09 🔸 Penjara di Istana

40 12 8
                                    

    "Apa?!"

    Senyuman simpul hanya teruntuk Adara, yang saat ini dilanda ketidakpercayaan atas syarat yang diberikan oleh Reivant, yaitu ia harus melakukan sit up empat puluh kali.

    "Mumpung kamu masih pakai baju olahraga, juga kamu keukeuh nggak mau di razia, jadi menurutku ini nggak masalah," kata Reivant.

    "Ya jangan empat puluh juga dong! Kamu mau bunuh aku?"

    "Yaudah, tiga puluh lima."

    "Dua puluh!"

    "Tiga puluh. Deal."

    Kok malah jadi tawar menawar?

    "Huh, iya, deh!"

    Beberapa teman sekelasnya penasaran, mengapa mereka berdua tak kunjung kembali. Melongok lewat kaca, Marvin menyaksikan Adara sedang sit up bersama Reivant di sisi lapangan.

    Di hitungan ke-20, napas Adara mulai terengah. Ia berhenti untuk sekadar memasok oksigen lebih banyak ke dalam tubuh. Reivant diam saja, tidak bereaksi apapun. Terkadang, ia memainkan ponsel, namun beberapa menit kemudian, pandangannya kembali fokus ke Adara.

    Setelah menuntaskan hitungan terakhir, Adara membaringkan tubuhnya di lantai. Saat ini, ia bagai bintang laut yang menempel di lantai koridor. Untung saja lantai itu selalu dibersihkan, jadi rambut dan seragam Adara tidak kotor meski terlentang di sana.

    Satu botol air mineral disuguhkan. "Nih, minum."

    Adara tidak langsung menerima botol mineral itu, melainkan hanya melihat wajah Reivant yang terasa familier. Diingat-ingat berulang kali, ia tetap tidak ingat kapan mereka bertemu, dan di mana, meski dalam benaknya berujar pernah melihat sosok Reivant.

    "Makasih."

    "Bilang saja, kamu tetap di razia. Tapi karena kamu ngeyel, jadi dihukum." Reivant menyuruh Adara untuk berbohong apabila teman-temannya bertanya.

    "Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati." Reivant mengatakan kalimat itu disertai dengan senyum misterius, kemudian pergi meninggalkan Adara yang masih sibuk meneguk air.

    "Aneh, kenapa dia peduli padaku?"

🔅

    Mata pelajaran terakhir telah usai. Sekujur tubuh terasa nyeri akibat praktek lari, ditambah hukuman dari Reivant, rasanya ia ingin segera merebahkan diri di kasur empuknya.

    Ada tukang es cendol sedang menunggu pembeli di depan gerbang sekolah. Suara palu menggetok es batu kiloan membuat kerongkongan Adara semakin kering. Bagaikan penggoda, es cendol itu berhasil membuatnya menghabiskan sisa-sisa terakhir uang jajannya.

    Abang cendol menggunakan seluruh kemampuan terbaiknya dalam memasukkan es ke plastik, tidak ada yang tumpah meski diburu-buru oleh bocah-bocah berseragam.

    Sakunya bergetar. Ada satu notifikasi masuk dari ayahnya.

Papa:
Adara, papa bakal pulang malam lagi. Sekarang Pak Tio bakal jemput kamu.

    Pulang malam terus, pikir Adara dalam hati. Di rumah besar bagai  istana, Adara menghabiskan hampir seluruh waktunya bermain sendirian, sangat jarang family time semenjak ibunya menutup mata.

I Lo-waifu You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang