah jadi patung.

Khawatir dengan hal itu, Niko menarik tangan kanan Niki dan setengah berlari membawanya meninggalkan lapangan. Keduanya berhenti di belakang kelas yang cukup sepi.

Di situ, tangis Niki akhirnya pecah. Dalam keadaan yang masih kacau, Niko berupaya mengembalikan akal sehatnya untuk bisa menghibur Niki. Dia mengembuskan napas demi meredam emosi yang masih bergolak. Kemudian, menghadapNiki dan menggenggam tangan kirinya.

"Nangis aja sampai kamu lega. Kalau kamu udah nangisnya, aku mau minta maaf dan jelasin sesuatu," kata Niko dengan nada pelan dan sikap lembut yang selalu dicurahkan hanya pada cewek di depannya ini—tentu saja setelah ibunya.

Tangis Niki pecah cukup lama. Sambil menunduk, cewek itu menumpahkan segala kesedihan di hatinya. Sampai kemudian, tangisnya mulai mereda.

"Maafin aku," bisik Niki dengan suara sengau.

Niko menoleh. "Nggak, Nik. Kamu nggak salah," sangkalnya, masih bicara dengan nada lembut.

"Tapi, mereka bilang kalau aku jadi penyebab kamu sama Kak Shua ... berantem." Niki kembali menunduk dengan hati yang mulai diserang perasaan negatif lagi.

Helaan napas Niko terdengar, disusul kepala cowok itu yang berangsur menunduk. Dia mengusap puncak kepala cewek itu. "Urusan cowok, Nik. Nggak ada hubungannya sama kamu."

Niki mendongak, menatap langsung ke mata cowok itu. Niko salah tingkah karenanya. Jadi, buru-buru mengalihkan pandangan ke sudut lain.

"Tapi, mereka bilang kalo kalian berantem karena aku." Tiap menyebut kata berantem, Niki memelankan suara. Masih syok dan sedih atas kejadian tadi.

"Hadeh, cewek. Selalu sok tahu dan doyan gosip." Niko menanggapi dengan santai. Tangan kirinya menyentuh dinding untuk menahan tubuh, sementara tangan kanannya dimasukkan ke saku.

Niki masih menatap wajah sahabatnya. "Jadi?"

Niko terpaksa menunduk demi mengetahui bagaimana muka sahabatnya sehingga suara cewek itu begitu terdengar meragukan. "Jadi apa?" Alis kirinya terangkat.

"Jadi, jangan berantem lagi, ya?" mohon Niki, sungguh-sungguh.

Sayangnya, Niko tidak langsung menjawab karena dua hal. Pertama, kemungkinan ke depannya akan ada pertarungan lain karena dia sudah mengibarkan bendera perang pada Joshua. Kedua, jantungnya berdebar tidak karuan karena jarak mereka yang teramat dekat plus tatapan Niki yang terarah padanya.

Sesaat, Niko merasakan kedua pipinya memerah.

"Nik, kok, pipimu kayak di film-film, merah-merah gitu," celetuk Niki yang membuat Niko makin salah tingkah.

***

Joshua menimbang-nimbang kalimatnya sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu perpustakaan. Karena tidak ingin mengundang perhatian umum, dia menunggu di dalam ruangan. Jadi, tidak bisa mengamati apakah cewek itu akan datang atau belum.

Pintu berderit terbuka. Seorang cewek kurus masuk sambil mengedarkan pandangan. Pandangan Niki terhenti saat melihatnya.

Sebelum Niki sempat menundukkan kepala, Joshua lebih dulu memberi kode dengan gerakan tangan agar cewek itu mengikutinya.

Mereka pun berjalan bersama menuju sebuah meja yang kosong dan cukup sepi.

Perpustakaan di sekolah ini terbilang cukup baik dan terawat. Ada rak-rak tinggi yang menempel ke dinding, berisi beragam buku yang tertata rapi. Ada juga rak-rak seukuran 180 sentimeter yang mengisi bagian tengah ruangan sekaligus sebagai sekat. Di sana dikategorikan sesuai genre atau jenis buku.

Arah utara, isinya novel-novel fantasi, tempat favorit Niki. Di sebelahnya, masih novel-novel, cuma berbau sejarah atau yang berat-berat. Sementara itu, untuk genre fiksi remaja dan romantis diletakkan paling depan, di tempat yang mudah dijangkau.

Kursi-kursi dilengkapi meja sebenarnya terletak berjajar di arah barat. Cuma, di tiap sudut biasanya disediakan sepasang kursi dan meja atau beberapa kursi tunggal yang biasanya berpindah tempat dengan mudah.

Niki dan Joshua duduk berhadapan setelah mendapat buku bacaan yang akan menjadi teman mereka kalau-kalau suasana berubah canggung. Namun, bukannya mulai membaca, Joshua mengeluarkan buku tulis dan pulpen dan mulai menulis.

Tentu saja, dia datang dan menunggu di sini demi Niki, demi menjelaskan sesuatu.

'Niki, aku minta maaf atas kejadian kemarin.'

Kertas itu dibaca Niki dengan kening berkerut. Disusul tatapan cewek itu yang mulai terarah pada Joshua yang sedang tersenyum.

Joshua menyodorkan pulpen, memberi kode bahwa giliran Niki yang membalas surat kecil dalam sobekan kertas darinya.

'Tidak apa-apa, Kak. Lagi pula, aku rasa aku tidak terlalu tahu letak masalah kalian. Aku hanya berharap kalian bisa menjadi teman baik.'

Joshua membaca dengan bibir yang tetap melengkung. Tulisan Niki terbilang rapi sehingga dia terpukau.

'Bagaimana kalau aku jujur?Bahwa masalah kemarin ada kaitannya sama kamu.'

Niki tertegun membacanya.

Kiki-KokoWhere stories live. Discover now