Lantai kamar Adara kini berantakan seperti pelabuhan pecah—karena kapal tidak cukup untuk mendeskripsikan kamar seluas lapangan sekolah—namun tetap dibiarkan begitu saja. Pertama kali dalam seumur hidupnya, setengah lantai kamar itu tidak terlihat lagi ubinnya. Keluarga nun jauh di sana datang berkunjung ke rumah Adara, membuatnya berperan seperti babysitter dalam satu hari.
Tante Miranda dan suaminya, membawa empat krucil yang sekarang sedang menginvasi kamar Adara. Anak sulungnya berusia sepuluh tahun, anak kedua berusia delapan tahun, lanjut terus secara konsisten, hanya berbeda dua tahun dari saudara sebelum maupun sesudahnya.
"Kak Dara, bisa kentut high pitch nggak?" tanya si anak sulung, seorang cowok yang matanya sudah minus dua.
"Apa lagi itu?"
"Contohin, Ric!"
Rico, anak kedua tante Miranda menarik napas dalam-dalam, lalu diembuskan, ia ulang selama tiga kali. Mainan yang berserakan itu ia singkirkan menggunakan kaki. Rico duduk di lantai, terlihat seperti menekan bokongnya.
Prot!
Suara kentut solo, lolos secara nyaring karena dipaksa berbenturan dengan ubin. Ketiga saudaranya terkencing-kencing menyaksikan tingkah konyol Rico.
"Halo anak-anak mami, kalian sepertinya asyik banget ya, main sama Kak Adara."
Tante Miranda membuka pintu kamar Adara. "Oh, God, please, ini pasti ulah kalian, ya?"
Tidak ada yang menjawab, mereka hanya merespon dengan tawa membahana. Sudah tak dapat terlukiskan betapa pusingnya Adara setelah ini, harus membereskan kamar seluas lapangan itu. Pasalnya, mainan yang berserakan ini adalah mainan masa kecil Adara sendiri, empat anak kerasukan jin tomang itu hanya membawa beberapa mainan dari rumah.
"Nggak apa-apa tante, nanti Dara bereskan," katanya sambil tersenyum tawar.
"Kalian jangan kabur, ayo, bantuin!" perintah Miranda, menahan keempat anaknya. "Bentar lagi kita harus ke airport, katanya mau cepat-cepat ke Tokyo Disneyland?"
"Aye, mom!" seru mereka serempak.
"Adara mau ikut, nggak? Liburannya kapan, sih?" tanya Miranda kepada Adara.
"Nggak tahu, tan, mungkin setelah UAS," jawab Adara.
"Oh ... begitu. Ya sudah, semangat ya, belajarnya. Adara kan pintar kayak Papa Pras."
Adara hanya membalas dengan senyum simpul. Ia tidak suka diberi semangat untuk belajar.
Bukan apa-apa, tapi tanpa mereka ketahui, Adara menghabiskan waktu untuk belajar minimal empat jam dalam sehari. Jika sudah muak, ia mengunci diri di kamar ataupun pergi jalan-jalan ke luar tanpa sepengetahuan ayahnya yang sedang bekerja.
Kejadian yang menimpa Adara ini tidaklah jarang. Sebagian orang di luar sana memasang stereotip bahwa, anak pintar adalah, ia yang mendapat nilai akademis diatas rata-rata, bahkan bisa meraih angka sempurna, sudah menjadi pencapaian biasa bagi seorang jenius.
Bisa dibilang, Adara malah kesal dibilang pintar. Karena, kepintaran yang diapresiasi hanya nilai akademisnya saja. Selain itu, sedikit sekali yang menganggap keahlian lain milik Adara itu sama hebatnya. Ia bukanlah tidak bersyukur, melainkan nilai-nilai perfect di rapornya itu adalah hasil gojlokan papanya, Pras. Adara mengakui bahwa otak kirinya kurang, bahkan jika kepalanya panas karena belajar berjam-jam, cara menghitung luas segitiga saja ia mendadak lupa, linglung.
Kejeniusan Adara berada di bidang lain, yaitu bernyanyi, menulis, juga melukis. Ia juga termasuk murid yang atletis, beberapa cabang olahraga sudah ia kuasai. Padahal Adara lebih sering memboyong piala dari bidang non akademis, tapi respon keluarganya hanya ala kadarnya saja, seolah seorang jenius matematika sudah menduduki kasta tertinggi, tidak bisa diganggu gugat.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Lo-waifu You!
Humor"Ra, ini permintaan terakhirku." "Maksudnya? Perasaan amalmu nggak seberapa, kok cepat banget." "Ini bukan surat wasiat. Dodol banget, ngerusak suasana saja," sanggah Reivant sembari mencubit pipi Adara. ... "I Lo-waifu You!" seru Reivant. ... "Mau...