Hiro keluar dari kamar mandi. Sudah mengenakan kaus dan celana pendek sembari terus mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Dia duduk di pinggir kasur. Mengingat lagi perkataan Fabil, si ketua OSIS, tentang ujian dan sekutu. Dua kata yang berbeda, tapi saling berkaitan.
"Cari sekutu," gumam Hiro.
Hiro sangat mengerti maksud dari Fabil. Mencari sekutu sama saja dengan mencari komplotan. Hiro juga sudah memikirkan soal ujian tersebut. Namun sekarang yang menjadi tujuan utamanya adalah sekutu. Ia tidak bingung harus mencari sekutu seperti apa. Yang ia bingungkan adalah siapa yang memenuhi kriteria untuk ia jadikan sekutu. Hiro juga tidak terlalu mengenal murid kelas 10, selain Mahesa.
Hiro mengambil ponsel, mengecek sesuatu. Tangannya begitu lihai menggeser dan memencet layar. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia cari tahu lebih jauh lagi. Kemudian senyum kecil terlukis di bibirnya.
"Dapet," ujarnya puas.
Perlahan, ia bisa menyusun rencana. Ia sudah menemukan satu tali. Tinggal menemukan tali yang lain dan mengikatnya. Maka yang ia butuh kan saat ini adalah bantuan Mahesa. Hanya Mahesa yang bisa melakukannya. Hiro yakin sebenarnya Mahesa juga telah memikirkan soal sekutu. Mungkin saja Mahesa sudah memiliki rencana. Baiklah, Hiro akan mendengarkan rencana Mahesa besok dan menyimpan rencananya untuk di akhir.
"Laper." Hiro mengusap perutnya begitu mendengar bunyi keroncongan.
👑👑👑
Murid kelas 10 belum mendapat kelas. Mereka dibiarkan bebas berkeliaran di sekitar sekolah dan diberi waktu seminggu untuk belajar supaya bisa menghadapi ujian penempatan kelas.
Oleh karenanya, kebanyakan dari mereka memenuhi perpustakaan. Harga diri yang ada di dalam diri mereka membuat ambisi semakin menggebu-gebu. Di mana kekalahan adalah aib bagi mereka. Dalam belajar pun mereka bersaing.
Sangat menyusahkan.
Berbeda dengan Hiro dan Mahesa yang sangat santai menghadapi ujian. Mereka lebih memilih belajar di ruang laboratorium komputer Gedung C yang sepi dan sunyi. Belajar sambil mengemil adalah pilihan terbaik.
"Gue udah paham soal sekutu itu," ujar Mahesa tiba-tiba. Hiro sampai mengangkat kepalanya dari buku.
"Ya?"
"Gue udah liat spesifikasi murid kelas 10 di Imperium Kingdom."
"Lo liat satu-satu murid?"
"Ya nggak, lah! Gue tinggal masukin kata kunci. Murid terpintar di kelas 10 atau murid paling bagus di bidang olahraga."
"Oh." Hiro memalingkan wajahnya. Bagus jika Mahesa mengerti. Setidaknya ia tidak perlu capek-capek menjelaskan.
"Tapi gue nggak cuma cari yang pintar aja. Gue rasa kalau kita mau membangun sebuah tim, kita harus punya posisi untuk setiap murid. Gue punya nama-nama yang cocok buat memenuhi posisi di kelompok kita." Mahesa menyerahkan ponselnya. Semalaman ia membuat catatan presentasi karakter dan kemampuan murid yang ingin ia jadikan sekutu.
Hiro menatap layar ponsel Mahesa. Dalam hati ia memuji kagum. Mahesa orang yang teliti, serius, dan berwawasan. Ia bisa mendapatkan banyak informasi dan menyusunnya dengan rapi sehingga mudah dimengerti.
"Gue malah yang nggak ngerti itu, soal ujiannya," ujar Mahesa. Hiro masih menunduk memperhatikan catatan Mahesa. "Kak Fabil nyuruh kita buat sekutu. Tapi dia juga bilang, kita ditempatkan di kelas yang mana itu ditentuin lewat ujian. Ujian diadakan tiga hari. Kita boleh milih mau ujian di hari ke berapa. Terus juga bakal ada lima paket ujian yang beda. Ujiannya juga pasti dijaga ketat kalau ingat gimana pas ujian seleksi masuk sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The King : Battle of Imperium School
Ficção AdolescenteImperium School bukan sekadar sekolah biasa, bukan sekadar tempat mencari ilmu melalui mata pelajaran, tetapi Imperium School lebih 'liar' daripada itu. Karena di sini, setiap kelas harus siap bertarung, merangkak naik ke piramida atas, ke tempat bi...