14. Pernah Mencintai

295 29 0
                                    

Ternyata orang yang dicari-cari tengah pergi ke toilet. Jadi, Alasya menunggu di mejanya saja sambil berhadapan dengan Faisal, seseorang yang pernah menjadi cinta pertamanya. Atau lebih tepatnya sekarang ex-first love. Pernah bukan berarti masih. Catat.

Mencintai dalam diam selama bertahun-tahun, sejak sekolah dasar. Awalnya Alasya mengira hanya cinta monyet belaka namun, siapa sangka perasaan tidak biasa itu berlanjut hingga ia menduduki bangku SMA kelas sepuluh. Lucunya, mereka hanya dipisahkan saat jenjang sekolah menengah pertama.

Terdiam tanpa melakukan apapun, Alasya menggigit bibir bawahnya menghilangkan rasa canggung meski dia tidak benar-benar hanya duduk berdua di sana. Ada Zaffar dan juga Erlia.

“Lo masih suka, Sya?” Faisal mengangkat wajahnya setelah mengkosongkan mulutnya dari segulung mie goreng.

Pada akhirnya Alasya tidak lagi mengalihkan pandangan tak jelas siapa dan apa objeknya. Hanya saja dia enggan terpesona oleh lelaki di depannya tersebut. Cukup puas Alasya menyimpan tanpa ada yang mengetahui.

“Iya, dulu lo suka banget bawa buku ke sekolah.” Faisal mengingat hal itu.

Tapi, sayang Faisal tidak tahu alasan Alasya sering membawa buku bacaan di luar buku mata pelajaran sekolah. Itu semua ia lakukan agar mendapat atensi Faisal, si cowok pintar yang selalu menduduki ranking di kelas. Jadi, Alasya pikir Faisal juga gemar membaca.

Alasya tersenyum sebagai permulaan. “Iya, masih.” Ia tidak berbohong, sejak itu Alasya benar-benar doyan literasi terutama novel remaja.

Tak butuh waktu lama untuk bercengkrama yang diselimuti rasa canggung ini, sebab Kaze bersama Ali tentunya telah kembali, menempati sisi kiri Alasya yang kosong.

Alasya sempat menoleh kaget kemudian ia rasa bukan hal yang bagus bila lama-lama berada di sana. Ia mengeluarkan ponsel dari saku rok.

“Nanya tugas?” Bagaimana bisa Kaze menembak secara tepat sebelum Alasya membidik misinya.

Perempuan itu tertawa ringan namun terasa cerah. “Iya, eh— bukan tapi...sejenisnya boleh kan?”

Tentu saja Kaze mengangguk.

“Tolong buatin kalimat bahasa Jepang yang polanya kayak gini nggak?” Alasya memperlihatkan potret catatan materi di bukunya. “Ketik aja di note, ehehe.”

Sementara itu, Ali menyenggol siku Zaffar yang sedang asik curi-curi pandang kepada Erlia. “Apaan sih?” sewotnya.

“Lo liatin deh gerak-gerik ceweknya Kaze, makin hari pacaran cuma buat nanya tugas,” bisik Ali.

“Ya biarin namanya juga orang pacaran, iri aja lo.”

“Nih.” Memang tidak sia-sia metode berpacaran ini, Kaze itu pinter sekali sat-set tugas yang rumit di mata Alasya dapat terselesaikan dengan mudah dalam waktu singkat.

Alasya menyambut kembali ponselnya sumringah. Kali ini Kaze benar-benar tidak bisa mengelak menatap paras ayu pacarnya. Jantungnya berdebar, sungguh ini seperti bukan dirinya. “Makasih, Jeje.”

“Jeje?”

“Iya, pangilan sayang gue ke lo.”

Asli, Alasya mau muntah sekarang juga saking mualnya mengatakan sesuatu yang menggelikan itu.

“Kalo gitu gue balik kelas dulu ya, mau ngerjain sekalian makan bekel.”

“Kenapa gak sekalian dibawa bekelnya ke sini?” Kaze menahan lengan saat perempuan itu berdiri.

Mana mungkin! Bawa bekel saja tidak. Itu hanya alasan yang dibuatnya.

“Ehe, lupa.” Cengiran polos itu seolah meyakinkan lawan bicaranya. “Besok aja deh.”

COUPLE KASYA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang