Mengenakan baju olahraga perpaduan warna hitam dengan garis merah di bagian ujung baju dan celana, dua puluh murid kelas 12-1 berkumpul di lapangan A atau lapangan running track. Setiap tiga murid secara acak dipanggil ke garis start untuk pengambilan nilai olahraga di cabang lari. Bagi murid yang sudah selesai pengambilan nilai atau yang belum mendapat giliran akan menunggu di pinggir lapangan, menyaksikan berlangsungnya aksi murid kelasnya di running track.
"Menurut lo siapa yang bakal menang?" Namiera berdiri di pinggir lapangan, fokus mengintai tiga siswa yang sudah bersiap di garis start.
Glisa, gadis yang diajak bicara melirik Namiera di sampingnya. Lalu beralih menatap Fabil dan Gilvano yang berdiri di garis start. Mereka berdua akan bersaing mendapatkan nilai tertinggi. Sekalipun mereka berada di kubu yang sama, persaingan tetaplah persaingan.
"Gil emang nyebelin. Tapi gue tetap mengakui kemampuan Gil di bidang olahraga. Jadi udah ketebak kan pemenang menurut gue?" Glisa melirik sinis Namiera, bukan karena ia menyimpan benci, tetapi memang begitu lah wajahnya. Jutek.
Peluit berbunyi penanda pengambilan nilai dimulai. Gilvano dan Fabil berlari sekuat tenaga meninggalkan satu siswa di belakang mereka, terdapat perbedaan jarak yang tipis diantara keduanya.
Dan persis seperti yang dikatakan oleh Glisa, Gilvano memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan di bidang olahraga, kekuatan ototnya lebih unggul dibanding yang lain. Meski sempat menyamai kemampuan lari Gilvano, Fabil tetap mengalami kekalahan dan harus puas hanya mendapat posisi kedua.
"Nami, hari ini lo bisa ikut rapat?" Zennaya yang sedang duduk bersila di belakang Namiera dan Glisa bertanya. Di samping Zennaya ada Khail sedang duduk berselonjor kaki.
Namiera menoleh ke belakang, menyempatkan diri melirik Khail yang tidak tertarik dengan pertanyaan Zennaya. Lelaki itu lebih memilih memperhatikan Gilvano yang tengah melakukan selebrasi kemenangan, serta meledek kekalahan Fabil yang berhasil membuat ketua OSIS itu mengumpat.
"Maaf, Zen, gue nggak bisa. Ada urusan." Namiera menjawab setelah kembali menatap Zennaya, tidak lupa memamerkan senyum.
Zennaya menghela napas. Kedua tangannya menyentuh lantai lapang ke belakang, menyangga berat tubuhnya. "Orang-orang zaman sekarang haus kekuasaan," gumamnya.
"Sama kayak lo, kan?" sarkas Glisa seraya tersenyum ngeri melihat ekspresi Zennaya yang tidak berkaca diri.
Zennaya terkekeh. "Gue juga orang," tuturnya santai.
"Oke, oke, karena Fabil kalah dari gue. Dia bakal traktir kita semua!" Gilvano berseru heboh. Berjalan ke arah pinggir lapangan seraya merangkul Fabil, yang dirangkul sebenarnya kesal, ingin memukul wajah songong Gilvano. Tetapi Fabil tidak suka keributan yang berakhir hanya pasrah, tersenyum penuh dendam. Ia pasti akan membalas Gilvano dengan cara lain, lihat saja nanti.
"Nggak ada tepuk tangan nih buat gue?" tanya Gilvano, menatap satu persatu temannya. Karena tidak ada respons, ia harus puas bertepuk tangan untuk dirinya sendiri.
"Skor lo nggak pantes dapet tepuk tangan," ketus Glisa.
"Yang iri emang cuma bisa berkomentar jelek, bisa gue maklumin. Tapi jangan lupa, skor lari gue lebih tinggi dari lo." Gilvano menunjuk dirinya sendiri, tertawa bangga sekaligus meledek Glisa.
"Jangan terlalu percaya diri! Lo bahkan nggak bisa mecahin rekor Khail dari zaman kelas 10!" cela Glisa.
"Kenapa lo jadi bahas ke yang lainnya? Gue lagi bandingin skor kita. Dan skor lo lebih rendah dari gue!" Gilvano tidak ingin mengalah dalam perdebatan, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Glisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King : Battle of Imperium School
Dla nastolatkówImperium School bukan sekadar sekolah biasa, bukan sekadar tempat mencari ilmu melalui mata pelajaran, tetapi Imperium School lebih 'liar' daripada itu. Karena di sini, setiap kelas harus siap bertarung, merangkak naik ke piramida atas, ke tempat bi...