Part 16 - Ada Apa? Ini Aneh

478 66 3
                                    

Suasana di dalam apartemen Derran kini cukup panas, bukan panas karena suhu atau apapun itu. Akan tetapi, suasana panas yang menyelimuti mereka adalah sebuah panas emosi. Di mana Leon yang baru mengetahui jika wanita tadi adalah Ibunda Kirana, dan ditambah fakta jika Malvin sudah mengetahui banyak fakta tentang Kirana tapi tidak memberitahu hal tersebut kepada Derran.

"Kenapa lo gak bilang ke gue?" Derran masih memojokkan Malvin dengan berbagai pertanyaan.

"Ngapain gue kudu ngasih tahu, lo? Sejak kapan lo peduli tentang hidup Kirana?" Pertanyaan Malvin berhasil membuat Derran terdiam, anak itu memang sulit sekali untuk mengontrol emosinya ketika sedang dalam situasi seperti ini.

"Lo gak pernah sedikitpun peduli sama hidup Kirana! Jadi buat apa gue ngasih tahu lo?"

Sedangkan Leon yang sudah tidak tahan dengan keributan yang terjadi langsung berdiri dari tempat ia duduk, menarik tubuh Malvin agar sedikit menjaga jarak dari Derran. "Udah! Ngapain sih ribut-ribut? Dari pada lo berdua berantem cuma gara-gara itu, lebih baik kita nyari jalan keluar gimana caranya ngadepin ini masalah!"

"Setuju! Gue setuju sama Leon!" ujar Arjuna dan Jovan bersamaan.

"Lo ngapain ikutin gue?"

"Lah?" Lagi dan lagi, mereka masih mengatakan hal yang sama tiga kali.

"Tandanya kalian jodoh," celetuk Leon.

"Wah ngajak berantem!" Jovan membuat gestur mengangkat lengan kaosnya, memamerkan bisep yang lumayan enak dipandang karena sering latihan gym.

"Mending lo duduk, deh! Kita kan mau cari jalan keluar buat Derran, sumpah ini kenapa malah jadi toxic banget sih hubungan lo sama Kiran?" Leon menjambak rambut frustasi, memikirkan bagaimana sahabatnya ini sedang dilanda cobaan rumit.

Suasana yang tadinya hangat kini kembali dingin, ketegangan mulai menyelimuti isi ruangan Derran.

"Kita gak ada jalan lain selain nunggu, kita nunggu apa yang akan terjadi kedepannya. Selama kita di sekolah, coba buat Kirana nyaman ada di kelas. Jikalau nanti hal terburuk terjadi, gue berharap sama lo, Der. Tolong jadi cowok yang bertanggung jawab, kita bakal selalu ada di sini buat dukung lo. Selagi itu baik." jelas Malvin. Jujur saja, di antara mereka semua, Malvin lah yang paling dewasa pemikirannya. Terlepas dari sikapnya yang terkadang ketus dan punya mulut pedas.

"Gue minta maaf sama kalian semua, gue janji, gue bakal tanggung jawab sama apa yang gue lakuin. Dan gue juga minta sama kalian, tolong rahasiakan hal ini sama Bunda. Gue gak mau Bunda banyak pikiran." pinta Derran.

Teman-temannya tersenyum hangat, meraih tubuh Derran untuk dirangkul bersama. "Siap, kapan pun lo butuh bantuan. Ada kita di sini."

***

"Pasien sudah mulai membaik, dan kabar baiknya pasien sudah diperbolehkan pulang besok," ujar sang Dokter, Dokter muda yang diketahui bernama Dokter Lukman itu memberi selembar kertas kepada Rendy.

"Ini beberapa obat yang perlu ditebus nanti, saya sarankan pasien beristirahat yang cukup, dan jaga pola makan. Serta jangan terlalu setres, semoga lekas sembuh. Saya permisi," pamit Dokter Lukman.

Rendy tak memberi respon apapun tentang ucapan Dokter Lukman, hanya memgambil kertas yang tadi diberikan Dokter tadi. Beralih menatap Kirana yang sedang disuapi bubur oleh Yurika. "Besok kamu sudah boleh pulang, setelah ini Ayah akan memperketat pengawasan terhadap gerak-gerik kamu, Kiran. Cukup dua kali saya kecolongan, tidak untuk ketiga dan seterusnya!" ancam Rendy.

Kirana hanya mengangguk pasrah, menelan bubur yang terasa pahit dalam mulutnya. Ellena pulang sejak dua jam lalu, ia juga kasihan melihat Ellena yang selalu menjaganya. Jadi ia berharap Ellena bisa beristirahat yang cukup saat di rumah.

Ketika Yurika ingin memberikan suapan terakhir, ponselnya berdering. "Sebentar, saya angkat telepon dulu." Respon Kirana hanya mengangguk, mempersembahkan sang Ibu menjawab panggilan.

"Ya, Roy?"

"Gawat, Bos. Tuan Adinata kini mulai mencari keberadaan Nona Kirana, tampaknya keluarga Adinata sudah mengetahui jika Nona Laura bukan putri kandung mereka," ujar seseorang bernama Roy dari telepon.

"Jangan bercanda kamu!" Nada bicara Yurika kini setengah berbisik, namun masih memberi penekanan di setiap kata.

"Saya tidak bercanda, Bos. Tuan Adinata juga sudah menyebar orang-orang suruhannya untuk mencari keberadaan Nona Kirana."

Pip!

Karena terlampau emosi dan takut, Yurika mematikan sambungan teleponnya. "Ini tidak boleh terjadi!"

Dengan tergesa, Yurika menarik lengan Rendy yang sedang duduk santai di sofa untuk ke luar ruangan. Tentu saja hal itu membuat Kirana mengernyitkan dahinya.

"Aneh."

***

Kirana pulang bertepatan pada hari Minggu, hal itu membuat Ellena dengan senang hati mengantarkan Kirana pulang. Malvin, Jovan, Leon, Juna juga ikut, kecuali Derandra tentu saja.

"Makasih ya udah mau anterin gue pulang," ujar Kirana diiringi senyum manisnya.

"Tenang aja, kapan pun lo butuh kita, kita siap kok," celetuk Arjuna.

Malvin kini mantap manik Kirana dalam, seolah bicara lewat tatapan mata. "Jangan lupain jadwal pemeriksaan ke Dokter Sarah, kita bakal gantian temenin lo nanti." Teman-teman yang lain setuju dengan hal itu, mengingat bagaimana kejamnya orang tua Kirana. Apalagi jika sampai tahu Kirana tengah mengalami trauma pasca kejadian malam itu. Dokter Sarah sendiri adalah Bibi dari Malvin yang memang sudah menjadi Dokter spesialis kejiwaan sejak lama.

Untuk urusan Derandra dan yang lainnya, mereka baru diberi tahu tentang hal yang terjadi pada Kirana semalam lewat grup pesan. Tentang trauma yang dialami Kirana, Derran tentu saja baru mengetahuinya, ditambah kenyataan jika hidup Kirana yang selama ini ia lihat baik-baik saja ternyata juga punya banyak lika-liku. Hal tersebut membuat rasa bersalah Derran semakin besar, rasanya cowok itu ingin sekali menemui Kirana dan meminta maaf secara langsung. Namun, keadaan sepertinya sedang tidak berpihak pada Derran.

***

Meja makan yang biasanya terasa sepi kini ada yang berbeda, berkali-kali saat Kirana menatap Yurika dan Rendy, mereka akan tersenyum. Memang benar ada yang aneh dari mereka sejak kemarin.

"Kiran, mau tambah lagi nasinya?" tawar Yurika. Kirana hanya menggeleng pelan, perutnya sudah kenyang. Tidak biasanya juga Yurika menawarkan hal-hal seperti tadi ketika di meja makan.

"Nak, jika kamu ingin menari, maka lakukanlah. Ayah akan mendukungmu mulai sekarang," ujar Rendy. Kirana yang sedang mengunyah makanan tertentu saja tersedak, dia tidak salah dengar? Yang benar saja?

"Ayah?" Kirana masih tidak mengerti, dirinya juga tidak percaya.

"Ayah tidak bercanda, lakukan apa yang kamu mau mulai sekarang. Tapi ingat untuk tidak melampaui batas, tetap pertahankan prestasi. Ayah dan Ibu juga minta maaf karena mungkin kita terlalu keras padamu, kamu mau memaafkan kami, kan?" tanya Rendy, Kirana menatap Yurika meminta penjelasan, tapi wanita itu hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Iya, Kirana maafkan. Terima kasih, Ayah, Ibu." Sepertinya doanya baru dikabulkan Tuhan sekarang, apakah Kirana perlu mengabari Ellena tentang hal ini? Ah, tentu saja. Ini berita yang kelewat gembira. Namun tanpa Kirana sadari, Rendy dan Yurika saling bertatapan. Seolah mengerti isi hati masing-masing, mengangguk kecil lantas berdehem pelan agar Kirana tidak curiga.

"Lanjutkan makannya, Nak. Biar cepat tumbuh!"

I'm Sorry | Completed [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang