Seminggu telah berlalu. Pelaksanaan pentas seni SMA Puspa Cempaka dilaksanakan di lapangan utama. Panggung berada di sebelah tiang bendera. Cukup besar untuk menampung berbagai keperluan tampil, seperti keyboard, gitar akustik dan bass, serta drum set.
Reivant sudah menduga hal ini bakal terjadi. Padahal sudah jam tujuh, tapi masih banyak kelas yang belum datang. Ia tahu karena, di belakang gerbang sekolah, ada anak OSIS yang bertugas sebagai penjaga absen. Dengan berakhirnya penilaian akhir semester, tak serta merta membuat para murid memutuskan untuk rebahan di rumah saja, menunggu pengumuman tentang liburan akhir tahun.
Jika kelas pertama datang tidak tepat waktu, maka apa boleh buat, jadwal tampil harus ditukar dengan kelas berikutnya. Sebelum itu, ada sambutan dari kepala sekolah, wakasek kesiswaan, serta Reivant sendiri selaku ketua pelaksana.
Dengan penuh percaya diri, Reivant menyambar mik yang sedari tadi bertengger di tempatnya. Ia tidak nyaman jika berbicara tapi harus diam di tempat. Lebih baik, mik itu dicabut, dan Reivant dapat lebih leluasa untuk berbicara.
Akhirnya selesai juga cuap-cuap di depan umum. Reivant turun dari panggung, lalu menuju ke kelasnya untuk gladi bersih. Kelas XI IPS 5 tampil paling terakhir, oleh karena itu, waktu mereka masih banyak meski resikonya penonton mulai berkurang.
Selang beberapa waktu kemudian, Reivant mendengar kelas Adara diserukan oleh MC. Reivant yang sedang menyetel gitar, langsung berlari ke lapangan demi menonton pertunjukan yang ditampilkan kelas XI MIPA 3.
Seorang gadis sedang duduk, tangannya sibuk menenun. Itu adalah Adara. Ia begitu cantik menggunakan baju adat sunda.
"Ah, jatuh lagi! Aku bersumpah, siapapun dia, jika ada yang mengambilkan pintalan benangku, kalau dia laki-laki, akan kujadikan suami, kalau perempuan, akan kujadikan saudara," ujar Adara. Suaranya empuk, hampir mirip seperti suara lantangnya ketika memimpin barisan waktu itu.
"Nih, tumangnya nih! Lagi melongo. Bukannya ngambilin elu teh, jadi suami noh."
Axel mengatakan hal itu cukup keras, membuat beberapa orang menoleh ke belakang, berusaha mencari sumber suara.
Reivant sontak menunduk, pura-pura sibuk main ponsel, padahal aplikasi perpesanannya kosong melompong, tidak ada yang chat. Reivant menginjak kaki Axel, menyuruh sahabatnya itu untuk diam dan menonton saja.
"Ini pintalan benangnya, tuan puteri."
Seorang cowok menggunakan kostum anjing, merangkak sambil menggigit pintalan benang. Reivant tidak mengenal cowok itu, tapi biarlah, si tukang itu kan akhirnya mati. Ia masih penasaran, siapa yang menjadi Sangkuriang.
"Nak, bunda akan mengadakan suatu pesta. Pergilah kau berburu rusa di hutan bersama Tumang."
"Baik, bunda."
Oh, yang menjadi Sangkuriang adalah Marvin. Akting mereka cukup bagus, apalagi Adara. Bukan karena Reivant menyukai gadis itu, namun Reivant hanya memberikan penilaian jujur.
Dayang Sumbi berkata, bahwa ia ingin menggelar pesta dan ia mengurus Sangkuriang untuk berburu rusa ditemani oleh Tumang. Sungguh, malang sekali pemeran tokoh Tumang. Cowok itu mengikuti langkah Marvin sambil merangkak. Terlihat di wajahnya, ia sedang menahan malu karena beberapa penonton mulai tertawa. Jika setengah berlari, ia merangkak, tergopoh-gopoh.
Sesuai naskah, Sangkuriang membunuh ayahnya sendiri karena sulit menemukan rusa. Bukannya sedih, penonton malah tertawa. Pemeran tumang itu joget naik turun ketika panah Sangkuriang mengenainya. Sekarat ceritanya. Tak lama kemudian, Tumang tutup usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Lo-waifu You!
Humor"Ra, ini permintaan terakhirku." "Maksudnya? Perasaan amalmu nggak seberapa, kok cepat banget." "Ini bukan surat wasiat. Dodol banget, ngerusak suasana saja," sanggah Reivant sembari mencubit pipi Adara. ... "I Lo-waifu You!" seru Reivant. ... "Mau...