Keira menarik kursinya dan duduk bersandar sembari meluruskan kaki. Gadis itu menatap ke arah depan kelas yang sudah dipenuhi siswa-siswi lain dan tatapannya jatuh ke arah Kento yang tengah berbincang bersama sejumlah rekan sekelasnya. Kento melihat Keira dan tersenyum kecil, tak lama dia meninggalkan kelompok tersebut dan menghampiri Keira yang sedang bersandar di bangku.
“Dari mana saja? Jam segini baru datang.” Laki-laki itu membalik kursi di meja depan Keira, dadanya menempel pada sandaran kursi selagi dia bicara. “Latihannya kemarin gimana? Omong-omong, aku belum punya nomormu. Rencananya mau bikin grup kelas.” Kento meraih ponsel dari saku celana kiri, setelah memasukkan pola yang tepat dia menyerahkan benda pipih tersebut pada Keira. “Tadi aku juga udah minta nomor yang lain.”
Keira tidak tahu kenapa Kento terus saja berbicara tanpa henti seperti tadi, seolah-olah memberi penjelasan rinci adalah kewajibannya. Gadis itu hanya mengangguk dan menerima uluran ponsel sang ketua kelas sambil menjawab, “Aku habis latihan pagi.”
“Oh, ya. Klub olahraga memang biasanya gitu, ya.”
“Soal kemarin, klubnya hampir aja dibubarkan.” Keira menekan tombol simpan dan mengembalikan ponsel Kento. “Tapi, sekarang masih aman.”
“Lho, kok?” Kento menerima gawainya dan memasukkan benda itu kembali ke saku. “Kenapa mau bubar?”
Keira menggeleng. “Kata Pelatih, tim kita udah bertahun-tahun enggak mencetak prestasi apa pun. Terus kekurangan anggota juga.” Dia mengangkat bahu. “Sekarang aja pas-pasan, cuma dua belas orang.”
“Ehhh, sedikit juga, ya. Apa ada teman sekelas kita yang satu klub denganmu?” Kento menaik-turunkan alis. “Kan lumayan kalau kau ada teman selain aku.”
“Kau bicara seolah-olah aku membutuhkanmu.”
Laki-laki berambut hitam itu tertawa. “Bukan begitu maksudku.”
Tiba-tiba pintu geser kelas yang berada di belakang---dekat bangku Keira---terbuka keras, bunyinya mengagetkan seluruh siswa. Namun, pelaku yang menggebrak pintu tersebut tidak terlihat merasa bersalah. Malahan dia percaya diri melangkah masuk sambil berteriak, ”Keira-sannn! Kenapa kau meninggalkanku, haaaa? Bisa-bisanya kau berjalan lebih cepat darikuuu. I'm saddd.”
Keira menyipit. Gadis ini penampilannya mencolok sekali. Di antara lautan anak-anak berambut hitam dan cokelat, rambutnya pirang. Dia juga mengenakan lensa berwarna biru dan gaya bicaranya yang mencampurkan bahasa Jepang dan bahasa Inggris---yang terkadang asal-asalan---membuat Keira tak habis pikir.
“Aoyama-san, ya? Aku tidak tahu kalau kalian dekat.”
“Ah, tidak. Rasanya tidak bisa dibilang dekat. Kebetulan kami satu klub.”
Mungkin harusnya Keira mendapati ekspresi puas dan lega di wajah Kento, alih-alih remaja itu malah tampak khawatir ketika gadis pirang di pintu berjalan mendekati meja mereka.
Begitu tiba di samping kursi Keira, Fuse Aoyama langsung berlutut dengan satu kaki dan mengulurkan tangan seperti seorang pangeran. “Bisa-bisanya Tuan Putri Lopez Von de Laurent Koscielny Blanc meninggalkanku seperti itu. Padahal kita sudah lama tidak berjumpa, seharusnya Anda senang melihatku masih baik-baik saja. Oh, Putri!”
Keira bergeming. Ketika dia berharap ingin punya teman, maksudnya bukan yang seperti ini.
Fuse bangkit berdiri perlahan, gayanya dramatis sekali dengan kedua tangan menyatu di depan dada. “Ah, wajar saja Anda berlari meninggalkanku seperti tadi. Tentu saja, Anda tidak ingat siapa aku, 'kan? Pasti Anda sangat terkejut mengetahui bahwa aku masih hidup. Pengawal setiamu ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable!
Teen FictionKlub basket SMA Meisei terancam dibubarkan akibat kekurangan anggota dan minim prestasi. Padahal, Keira Hanazawa yang terobsesi terhadap bola basket, menggantungkan impian pada klub bekas idolanya tersebut. Bersama Tim Meisei, gadis itu berjuang ke...