Keira tidak punya persiapan apa pun untuk mengahadapi Ujian Tengah Semester. Gadis berambut cokelat itu merebahkan kepalanya di atas meja, diam-diam merobek kertas dan memasukkannya ke mulut.
Guru di depan kelas berkata bahwa mereka akan menjalani ujian harian sekarang, tetapi karena kondisi hatinya yang buruk semalam, Keira jadi tidak berniat mengerjakan apa pun dan justru tidur lebih awal. Sekarang, kondisinya nyaris sekarat di hadapan lembar soal ujian harian matematika.
Keira terpejam, mengeluh dan meringis dalam hati sambil lanjut memakan kertas. Sebuah kebiasaan buruk yang gadis itu lakukan saat sedang stres menghadapi ujian. Menjelang lima menit sebelum ujian berakhir, barulah Keira mulai mengerjakan soal sebisanya. Dia tidak berharap apa pun saat mengumpulkan jawaban, bahkan tidak ikut-ikutan nimbrung ketika Fuse dan Kento sibuk mendiskusikan mana yang benar antara -17 atau 17 di soal terakhir.
Perasaan hatinya masih kacau. Gadis itu membuang napas gusar sambil membenturkan kepala ke meja
Kami sudah sampai babak final, sedikit lagi berhasil ke laga akhir. Kalau lolos laga akhir, jadi perwakilan prefektur. AKHHH! Tidak ada gunanya aku berkhayal.
“Fuse, ayo kita ke gimnasium.” Keira berdiri, mendorong bangku dengan bokong saat dia membungkuk rendah untuk keluar dari meja. “Latihan.”
Gadis yang diajak mengangguk antusias. Fuse sedang duduk di sebelah meja Keira sambil ngemil snack kentang ketika tiba-tiba rekan setimnya berdiri dengan dahi memerah.
“Boleh ikut?” Kento ikutan bangun, tangan terangkat sopan seperti murid menjawab pertanyaan. Meskipun tidak ikutan klub basket, dia agaknya mengerti sedikit bagaimana perasaan Keira.
Gadis yang ditanya tidak menjawab dan sudah berlalu meninggalkan kelas. Fuse menggantikan Keira dan memberi anggukkan setuju, akhirnya Kento membuntuti kedua gadis itu dari belakang.
Begitu tiba di gimnasium, ternyata bukan hanya ketiga murid kelas 1-4 yang berniat untuk main ke sana. Senior kelas tiga mereka sudah lebih dulu berkumpul dan tengah melakukan permainan kecil, berhati-hati agar tidak terlalu banyak berkeringat karena sedang mengenakan seragam harian.
“Senpai ....” Keira berucap lirih sambil menghampiri Kame. Kapten Meisei tersebut mengoper bola kepada adik kelasnya sambil menaikkan kedua alis, menyapa.
“Tumben main ke sini. Kenapa hanya sama Fuse?” Kame menatap siswi satunya, tatapan senior berseragam putih tanpa dasi itu terhenti pada Kento. “Siapa, nih? Pacarmu, Kei?”
“Bukan,” bantah Keira cepat, dia memberi aba-aba agar Kento mendekat dan remaja itu memperkenalkan dirinya sendiri. Kame manggut-manggut paham.
Nori menghampiri, gadis itu merangkul Keira dan Fuse bersamaan. Membuat dua gadis yang lebih pendek darinya tersebut merasa seperti terkungkung di bawah lengannya yang besar. “Kami ke sini disuruh Nana, sih, cuma tadi katanya dia mau ke toilet dulu.” Dibandingkan kemarin, wajah Nori kelihatan kusut hari ini. Baru Keira perhatikan bahwa Kame juga kelihatan mirip.
Tak lama setelah mengatakan itu, pintu gimnasium kembali terbuka dan gadis yang dibicarakan tampil bersama Manajer Risa. Nana tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dari nada suara dan ekspresinya. “Kalian ngapain?”
“Kebetulan mampir.” Kame yang menjawab. “Kau ada masalah?” Suaranya melembut dan penuh perhatian.
Nana berjalan gelisah mendekati mereka. Menyadari gelagat gadis tersebut, Kento berbisik pada Keira dan mohon izin untuk undur diri. Keira mengangguk dan mengucapkan berterima kasih pelan. Entah kenapa firasatnya buruk saat melihat seniornya hari ini.
Selama beberapa waktu, hanya keheningan yang mengisi udara di antara mereka. Tidak satu pun dari gadis-gadis di sana hendak membuka mulut. Nana membuang napas panjang sambil terpejam, dia menunduk menatap lantai sambil meremas ujung rok dan meringis.
Kame mengelus pundak Nana menyalurkan ketenangan. “Tidak apa. Pelan-pelan saja.”
“Apa Anda tidak bisa bicara karena ada kami?” Fuse bertanya dan Nana menggeleng cepat-cepat.
“Bukan, kok, bukan. Aku memang gugup untuk mengatakannya.” Power forward itu berujar jujur sambil memaksakan segaris senyum. Tatapannya kembali terlihat kosong dan tak fokus.
Risa dan Nori mencoba untuk meyakinkan Nana perlahan-lahan. Akhirnya gadis itu berani bicara. Sesuatu yang sama sekali tidak Keira sangka-sangka akan terjadi, tepat ketika mereka baru saja diterpa kekalahan menyakitkan.
“Orang tuaku memintaku keluar dari klub basket.”
Keira mematung di tempatnya berdiri, merasa seolah badannya baru disiram oleh air es batu. Tidak ada yang langsung membalas ucapan Nana. Satu-satunya orang yang berhasil lebih dulu mendapatkan kesadaran adalah Kame, dia memegangi lengan kanan rekan lamanya pelan sambil berkata, “Lalu? Apa yang ... apa yang kau katakan?”
Keira paham, kalau orang tua Nana meminta hal demikian. Biar bagaimanapun, gadis ini sudah berada di tahun terakhir sebagai siswi SMA. Jika dia berniat melanjutkan studi ke universitas negeri, maka ada baiknya Nana mengambil langkah mundur di semua kegiatan sekolah lantas mulai mempersiapkan segala keperluan mengenai masa depannya. Apalagi sekarang sudah tengah semester pertama dan ujian akan segera berlangsung. Namun, apabila Nana keluar maka klub mereka akan dibubarkan saat itu juga akibat kekurangan anggota.
Nana menggeleng, masih tersenyum paksa. “Aku belum memutuskan. Tentu saja, aku bilang tidak mau. Namun, orang tuaku agak pemaksa. Aku sedang berusaha untuk berbicara baik-baik dengan mereka.”
“Apa tidak sebaiknya kita memberitahu Pelatih dan Hotaka-sensei?” tanya Amarisa Mitsuru, Manajer Meisei sekaligus teman kelas tiga para senior tahun terakhir. “Kurasa ... ini bukan sesuatu yang bisa kita atau kau tanggung seorang diri.” Nori mengangguk setuju.
Kame hendak kembali bicara, tetapi Nana buru-buru mengatakan, “Aku aman membujuk mereka terlebih dahulu. Kalian tenang saja, oke? Aku tahu, apa yang kita pertahankan dan pertaruhkan di sini. Aku akan membicarakannya dengan orang tuaku secara baik-baik.” Nana tersenyum, dia menatap Keira dan Fuse sebentar dan memberi anggukan meyakinkan.
Keira merasa sesuatu yang tidak enak mengganjal di hatinya. Dia berharap kalau Nana tidak keluar, tetapi juga ingin masa depan seniornya itu tidak hancur hanya karena keputusan egois. Namun, gadis itu tidak berpikir bisa melakukan sesuatu karena masalahnya adalah internal keluarga Nana. Akan jadi lancang, apabila pihak luar seperti Tim Meisei secara tiba-tiba meminta keluarga Nana untuk membatalkan permintaan mereka.
Nana meraih tangan Keira dan Fuse. Membuat kedua gadis itu menatap mata hijaunya yang teduh dan berkilau indah seperti daun ditimpa embun. “Aku akan berjuang untuk klub ini dan kita akan sama-sama mempertahankannya. Suatu saat nanti, klub ini juga akan jadi tanggung jawab kalian dan kalian harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaganya, ya?” Lesung pipi cantik muncul di kedua sisi wajah Nana ketika dia tersenyum lebar, sekalipun air mata menggenangi kedua sudut matanya.
“Pasti!” Keira dan Fuse menjawab bersamaan. Hari itu, Keira Hanazawa menyadari sesuatu yang lebih penting dan berharga daripada kemenangan di pertandingan.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable!
Teen FictionKlub basket SMA Meisei terancam dibubarkan akibat kekurangan anggota dan minim prestasi. Padahal, Keira Hanazawa yang terobsesi terhadap bola basket, menggantungkan impian pada klub bekas idolanya tersebut. Bersama Tim Meisei, gadis itu berjuang ke...