4

23 4 1
                                    

“Foto lagi! Foto lagi! Foto lagi!” Aki berseru-seru. Dia menangkap lengan Keira yang hendak kabur diam-diam, lantas memaksa gadis bertopi hitam itu untuk kembali berswafoto.

Keira mendesah panjang. “Aku sudah kehabisan gaya,” keluhnya, melepaskan genggaman Aki pada lengan seraya menjauh. Siswi kelas satu itu tidak habis pikir kenapa Aki begitu tergila-gila untuk mengabadikan momen seperti ini, rasa-rasanya mereka sudah mengambil foto di setiap sisi bus.

Aki mengabaikannya, terlalu sibuk memilah-milah mana foto yang layak untuk bertengger di beranda sosial media. “Aku sudah menandaimu di postingan terbaru, nanti jangan lupa repost, ya. Like sama komentar juga di kirimannya.” Dia tersenyum lebar sambil menekan tombol kirim, tampak puas begitu melihat ponsel di tangan kiri Keira bergetar.

“Nah, sudah masuk!”

“Kenapa kau begitu menyukai hal-hal ini.” Keira bergumam, jempolnya menekan dua kali slide foto terbaru Aki. Memberi love. Dia menggesernya beberapa kali dan menatap sejumlah foto Aki bersama siswa-siswi lain. “Belum juga berangkat.”

“Nah, karena belum berangkat itu!” Aki bersikeras. “Kalau sudah di mobil, aku mau tidur saja. Soalnya, mual. Lalu nanti begitu sampai, ponsel pasti akan disita.” Gadis dengan model rambut bob itu mendekati Keira, berjinjit dan berbisik di telinganya. “Aku sedang berusaha mencari cara untuk menyelundupkan ponselku saat acara kemah nanti.” Aki menjauh, telunjuk menempel di bibir sambil mendesis-desis dengan raut jahil.

Seseorang memanggil namanya dari belakang, gadis itu berbalik dan membalas sambil berkata, “Itu ketua kelasku. Aku balik dulu, ya, Keira. Sayang sekali, kita beda bus. Sampai nanti.” Aki melambaikan tangan dan berlari menjauh.

Keira balas melambai pelan, dia menatap ponselnya yang masih menampilkan foto terbaru Aki dengannya di halaman terakhir. Gadis itu menekan fitur share, kemudian mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket.

“Nozomi-kun, kau duduk dengan siapa?” Keira menekan-nekan bahu kanan Kento, menunggu laki-laki yang tengah sibuk mengecek daftar hadir teman-teman sekelasnya itu berbalik.

Begitu menoleh, Keira sedikit terkejut dengan wajah muram Kento yang tidak biasanya. Meskipun begitu, ketua kelas 1-4 itu tetap berusaha tersenyum. “Tentu saja, aku duduk di sebelah sensei.” Meskipun berusaha terdengar baik-baik saja, Kento jelas tidak bahagia. Raut wajahnya yang sudah muram dan dipaksa tersenyum, makin membuat Keira merasa kasihan.

Yah, duduk di bangku terdepan bersama guru pembimbing berarti tidak bisa macam-macam. Mentok-mentok, ya, makan permen hisap kalau dikasih. Kento juga pasti dapat kursi di sebelah jalan, jadi tidak bisa bersandar di dinding atau melihat pemandangan melalui kaca. Sementara, murid-murid lain bisa menonton anime atau gitaran di belakang, dia harus jaga imej saat mengantuk dan bersikeras untuk tidak ketiduran dengan mimik wajah konyol.

Beruntung kalau sensei mengajaknya bicara dan punya topik yang tidak alot. Kalau pembicaraannya basi, yang ada bukannya terhibur malah mabuk perjalanan.

Keira menepuk kedua bahu Kento. “Semangat. Fighting!”

Kento tersenyum paksa. “Terima kasih,” bisiknya. “Kau baris dulu bersama yang lain. Aku mau menghitung kalian, sudah hampir jam berangkat. Barang-barangmu sudah masuk bagasi? Yang penting-penting dipegang saja dulu.”

“Aman, Ketua,” balas Keira. Dia melambaikan tangan seraya berjalan menuju barisan teman-teman sekelasnya selagi Kento mendekati Mujioka-sensei, guru olahraga sekaligus wali kelas mereka. Ketika Keira sedang berpikir dengan siapa dia akan duduk, seseorang tiba-tiba saja merangkulnya dari belakang.

Unstoppable!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang