Kini seluruh regu telah berkumpul di ruang tamu keluarga Shuichi Nana. Mereka bersimpuh menghadap orang tua Nana. Seorang pria berpakaian sederhana, kemeja cokelat polos dan celana panjang berwarna krem. Sebenarnya Ayah Nana adalah pekerja kantoran, tetapi dia sedang jam istirahat sekarang. Wajahnya tidak terlalu tua, tidak berjanggut ataupun berkumis. Kulitnya berwarna kuning langsat dan sedikit keriput. Nana tampak sangat mirip dengan ayahnya.
Dari ekspresi, Keira menilai bahwa pria ini adalah sosok yang hangat dan tegas. Di sebelah kanan, ada Ibu Nana. Wanita yang kelihatan jauh lebih muda dari suaminya, bahkan bisa dikatakan dia terlalu muda sampai-sampai duduk di sebelah anaknya begini jadi membuat wanita itu terlihat seperti kakak daripada ibu. Ibu Nana adalah ibu rumah tangga yang mengelola bisnis menjahit di rumah. Koleksi hasil jahitannya terpampang rapih, semenjak memasuki ruangan. Semua taplak, tirai, bahkan hiasan-hiasan anyaman tertata rapih sebagai penghias rumah. Wanita tersebut berambut agak panjang dan dikucir sedikit. Sedari tadi, Ibu Nana terus tersenyum.
Di paling kanan, sebelah sang ibu. Nana duduk gelisah, berusaha tampak tegar sambil menatap haru teman-teman, pelatih, dan gurunya yang sudah bersedia datang untuk membicarakan masalah pribadinya ini.
“Sebelumnya, saya sangat berterimakasih karena Anda berdua bersedia meluangkan waktu untuk berbicara dengan kami.” Shiro-sensei berkata. Ketika pria itu sedikit membungkuk, yang lainnya otomatis mengikuti.
“Tidak perlu terlalu kaku, Pak Guru.” Ibu Nana berkata, suaranya sejernih air. Dia tersenyum manis, tampak seperti langit cerah berhiaskan awan. “Kami senang karena Pak Guru dan Bu Pelatih, juga teman-teman Nana sudah mendukung dan menerima Nana selama ini.”
Suaminya mengangguk setuju, ikut tersenyum kecil. “Nana sudah menceritakan dan berbicara pada kami sebelumnya, Pak Guru-Bu Pelatih. Soal masalah yang klub basket ini tengah hadapi.” Ekspresinya berubah keruh, seperti daun musim gugur. “Sungguh sangat disayangkan,” nada suaranya memberat, tidak terlihat dibuat-buat.
“Namun, aku sungguh menginginkan yang terbaik untuk putriku. Seperti kita semua, seperti orang tua dari adik-adik sekalian.” Ayah Nana memandangi para anggota Meisei yang duduk di belakang Shiro-sensei dan Pelatih Akimoto sambil sedikit tersenyum. “Saya khawatir, kegiatan klub ini akan menyita waktu belajar Nana dan membuatnya tidak bisa fokus menghadapi ujian. Nana sudah kelas tiga, saya ingin dia benar-benar memperhatikan masa depannya. UTS baru saja lewat, tidak lama lagi akan ada ujian semester pertama dan tanpa kita sadari, masa penerimaan mahasiswa baru akan hadir.”
Kali ini Pelatih Akimoto yang berbicara. “Saya memang tidak mengenal Nana sebaik orang tuanya, tetapi saya yakin kalau Nana adalah siswi yang sangat cerdas. Setiap tahun ajaran baru, saya rutin memeriksakan nilai-nilai anak didik saya untuk memastikan bahwa mereka tidak ada masalah dalam belajar. Biar bagaimanapun, meskipun saya hanyalah pelatih klub, saya tetap merasa bahwa anak-anak ini adalah anak-anak saya juga. Mereka dititipkan oleh pihak orang tua ke sekolah dan saya adalah bagian dari sekolah. Saya merasa bertanggungjawab pula terhadap nilai mereka.” Pelatih Akimoto sedikit menoleh ke belakang, memandangi anggota klubnya. Dia kembali menghadap depan.
“Dengan mengetahui nilai-nilai mereka di kelas, saya tahu masalah yang mereka hadapi dan dapat mengatur jadwal latihan khusus. Bagi anak-anak yang tidak lulus ujian, ada larangan mengikuti latihan sampai hasil ujian susulannya keluar. Di klub pun, aku meminta anak-anak untuk saling mengajari, demi membangun kebersamaan mereka. Tanpa maksud memberatkan anak-anak di klub dengan menuntut mereka mendapatkan nilai bagus, aku hanya berharap dengan cara ini. Anggapan bahwa kegiatan klub dapat mencederai nilai sekolah menghilang.” Pelatih Akimoto tampak sangat berhati-hati ketika bicara, memilah mana kata yang tepat untuk menyusun kalimatnya. Jarang-jarang, wanita tegas itu kelihatan gugup begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable!
Teen FictionKlub basket SMA Meisei terancam dibubarkan akibat kekurangan anggota dan minim prestasi. Padahal, Keira Hanazawa yang terobsesi terhadap bola basket, menggantungkan impian pada klub bekas idolanya tersebut. Bersama Tim Meisei, gadis itu berjuang ke...