Belum sempat Keira dan yang lainnya membalas ucapan dari ketiga gadis yang baru datang tersebut, Naoka dan Nana muncul dari balik pintu gimnasium dan mengatakan bahwa Pelatih Akimoto meminta semuanya untuk berkumpul. Mendengar kabar tersebut acara pertandingan mereka terpaksa dibubarkan.
Sementara teman-teman gadis itu berjalan lebih dulu, Ayumu dan Keira tertahan oleh ketiga mantan senior mereka sewaktu SMP. Dibandingkan yang tadi, tiga gadis tersebut lebih ramah dan menunjukkan sisi yang berbeda sekarang.
“Ne, Hana-chan. Wajahmu kelihatan sebal, tuh, kau marah sama kami?” Gadis berjaket hitam merangkul dan menekan-nekan pipi Keira. Tinggi mereka sama, sekalipun Toshio Yuji itu berusia setahun lebih tua daripada Keira dan Ayumu. “Hana-chan, kau marah karena kami mengganggumu atau kesal karena kekalahanmu kami bawa-bawa, hm?”
Mereka berjalan meninggalkan gimnasium menuju lapangan tempat semua peserta summercamp berkumpul. Keira menatap seniornya itu, sementara dua orang lain tengah 'menginterogasi' Ayumu di belakang.
“Aku tidak marah, aku hanya membalas ucapan Michio-senpai.”
“Wajahmu tidak bilang begitu, kelihatannya kau malah seperti ingin meninju orang.”
“Sayangnya, wajahku memang begini.”
Yuji menepuk-nepuk punggung adik kelasnya tersebut. “Jangan khawatirkan itu, kita semua tahu Michio-senpai melakukannya memang untuk merendahkan orang lain, sekaligus memberikan motivasi. Dia memang tidak pintar bicara dan lebih suka berkata kasar untuk menunjukkan kepedulian. Ingat tidak waktu dia bilang, 'kalau memang tidak mau makan. Latihan saja sana sampai pingsan! Atau sampai mati sekalian, tidak akan ada yang peduli pada seseorang yang mati akibat tidak sayang diri.' untuk menyuruh Shiori-senpai makan.”
Shiori adalah gadis satunya lagi yang rambut dicepol dan berjaket jingga. Dia dan Michio berusia dua tahun di atas Keira.
Keira hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Sisa perjalanan itu hanya diisi oleh kesibukan sang point guard mendengar ocehan seniornya yang seperti tak habis-habis. Begitu tiba di lapangan, mereka berpisah dan memasuki barisan sekolah masing-masing. Setiap sekolah diperbolehkan membawa dua belas anggota klubnya atau satu regu dan karena jumlah Meisei pas-pasan, mereka pergi semua.
Pelatih Akimoto berdiri di depan barisan, peluit hijau dikalungkan pada leher dan wanita itu mengenakan baju olahraga tanpa lengan dan celana selutut warna putih. Di sebelah wanita itu ada Manajer Risa dan Manajer Kento. Kedua orang itu tampak menggenggam papan ujian yang menjepit kertas, kemungkinan berisi hasil rapat atau pembahasan dari obrolan antarpelatih tadi.
“Latihan kita mulai hari ini. Sore nanti aku akan memberikan kalian jadwal khusus. Isinya adalah pertandingan-pertandingan yang harus kalian jalani selama di sini. Pertandingan melawan sekolah-sekolah lain.” Kedua tangan Pelatih Akimoto berada di pinggang, ekspresinya serius dan tegas. “Mungkin banyak yang mengejek kalian karena tidak bisa melewati babak penyisihan Interhigh, padahal di tahun sebelumnya bisa masuk semi-final. Hasil pertandingan memang tidak ada yang bisa menebak, jadi sekalipun orang-orang itu lebih kuat dari kalian dan mengejek seperti manusia sinting. Cukup bungkam mereka dengan bukti.”
“Aku mau semuanya menjalankan latihan dengan keras tanpa pertanyaan. Kembangkan semua yang kalian punya, aku tidak peduli apakah kalian kalah atau menang dalam pertandingan-pertandingan latihan ini karena yang kuinginkan adalah kemenangan di pertandingan resmi. Aku mau kalian berusaha keras sampai rasanya mati itu lebih baik. Lihatlah, akan kubuat summercamp tahun ini jadi seperti neraka.” Pelatih Akimoto meniup peluitnya. Dia mengangkat tangan kanan. “Jarak delapan ratus meter dari sini ada sebuah pantai. Aku sudah meminta Manajer Risa dan Manajer Kento untuk memasang bendera sebagai penanda jalan. Larilah ke sana dalam waktu dua puluh menit! Siapa pun yang sampai terlambat harus mengulang kembali kemari dan balik lagi ke sana.”
“ASTAGA!” Seluruh anggota Meisei hampir kompak berteriak. Namun, wanita di depan mereka tak peduli. Bibirnya yang menjepit peluit telah siap untuk berbunyi kembali.
Kame buru-buru memberi arahan lari untuk semuanya. “Berlarilah dalam pasangan, dua orang-dua orang. Dengan begitu kalian bisa saling memperhatikan kalau sesuatu terjadi.”
Kerumunan anggota Meisei sempat sedikit kisruh, tetapi mereka bisa dengan mudah mengikuti perintah Kapten dan begitu semuanya menemukan pasangan. Peluit berbunyi dan kedua belas perempuan tersebut berteriak bersamaan penuh semangat sambil mulai berlari.
Jalanan menuju pantai yang dimaksud Pelatih Akimoto tidak bisa dibilang mulus karena ada satu turunan dan dua tanjakan sebelum bisa sampai ke sana. Sementara regu Meisei berlari seolah nyawa mereka bergantung pada itu, Pelatih Akimoto Yasushi dan dua manajer tim menggunakan dua motor berbeda agar sampai lebih dulu.
Bahkan Kento sempat-sempatnya melambai pada Keira dan teman-teman seangkatannya ketika mereka melewati kerumunan gadis-gadis klub basket itu. Melihat ekspresi menyebalkan yang dibuat Kento serta-merta memercik bara api di dalam diri Keira, bukan untuk tiba lebih dulu. Namun, keinginan mencakar wajah temannya.
Kedua belas gadis itu sampai di waktu yang hampir bersamaan. Aki yang biasanya sangat mempedulikan penampilan tak sungkan-sungkan merebahkan diri di pasir pantai seperti mayat begitu mereka tiba. Dia berusaha menyamakan langkah dengan Fuse agar tidak tertinggal dan tidak membuat temannya itu tertinggal. Namun, Fuse punya kadar stamina yang sama tidak warasnya dengan Keira.
Kedua manajer tim membagikan minuman isotonik dan Pelatih Akimoto langsung meniup peluitnya, pertanda bahwa waktu minum sudah habis. Padahal belum ada tiga menit. Semuanya kembali berdiri, tidak berbaris. Hanya berusaha tetap tegar bertahan di kaki masing-masing.
“Dengar, aku melakukan ini untuk memperbaiki stamina kalian. Sekolah-sekolah yang akan kita lawan di Winter Cup punya banyak pemain cadangan, sementara jumlah kita hanya sedikit jadi kalian semua akan bermain esktra keras di semua babak. Kita mungkin akan menghadapi dua pertandingan dalam satu hari, itu artinya kalian semua akan dikuras sampai habis.”
Pelatih Akimoto memandangi semua anak didiknya yang sedang berusaha mengatur napas. Tidak ada yang memprotes atau mengeluh sedikit pun, menyadari bahwa mereka memang tidak punya kemewahan seperti sekolah lain jadi harus mati-matian. Lagipula ini adalah demi mempertahankan klub basket putri Meisei.
“Aku ingin kalian memiliki stamina monster seperti Keira, Kame, Nori, Jun, Nami, dan Fuse. Ah, mereka tidak ada di sana. Lihat saja kalau sudah sampai nanti.” Wanita berambut panjang sepunggung itu terpejam sebentar. Dia tersenyum menyeramkan. “Jadi selamat datang di perkemahan neraka, aku tidak akan menunjukkan kebaikan hatiku sama sekali. Setelah ini kalian lakukan pemanasan seperti biasa, lalu kita mulai latihan basketnya.”
Keira menunjuk dirinya sendiri, dia menatap ketiga teman kelas satunya. “Aku dibilang monster.”
“Kau sadar tidak, sih, kalau baru habis bertanding melawan tiga orang sekaligus lalu langsung disiksa?” Aki bertanya, wajahnya seperti sedang melihat orang makan kecoak.
Peluit berbunyi nyaring, pertanda bahwa latihan mereka dimulai.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable!
Teen FictionKlub basket SMA Meisei terancam dibubarkan akibat kekurangan anggota dan minim prestasi. Padahal, Keira Hanazawa yang terobsesi terhadap bola basket, menggantungkan impian pada klub bekas idolanya tersebut. Bersama Tim Meisei, gadis itu berjuang ke...