Handuk kecil berwarna hitam bertengger di atas kepalanya, bulir air terjatuh dari ujung rambut yang setengah basah. Kamar berAC membuat kulit yang baru terkena air terasa lebih dingin. Mengambil duduk di pinggir kasur, Hiro sibuk memegangi ponsel yang tertempel di telinga. Mendengarkan pihak lain berbicara leluasa.
"Kamu gimana di sana? Tempatnya nyaman, kan? Temannya baik-baik? Ibu khawatir mereka jahat sama kamu. Mereka pasti anak orang kaya semua. Semoga aja nggak sombong dan nggak ngebully kamu. Ibu tuh cerita ke Bu Laras yang rumahnya dekat panti, kalau kamu sekolah di Imperium. Terus kata Bu Laras semoga kamu nggak kenapa-kenapa, soalnya biasanya anak orang kaya suka jahat sama yang kurang mampu."
Hiro begitu tenang mendengarkan cerita dari Bu Ani, ada sedikit perasaan lucu juga ketika mendengar Bu Ani yang khawatir dirinya akan dibully. Memang kebanyakan anak orang kaya sangat sombong dan manja, menganggap mereka adalah bangsawan yang perlu dihormati dan dilayani. Tetapi ini Hiro, yang tidak akan membungkuk untuk orang lain. Harga diri seseorang berada di level yang sama, siapapun itu. Perihal menghormati memang perlu, lebih tepatnya saling menghormati. Hiro akan sukarela menghormati orang lain jika orang tersebut menghormati dirinya dan bila orang itu tidak mampu menghormatinya, maka ia pun enggan menghormati. Sesimpel itu prinsip Hiro.
"Mereka baik. Aku baik-baik aja," yang namanya orang tua harus ditenangkan supaya berhenti khawatir, Hiro pun melakukan hal yang sama.
Terdengar helaan napas Bu Ani dari seberang. "Syukur deh kalau mereka baik. Terus gimana apartemennya? Nyaman? Makan kamu teratur, kan?"
Hiro melirik ke arah dinding di sebelah kiri yang tergantung jam berbentuk bulat. Pukul delapan malam. Lalu lirikannya beralih ke meja belajar yang tertata rapi tanpa adanya buku yang terbuka atau alat tulis berserakan. Biasanya tanpa telepon Bu Ani, Hiro akan menghabiskan waktu di jam delapan malam dengan membaca buku dan menggambar apapun yang ada di dalam kepalanya.
"Apartemennya bagus. Aku makannya juga teratur. Hesa selalu ngontrol pola makan aku."
"Ibu yang minta tolong Hesa mengawasi pola makan kamu. Ibu takut kamu nanti makannya jarang."
Menyenangkan mendapat kasih sayang dan perhatian berlimpah dari Bu Ani, Hiro jadi merasa seperti memiliki ibu. Seandainya saja Bu Ani memang ibunya, seandainya saja Hiro mendapatkan kasih sayang dan perhatian ini lebih awal dari sebelum semuanya terjadi.
Mungkin....
Mungkin dirinya akan bahagia dan menerimanya.
"Makasih atas perhatian Bu Ani," hanya ini yang bisa Hiro katakan untuk saat ini.
Kelak, jika ia menjadi orang sukses, akan ia berikan banyak hal untuk Bu Ani dan orang-orang panti yang sudah baik membesarkannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
"Kamu jangan lupa belajar dan makan," pesan Bu Ani.
"Iya. Ini mau belajar buat besok ujian penentuan kelas."
"Oh, mau belajar? Ibu telepon kamu dari tadi ganggu dong, ya? Ya udah belajar sana. Udahan dulu teleponnya. Semoga besok lancar ujiannya, dapet nilai bagus. Selamat malam."
"Selamat malam, Bu Ani."
Panggilan telepon berakhir.
Hiro menurunkan ponsel dari telinga. Menatap layar ponsel, sekadar mengecek barangkali ada yang menghubunginya. Ternyata tidak ada. Diletakan ponsel di atas kasur, ia pun ikut membaringkan tubuh telentang di dekat ponsel seraya menatap langit apartemen yang berwarna putih.
"Besok ujian penentuan kelas." Hiro bergumam, jari telunjuknya bergerak seperti menulis sesuatu di udara.
Hiro sedang memeriksa persiapan rencana yang sudah ia letakkan di setiap bagian dan menunggunya saling terhubung hingga membentuk sebuah hasil akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King : Battle of Imperium School
Teen FictionImperium School bukan sekadar sekolah biasa, bukan sekadar tempat mencari ilmu melalui mata pelajaran, tetapi Imperium School lebih 'liar' daripada itu. Karena di sini, setiap kelas harus siap bertarung, merangkak naik ke piramida atas, ke tempat bi...