Part 34 - Sebuah Pilihan

416 59 0
                                    

Suasana ruang tamu kini cukup canggung, Kirana memilih duduk bersama Kamila. Derran menunduk, sedangkan Malvin menepuk pelan punggung Derran.

"Semua keputusan ada pada Kirana, saya tidak akan melarangnya untuk aborsi jika memang keputusannya sudah seperti itu, jika Kirana ingin kamu dipenjarakan, maka saya akan lakukan," ujar Pras sambil meminum kopinya.

Kirana bingung, ia harus apa? Kali ini apakah ia harus menuruti egonya? Atau perasaannya? Ia menatap sang Ibu, berharap sang Ibu bisa memberikan solusi.

"Jawablah sesuai kata hatimu, Nak." Hanya itu yang Kamila ucapkan. Sedangkan Derran menggenggam tangan erat, mengharap sebuah berita baik.

Kirana menghela napas berat. "Boleh Kiran bicara dengan Derran sebentar?" tanya Kirana, Pras mempersilahkan. Segera Kirana mengajak Derran untuk ke luar.

"Lo mau jawaban yang kayak gimana?" tanya Kirana.

Derran mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Lo kepengen gue jawab apa atas pilihan tadi?"

"Semua jawaban ada di tangan kamu, terserahmu nanti. Aku bakal tanggung resikonya," jawab Derran.

Kirana tertawa garing, menatap langit yang cukup mendung. "Baiklah, ayo!"

Entah apa yang Kirana pikirkan, ia menarik tangan Derran kembali memasuki rumah. Hal itu cukup menarik perhatian orang-orang di dalam. Derran tak bereaksi apapun, ia menatap Kirana dari belakang dalam kondisi tangan yang masih digenggam.

"Kirana memilih untuk mempertahankan bayi Kiran, apapun yang terjadi nanti." Jawaban Kirana sukses membuat Derran membelalakkan mata, ia tak salah dengar? Pras serta Kamila sudah menduga akan jawaban Kirana. Karena mata putri mereka sama sekali tak bisa berbohong, Kirana masih mencintai Derran, walaupun rasa cintanya tak sebesar rasa bencinya.

Kirana kali ini memilih untuk menuruti perasaannya, menjadi Ibu di usia muda tak cukup buruk.

"Jadi, kalian sudah siap untuk menikah?" tanya Pras.

"Tidak!" Tanpa berpikir panjang, Kirana langsung menjawab dengan tegas bahwa ia tidak siap menikah dengan Derran.

"Kiran memang setuju untuk melahirkannya ke dunia, tapi tidak untuk menikah. Setelah bayi ini lahir, semua tanggung jawab berada di tangan Derran. Karena Kirana belum siap, Kirana ingin menggapai mimpi Kirana sejak kecil lebih dulu." Kirana menjelaskan alasannya, Derran merasa diterbangkan ke langit ke tujuh, namun kembali di hempas ke dasar laut terdalam.

"Ran," lirih Derandra.

"Maaf, Der. Gue belum bisa, rasa sakit itu masih membekas. Butuh waktu lama untuk bisa ngilangin rasa takut itu, gue udah setuju buat lahirin dia ke dunia. Jadi ... Tolong! Jangan maksa gue buat ngelakuin hal yang gue belum siap," terang Kirana.

Derran bisa apa? Cowok itu hanya mengangguk, tak apa ... Masih ada banyak waktu. Ia bisa meyakinkan Kirana di lain waktu.

"Baik masalah sudah selesai, Nak Derran. Ah benar, saya ada sedikit hadiah untuk kamu." Pras berdiri, mendekati Derran yang tengah berdiri di samping Kirana.

"I-iya?" Derran merasa, ini bukan sesuatu yang baik.

Bugh!

Sudah Derran duga, sesuatu yang tidak baik itu benar-benar terjadi. Satu pukulan keras mendarat di rahang bawah Derran, cowok itu meringis pelan merasakan sakit. Luka-luka dari Rendy saja belum pulih.

"Maaf, Nak. Rasanya kurang lengkap jika kamu pulang tanpa membawa hadiah, he-he-he." Malvin menatap ngeri ke arah Pras, cowok itu berpikir jika Pras mempunyai jiwa-jiwa psikopat.

***

"Gue gak nyangka Kiran bakal milih pertahanin bayinya, padahal dari awal dia udah kekeuh banget buat aborsi."

Selama di mobil, Malvin tak berhenti mengoceh pasal keputusan Kirana. Derran senang jika Kirana memilih untuk melahirkan bayi mereka, namun di sisi lain ia juga bimbang, apakah ia bisa merawat anaknya nanti tanpa kehadiran Kirana.

"Masih sakit?" tanya Malvin. Menatap Derran yang meringis dengan memegang es batu sebagai kompres.

"Masih, lah!"

"Ha-ha-ha, luka kemarin aja belum kering. Makannya kalo mau ngelakuin hal tuh dipikir dulu, biar masalahnya gak panjang kayak gini." Malvin sekarang malah semakin menyudutkan Derran.

"Iya-iya, gue salah!" final Derran. Ia malas berdebat dengan Malvin, karena cowok itu jika sudah diajak berdebat bisa mengalahkan Mbak Najwa Shihab.

"Vin," panggil Derran.

"Hmm."

"Lo punya nomornya Kiran?"

"Kenapa?"

"Minta dong! Nomor dia baru, kan?"

Malvin menatap Derran aneh, jadi ... Derran tak punya nomor ponselnya Kirana?

"Lihat sendiri di HP, noh!" ujar Malvin sambil melempar ponselnya. Derran tersenyum penuh kemenangan, menoel-noel pipi Malvin karena sahabatnya itu terlalu baik, jadi ia gemas sendiri.

"Makasii, Mall."

"Mall apaan anj!ng? Jijik banget gue, inget ya! Lo udah mau jadi Bapak, jangan aneh-aneh!" ledek Malvin, sebelum akhirnya Derran mendaratkan sebuah pukulan di kepala sahabatnya.

I'm Sorry | Completed [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang