1

69 13 38
                                    

Keira punya satu masalah. Dia tidak pandai bergaul. Apalagi di dalam kelas yang entah kenapa ... sepertinya mereka semua sudah saling mengenal. Dari sisi ke sisi ruang kelas, para siswa-siswi saling bercengkrama akrab dan ketawa-ketawa sembari menunjukkan ponsel mereka ke depan wajah lawan bicara. Anak laki-laki membentuk kelompok, perempuan juga sama. Lalu ada satu orang yang menyendiri di bangku paling belakang, ya, itu Keira Hanazawa. Sejak dulu, dia tidak pernah beruntung dalam urusan urutan bangku.

Penghuni bangku barisan belakang sering dicap sebagai pemalas, pembuat onar, biang masalah, tukang tidur, tukang contek, tukang makan di kelas, tukang main HP diam-diam, tukang izin ke toilet, tukang terlambat, tukang langganan tidak mengerjakan tugas, tukang menjahili murid lain, tukang gosip, dan tukang-tukang lainnya. Keira bernapas saja dan dia sudah dipandang minus karena duduk di baris belakang. Sialnya lagi, posisi bangku dan mejanya kini di tengah-tengah, memisahkan dua kubu geng beranggotakan tiga sampai empat laki-laki dan dua gadis manis berpakaian sempit yang sewaktu-waktu bisa saling lempar penghapus atau makian, kalau sedang jam kosong.

Gadis itu menghela napas gusar, tatapannya jatuh ke arah jendela kelas yang berada jauh dari jangkauan. Petal-petal merah muda berterbangan tertiup angin dan dari posisi Keira duduk, dia bisa melihat gerbang sekolah SMA Meisei terbuka lebar. Sejak upacara penutupan penerimaan siswa baru resmi selesai, jejeran meja-meja dan spanduk-spanduk ucapan selamat datang untuk siswa-siswi baru sudah dibereskan. Berikut dengan properti milik klub-klub ekstrakulikuler.

"Hanazawa-san."

Keira menoleh, menatap remaja laki-laki berseragam rapih dengan tatanan rambut paling bagus di kelasnya.

"Kau kelihatan luang, bisa temani aku ke ruang guru untuk mengumpulkan buku tugas?"

Kenta Nozomi. Ketua kelas. Keira menyebut nama laki-laki murah senyum itu dalam hati.

Tentu saja dia luang, tidak ada kerjaan selain menunggu jam makan siang. Tidak satupun siswa di kelas mengajaknya bicara dan gadis itu juga tak cukup pandai untuk memulai obrolan dengan siapa pun selain dirinya sendiri, otaknya, pantulannya dalam cermin, dan percakapan semu dalam benak. Keira mengangguk singkat dan berdiri. Bunyi gesekan antara kursi dan lantai menimbulkan suara nyaring, seketika kelas berubah hening dan Keira merasakan hujaman tatapan dari mana-mana. Dia mengendarakan pandangan ke sekeliling, lantas orang-orang tadi langsung memalingkan wajah dan mulai berbisik-bisik begitu pandangan mereka bertemu.

Aku salah apa, sih? Keira meringis dalam hati sambil mencengkram rok hitam bergaris-garis ungu tua. Dia mengusap wajah gusar, lantas berjalan mengikuti ketua kelas dari belakang.

"Jangan hiraukan mereka, Hanazawa-san. Kurasa mereka begitu, karena belum akrab denganmu." Kento meletakkan sejumlah buku di atas tangan Keira, sementara dia membawa sebagian besarnya. Keduanya berjalan meninggalkan kelas dan selang beberapa langkah, Kento bersuara lagi. "Sebenarnya, aku sengaja mengajakmu keluar karena ada yang mau kubicarakan." Suara Kento berubah serius.

Keira mengernyit dan Ketua Kelas 1-4 itu melanjutkan. "Apa ... apa kau ini ... maaf, tidak bisa bicara?"

Saking terkejutnya, Keira sampai berhenti dan tertinggal dua langkah di belakang Kento. "Aku bisa bicara, Nozomi-kun."

Kento gelagapan, wajahnya bersemu dan berkeringat di waktu yang sama. "Eh? Ah, ternyata kau bisa bicara. Syukurlah, maksudku ... Hanazawa-san sama sekali tidak pernah bicara, ak-aku tidak pernah melihatmu bicara di kelas." Kento meralat ucapannya, dia terlihat sangat tegang dan berkali-kali menjilat bibir serta meringis tidak enak. "Pokoknya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu atau apa pun, aku benar-benar khawatir karena kau tidak ... tidak bersuara sedikit pun."

Unstoppable!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang