20

5 1 0
                                    

Warna jingga mewarnai langit sore itu, Keira dan teman-teman sekelasnya sedang beristirahat di ruang kelas usai membereskan semua perlengkapan pekan olahraga. Mereka capek luar biasa, tetapi juga merasa senang dan tak sabar untuk melakukannya lagi tahun depan.

Keira sedang bersandar pada kursi sambil memejamkan mata, dia benar-benar mengantuk. Beberapa saat lalu, sejumlah teman membawakannya makanan dan mereka makan ramai-ramai di kelas. Sekarang, gadis berperawakan ramping dan tinggi tersebut hanya ingin cepat-cepat sampai rumah dan tidur.

Belum sempat Keira terlelap, dia mendengar beberapa pasang langkah kaki mendekati meja. Membuat sang gadis sedikit mengintip dan kembali duduk tegak. Di depannya, ada tiga orang gadis yang Keira kenali sebagai orang-orang yang membicarakannya waktu itu, setelah pulang dari karyawisata.

“Hanazawa-san, apakah kami bertiga bisa bicara denganmu?”

Keira mengangguk, keempatnya berjalan keluar kelas. Menjawab pertanyaan-pertanyaan 'ke mana?' dari rekan-rekan yang lain dengan seadanya. Gadis-gadis itu membawa Keira menuju tangga, wajah mereka kelihatan gelisah begitu juga gelagat tubuhnya.

Keira bersedekap sambil bersandar pada dinding, menanti ketiganya berbicara. Dia sudah menduga apa yang akan gadis-gadis itu katakan, tetapi tetap merasa perlu mendengarnya langsung.

“Kami ... ingin minta maaf karena sudah menganggapmu buruk,” ujar seorang gadis berambut hitam pendek. “Kento-kun, sudah memberitahu kami bahwa kau bukan orang yang ... jahat. Hanya saja, kami menolak mendengarkan ucapannya dan tetap menghasut yang lain untuk tidak mendekatimu juga.”

Di kelas, ketiga gadis ini memang terkenal yang paling kompak sekaligus cukup berpengaruh dalam hal hubungan pertemanan. Bisa dibilang, karena teman mereka banyak, pengikut atau seseorang yang mendengar ucapan mereka juga banyak sama halnya dengan Fuse. Namun, Fuse tidak pernah menggunakan koneksinya dengan seluruh sekolah untuk mengasingkan orang lain. Hal yang membuat Keira sangat menyayangi gadis itu, walaupun dia unik.

“Terima kasih karena kau sudah berusaha keras untuk kelas kita hari ini.” Gadis yang lainnya bicara, dia mengenakan bando merah dan rambutnya diikat ke samping bahu kanan. “Melihatmu berjuang begitu, membuat kami benar-benar merasa bersalah.”

Gadis terakhir ikut menambahkan. “Tolong maafkan kami.” Ketiga orang tersebut lantas membungkuk di depan Keira.

Keira menarik napas dan mengangguk paham. “Tidak apa, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku senang kalian mau mengaku dan berjanji tidak mengulangi hal itu tadi,” ujarnya pelan dan hati-hati. “Kurasa ini salahku juga karena tidak pernah berusaha dekat dengan kalian dan hanya mau bersama orang-orang yang sudah kukenal saja.” Dia mengusap tengkuk sambil meringis.

“Sudah-sudah, tidak perlu membungkuk lagi. Bisa-bisa aku benar-benar dianggap sudah mengganggu kalian kalau gitu.” Keira tertawa, tetapi suasananya malah berubah jadi super canggung, membuat anggota tim basket putri itu ingin langsung menenggelamkan diri ke kolam.

Suara langkah kaki yang cukup nyaring memecah keheningan mereka, wajah Kento yang menaiki tangga sambil memegangi setumpuk surat dalam amplop putih muncul dari belokan menuju anak-anak tangga berikutnya. Ketua kelas itu tersenyum tanpa mengatakan apa pun. Namun, Keira yakin kalau Kento mendengar obrolan tadi dan sengaja melangkah masuk untuk mengobati suasana.

“Ada surat dari ruang guru untuk semuanya. Silakan ambil sama-sama satu.” Keira membantu Kento membagikan surat itu kepada tiga teman sekelasnya yang tadi. Dia juga mengambil satu untuk dirinya.

Oh, ini undangan untuk orang tua.

Keira membaca isi surat tersebut. Acara pertemuan antara wali kelas dan wali murid akan diadakan tiga hari lagi. Biasanya di acara ini mereka akan melangsungkan rapat yang membahas perkembangan para siswa-siswi sekelas secara keseluruhan, juga ada sesi konsultasi antara wali murid dan wali kelas apabila ada murid yang dinyatakan memiliki masalah selama di sekolah. Para wali murid juga boleh secara khusus meminta wali kelas untuk membicarakan kelakuan anak mereka atau hal-hal lain.

Keira melipat surat tadi dan kembali memasukkannya ke dalam amplop. Dia mengerjap. Orang tuaku bisa datang tidak, ya? Gadis itu berpikir. Mengingat soal orang tua, Keira jadi tiba-tiba tersadar dan mendadak ingin pergi ke gimnasium.

“Nozomi-kun, aku pamit duluan, ya."

“Lho, kau tidak jadi ikut kami ke arcade?” Kento mengernyit. Pasalnya teman-teman sekelas sudah berencana untuk pergi ke tempat bermain setelah ini.

Keira menggeleng pahit. “Aku tiba-tiba ingat sesuatu, tolong sampaikan permintaan maafku ke yang lainnya, ya. Sampai jumpa besok!”

“Lho, Hanazawa-san! Tasmu gimana?”

Teriakan Kento tidak diindahkan Keira. Gadis itu terlalu fokus untuk bisa langsung sampai ke gimnasium. Lagi-lagi Keira tidak sengaja membanting pintu sampai terbuka, seperti sewaktu dia pertama kali tiba di tempat ini.

Benar saja, di gimnasium sudah ada siswi-siswi kelas tiga. Namun, sekarang ada pelatih dan juga guru pembimbing di sana. Keira buru-buru membungkuk dan meminta maaf, selagi Pelatih Akimoto meneriaki gadis itu akibat ketidaksopannya.

“Ada apa? Kenapa berlari seperti itu?” Shiro-sensei bertanya.

Keira melirik Nana sekilas. Dia lalu mengeluarkan surat yang diberikan Kento tadi. Tanpa perlu berkata apa pun, semua orang yang berada di dalam gimnasium saat itu langsung memahami apa yang dimaksud oleh Keira.

Nori mendengkus. “Kau ini ... ternyata kadang-kadang bisa jadi peka juga, ya.”

Begitu membaca surat barusan, Keira langsung teringat dengan masalah Nana dan orang tuanya. Dia jadi khawatir kalau gadis itu benar-benar diminta mengundurkan diri dari klub basket Meisei. Kalau Nana mundur, maka itu adalah akhir dari klub mereka.

Gadis itu sendiri kelihatan ketakutan. Dia meremas surat permohonan kehadiran orang tua di tangannya, sementara Kame dan Pelatih Akimoto berusaha menenangkan gadis itu.

“Jangan khawatir, Nana. Aku akan bicara pada orang tuamu nanti,” ucap Shiro-sensei. “Kau dan yang lainnya juga bisa hadir di sana kalau mau.”

Nana masih tetap cemas, tetapi dia mengangguk singkat. Keira menduga bahwa obrolan gadis itu dengan orang tuanya sebelum ini tidak berhasil, sehingga Nana jadi begini. Biar bagaimanapun, kalau wali murid mengatakan pada wali kelas Nana bahwa mereka ingin anaknya berhenti berkegiatan ekstrakulikuler, maka Nana bisa diberhentikan secara paksa.

Nana pribadi tidak mau berhenti, tetapi di saat yang sama merasa bahwa masa depannya juga sedang dipertaruhkan sekarang. Dia masih ingin melanjutkan kuliah dan meraih cita-cita, tetapi tidak mau jika harus mengorbankan klub yang telah diperjuangkannya bersama yang lain.

Keira meraih kedua tangan seniornya tersebut dan mengelusnya pelan. Dia tersenyum, tidak tahu harus berkata apa karena memang tidak pandai bicara. Namun, Keira sadar bahwa terkadang seseorang hanya butuh ditenangkan dan didengarnya daripada nasihat atau kata-kata penyemangat. Setidaknya, Keira berharap kalau dengan ini, Nana mengetahui bahwa dirinya tidak menghadapi masalah ini sendiri. Sejenak Keira teringat teman-teman sekelasnya dan dia tersenyum kecil.

[]

Unstoppable!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang