Part 12 - Traumatik

529 77 39
                                    

Jovan memijat pangkal hidungnya pelan, menatap Derran yang tengah mondar-mandir dengan tatapan mata yang penuh kekhawatiran.

"Telepon Malvin aja kenapa sih, Der?" usul Jovan, sedangkan Derran tampak setuju dengan usulan tersebut. Akan tetapi, saat cowok itu memegang ponsel dan ingin menghubungi Malvin, Derran kembali meletakkan ponselnya.

"Kenapa?"

"Lo aja! Gue gak yakin Malvin bakal jawab panggilan gue." Derran meminta agar Jovan yang menghubungi Malvin.

"Ngerepotin aja hidup lo," sarkas Jovan, namun pada akhirnya cowok itu tetap menghubungi Malvin untuk meminta kabar.

Setelah beberapa saat, akhirnya tersambung. Malvin menjawab dengan suara serak karena baru bangun tidur, Malvin juga mengatakan jika Kirana belum sadar, namun kondisinya sudah stabil. Sebelum itu Malvin juga berbicara pada Derran agar cowok itu bisa belajar dari kejadian ini, mereka sudah saling memaafkan, akan tetapi masih ada setitik rasa kecewa di hati Malvin.

"Gue tutup, ya? Pulsa gue abis nih."

"Jangan kayak orang miskin, gue tahu orang tua lo pengusaha sukses," ujar Malvin lewat sambungan teleponnya. Namun sepertinya Jovan tak menghiraukan perkataan Malvin dan dengan cepat mematikan sambungan teleponnya.

"Makasih, Van."

"Hmm," gumam Jovan.

Setelah percakapan tadi, suasana menjadi hening, mereka seperti malas untuk membuka percakapan. Akan tetapi, belum ada lima menit mereka menikmati keheningan, suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka berdua.

"DERANDRA!"

"Juna? Leon?"

'bugh bugh bugh'

"SIAPA YANG NGAJARIN LO JADI RAPPIST DERANDRA?" Leon berteriak tepat di depan wajah Derran sambil melayangkan beberapa pujula di wajah cowok itu.

Derran masih seperti biasa, cowok itu diam sambil memegang dagunya yang terasa nyeri. Jovan dan Juna hanya melihat tanpa ingin ikut campur.

"Lo emang pantes dapat itu, Der. Gue sebagai sahabat lo kecewa, kecewa banget." Juna mengatakan isi hatinya.

"Maafin gue, gue emang brengsek."

"Nah itu lo tahu, izinin gue buat mukul lo sekali lagi." Ketika Leon ingin melayangkan pukulannya lagi, Juna menarik tubuh Leon ke belakang.

"Ini giliran gue, ya! Kalo lo mau lagi, nanti abis ini!" Juna maju selangkah, memasang posisi kuda-kuda. Sedangkan Derran menatap datar ketiga orang di depannya, dirinya pasrah, memang sepantasnya ia mendapatkan hal ini bukan?

'bugh'

"Buat lo yang udah kecewain kita semua!"

'bugh'

"Buat lo yang udah bikin Kirana hancur!" Arjuna memukul Derran dengan pukulan yang bisa dibilang keras, bahkan cowok itu kembali melayangkan pukulannya kembali.

"Dan ini pukulan gratisan dari gue, anggap aja ini pukulan bokap Kirana. Ya walaupun mungkin bokap Kirana lebih keras pas mukulin lo!"

Benar kata Arjuna, cowok itu beberapa kali melayangkan pukulan hingga Derran tersungkur. Hal yang dirasakan Derran adalah pusing dan sakit bukan main, rasanya seperti ada sesuatu yang keluar dari hidungnya.

"Juna! Lo bikin Derran mimisan!" Leon menarik tubuh Arjuna, memapah tubuh Derran untuk duduk.

"Lo gak apa-apa?"

Derandra menggeleng sambil tersenyum. "Gak apa-apa, gue emang pantes dapat ini, atau bahkan lebih dari ini."

***

"Kirana!"

Ellena memekik keras saat melihat Kirana membuka matanya dengan perlahan-lahan, akhirnya doanya terkabulkan. Saat kesadaran Kirana mulai terkumpul, hal yang yang pertama kali menyapa indera penciumannya adalah aroma obat-obatan yang menyengat.

Saat Kirana ingin bertanya tentang apa yang sudah terjadi, tenggorokannya terasa kering hingga susah mengeluarkan suara.

"Minum dulu!" Ellena menyodorkan air minum pada Kirana.

"Makasih," kata Kirana.

"Lo gak apa-apa, kan?" Ellena menatap Kirana dengan raut khawatir, gadis itu ingin menangis saja rasanya ketika melihat Kiran kini sudah membuka matanya.

"Kenapa gue masih di sini?"

Pertanyaan Kirana berhasil membuat Ellena mengernyitkan dahi, "maksud lo?"

"Kenapa gue masih hidup, Ell?" Mata Kirana kini berkaca-kaca, bahkan air matanya sudah berada di pelupuk mata. Namun sepertinya Ellena enggan menjawab, pegangan tangannya pada tangan Kirana mulai mengendur.

"Dan kenapa lo mau akhirin hidup, Kiran? Kiran yang gue tahu itu kuat, gak kayak gini!" Sekarang Ellena yang membalikkan pertanyaan, Malvin yang baru datang membawa sarapan dibuat terkejut dengan berdebatan mereka.

"Ada apa ini? Tolong berhenti, Ell! Kiran baru sadar." Malvin memisah, memilih menjadi penengah di antara mereka.

"M-maaf," lirih Kirana. Tatapannya sayu dan kosong, menunduk sambil mengatakan kata maaf berkali-kali.

"Iya gak apa-apa," jawab Ellena, berusaha memaafkan bukan ide yang buruk.

"Maaf." Tapi sepertinya Kirana belum kembali pada kesadarannya, masih menggumamkan kata maaf berkali-kali, bahkan sekarang Kirana mulai terisak pelan.

"Kiran." Ellena panik, segera menyuruh Malvin untuk memanggil Dokter.

Ketika Dokter datang dan memeriksa Kirana, diagnosa yang Dokter simpulkan berhasil membuat Malvin maupun Ellena terkejut. Gejala-gejala yang dialami Kirana adalah gelaja Trauma ringan, namun jika dibiarkan maka akan menjadi lebih buruk. Dokter menyarankan untuk membawa Kirana ke ahli psikologi.

Setelah Dokter pergi, Ellena menatap Kirana yang kini masih diam. "Ada yang bisa gue bantu, Ran?"

Kirana menatap Ellena dalam, "Ini hari apa?"

"Rabu," jawab Ellena.

"Ini jadwal gue buat ketemu Mr. Petter."

Jawaban Kirana kali ini membuat Ellena geram, bagaimana bisa Kirana masih memikirkan hal tersebut di saat dirinya saja sedang sakit. "Gak usah pikirin itu, lo lagi sakit, Ran!"

"Tapi, nanti Ayah marah."
"Ayah akan lebih marah kalo tahu gue di sini karena Derandra." Kirana menggenggam tangan Ellena.

"Gue gak pengen Ayah tahu, Ell." Ellena kini bingung, tidak mungkin ia bisa membohongi Rendy, Rendy pasti akan bertanya mengapa Kirana bisa berada di rumah sakit. Ellena juga sudah mematikan ponselnya agar Rendy tidak bisa menghubungi dirinya dan bertanya pasal Kirana.

'ceklek'

Ellena maupun Kirana menoleh, di sana Malvin tengah membuka pintu, betapa terkejutnya mereka ketika yang berada di depan pintu adalah orang tua Kirana.

"Apa yang sudah terjadi?" Kirana, Ellena, dan Malvin sudah menduga ini akan tejadi, bahkan dari nada bicara Rendy, sudah dapat diketahui jika Rendy sedang marah.

I'm Sorry | Completed [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang