Part 22 - Sepatu Ballet

396 59 0
                                    

"Ini data yang sudah saya kumpulkan, Pak." Seorang pria berpawakan tinggi dengan kumis tebal itu tengah memberikan map pada atasannya.

Pras Adinata, pria paruh baya itu segera membuka berkas yang diberikan anak buahnya. Di dalamnya, terdapat beberapa jepretan foto seorang gadis SMA lengkap dengan seragamnya. Serta beberapa lembar kertas tentang biodata gadis tersebut.

"Kerja bagus, saya akan mengajari kamu lagi nanti. Kamu boleh pergi," titah Pras, setelah itu pria tinggi tadi menunduk hormat lantas pergi dari ruangan Pras.

"Kirana Anastasya." Pras membaca biodata tersebut, serta melihat beberapa foto keseharian yang berhasil orang suruhannya ambil. Tanpa sadar Pras tersenyum, ia tak menyangka putri kandungnya sudah tumbuh besar dan cantik, wajahnya mirip Kamila jika dari samping. Namun, belum ada lima menit Pras memandang wajah sang putri kandung, pintu ruangannya terbuka. Seorang gadis dengan tongkat itu berjalan pelan sambil membawa kopi.

"Untuk Papa, udah malam, Pa." Itu adalah Laura, putrinya yang selama ini ia jaga. Hati Pras terasa teriris saat melihat Luara tersenyum, ia senang karena akhirnya putri kandungnya ditemukan. Namun, ia juga sedih ketika sadar bahwa Laura bukanlah putrinya, mau bagaimanapun juga. Pras akan tetap mencintai Laura seperti putrinya sendiri.

Singkat cerita Pras dapat menemukan informasi tentang Kirana adalah, ketika ia mencari bukti-bukti yang ada. Ia bahkan mengintai rumah Rendy untuk mencari informasi, memang tidak sopan. Tapi, ini adalah jalan satu-satunya.

***

Tidak terasa sudah, ujian nasional yang dilakukan siswa kelas dua belas hampir selesai. Hal itu cukup membawa ketenangan bagi mereka, apalagi mapel matematika sudah mereka lalui dengan lancar di hari pertama ujian.

"Sesuain nadanya, bego!" Leon sudah mencak-mencak dari tadi karena saat latihan Jovan semaunya sendiri.

"Iya-iya!"

"Van, gue minta tolong banget. Kita show udah deket, jadi tolong serius!" pinta Derran. Leon juga setuju dengan hal tersebut, kadang rasa ingin bercanda yang Jovan lakukan ini bisa memancing keributan.

Jovan sadar jika bercandanya memang sudah kelewatan, "oke ... Gue minta maaf, ya! Kita ulangin sekali lagi. Gue bakal serius, demi The 99's." Setelah itu, alunan musik lebih enak didengar. Siswa/i yang tak sengaja melewati ruang musik dengan sengaja mengintip dari luar, dan Kirana serta Ellena adalah salah satunya.

"Mending kita masuk, Ran. Derandra gak bakal marah kok," ajak Ellena, namun rasanya Kirana ragu. Walaupun kata Dokter Sarah, Kirana sudah hampir berhasil melawan rasa traumanya, walaupun terkadang masih terkena serangan panik di saat-saat tertentu.

"Enggak, deh. Badanku rasanya kurang enak, mending kita balik kelas aja!" ajak Kirana. Ellena yang sadar akan wajah Kirana yang memucat segera menyetujui ajakan Kirana untuk kembali ke kelas.

***

"Lo lagi banyak pikiran ya, Ran?" tebak Ellena, tak biasanya Kirana hanya diam sambil melamun. Jadi, Ellena berpikir jika Kirana sedang mengalami masalah.

"Gue bingung, Ell."
"Gue bingung ... Tentang siapa diri gue sebenarnya."

Ellena sempat terkejut karena Kirana kali ini langsung bercerita padanya, kadang ia harus membuat Kirana lebih rileks dahulu agar sahabatnya itu setuju untuk berbagi cerita.

"Maksudnya?"

Kirana kini menahan tangisnya, "kadang gue ngerasa gak bisa ngenalin diri gue sendiri, gue yang asli itu seperti apa? Gue gak tahu. Gue capek berlindung di balik image sempurna yang selama ini orang tua gue bikin, ada kalanya gue kepengen bebas seperti yang lain. Ditambah, kemarin gue dibuat kaget sekaligus bingung tentang siapa itu Adinata."

"Ayah sama Ibu bertengkar karena hal itu." Kirana dengan tangis yang tak bisa ditahan, akhirnya mengeluarkan segala uneg-unegnya selama ini. Menceritakan semuanya pada Ellena, suasana hatinya akhir-akhir ini sering berubah-ubah. Ellena mendengarkan semua curhatan Kirana, memberikan dukungan serta saran pada sahabatnya.

"Lo udah berusaha, Ran. Lo anak kuat! Lo pasti bisa hadapin ini semua, kapan pun lo butuh. Gue di sini akan bantu lo, sebisa gue." Ellena merengkuh tubuh Kirana yang masih bergetar, rasanya sakit ketika melihat sahabatnya dalam kondisi seperti ini.

***

Kirana kini sedang di perjalanan pulang dari acara les tarinya, ada yang berbeda dengannya kali ini. Ia memilih untuk menggunakan kendaraan umum dari pada diantar oleh Sopir pribadinya, awalnya Yurika marah padanya, khawatir jika nanti akan ada yang menculik Kirana. Saat itu, Kirana berpikir aneh, memang siapa yang menculik remaja dalam kendaraan umum?

Ia cukup berterimakasih pada Rendy karena membantunya lepas dari amukan Yurika, Kirana tersenyum samar. "Jadi, gini ya ... Rasanya memberontak?"

Kirana memegang sepatu balletnya yang baru saja rusak sehabis latihannya tadi, mungkin karena ia terlalu bersemangat. Setelah mengatakan semuanya pada Ellena, Kirana dikit demi sedikit ingin mengikuti kata hatinya. Ia kembali mengingat perkataan Ellena siang tadi, "Memberontak bukan hanya tentang hal buruk, ada kalanya kita perlu memberontak untuk melindungi diri sendiri. Ada kalanya kita memberontak untuk mengetahui apa yang salah, dan apa yang benar. Kalo lo merasa gak suka, lo boleh berontak, Kirana! Jangan terlalu berbaik hati!"

"Benar, memberontak bukan melulu tentang kejelekan."

***

Derran kini merasa gelisah, entah apa yang dipikirkan cowok itu sampai berani datang ke rumah Kirana. Sudah hampir satu jam Derran berdiam diri di mobil sambil mengamati kediaman Kirana dari jauh, berharap bisa bertemu dengan Kirana.

Rasa-rasanya, caranya ini cukup pengecut karena hanya bisa mengamati dari jauh. Derran pikir hanya seperti ini yang bisa ia lakukan sekarang untuk mengetahui keadaan Kirana, karena tidak mungkin ia mengirim pesan atau menelepon. Itu bisa saja membuat Kirana merasa tak nyaman.

Sedang sibuk memutar musik di playlistnya, pandangan Derran tak sengaja melihat sosok Kirana keluar dari rumah menuju tempat sampah di sebelah tiang listrik. Derran masih memantau gerak-geriknya. Ia bisa melihat Kirana membuang sesuatu di sana.

"Sepatu?"

Karena takut salah lihat, setelah Kirana masuk. Derran keluar untuk memastikan, apakah benar itu sebuah sepatu. Saat ia datangi tempat sampah tadi, benar dugaan Derran. Yang dibuang Kirana tadi adalah sepatu ballet yang telah rusak, dan saat itu pula sekelebat ide muncul begitu saja dalam kepala Derran.

I'm Sorry | Completed [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang