16. Sikap

327 34 0
                                        

Haloo, selamat malam dan selamat membaca😉


Ruam merah yang ada di area lehernya semakin terasa gatal nan perih dibalut jaket berkerah tinggi yang sengaja dipakai untuk menutupi lukanya—ditambah cuaca panasnya semromong pol.

Langkah-langkah Alasya bertambah cepat menuju ruang UKS yang seakan bertambah jauh karena ia 'mengejarnya'.

Sebenarnya keinginan Kaze keluar kelas adalah membuang sampah bekas gorengan yang sempat dijadikan peluru untuk menimpuk teman sekelasnya—berakhir teguran guru pengajar. Tapi, berkat hal itu Kaze jadi melihat pergerakan terburu-buru Alasya menyusuri lorong ke sudutnya.

Entah dari mana datangnya angin yang membuncah akan rasa penasaran terbendung ini. Yang pasti membuat laki-laki itu melarikan diri secara diam-diam dari jam pelajaran Kimia. Tentu bukan contoh murid teladan.

“Ahhh, au ah perih banget,” ringis Alasya diikuti gerakan jemari yang menarik resleting jaket menurun hingga ke bagian perut begitu tiba di depan pintu UKS.

Untungnya ruangan itu tidak dikunci meski sedang tidak ada yang berjaga.

Baru menduduki pantat teposnya, pintu yang hanya menyisakan celah barang tidak sampai sepuluh senti pun tiba-tiba terbuka menampilkan sosok menjulang yang tubuhnya menghalau sinar matahari di belakangnya.

Alasya mendongakkan kepala sedikit terkesiap, minim ekspresi sekali perkara keterkejutan dalam hidup Alasya. Ia selalu sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya agar tetap tampak tenang.

“Alasya, lo kenapa?” Kaze bertanya lembut. Tentu menimbulkan perasaan bingung Alasya akan sikapnya yang perlahan berubah. Atau hanya dianya saja yang kepedean?

Buru-buru hendak menarik kembali resleting jaket tapi, tangannya ditahan.

Arah pandang Alasya turun mengamati sebuah tangan besar yang kekar—tampak urat di sana meski tak sedang mengeluarkan tenaga besar. Jauh berbeda dari tangannya yang kecil serta berkuku jari bentuk kubus. Dan, tangan Kaze tengah menggenggam pelan pergelangannya.

Kaze membungkuk menyamai wajahnya tepat di hadapan leher Alasya terekspos jelas. Bukan maksud mesum, ia hanya memastikan apa yang terjadi dengan perempuan itu.

Lain ceritanya dengan Alasyanya. Meski terlihat tenang, wajahnya mulai terasa panas dibanjiri aliran darah. Jangan sampai di saat seperti ini Alasya menengguk salivanya sendiri saking grogi.

“Ini kenapa?” Pada saat itu juga kontak mata keduanya terhubung.

Alasya mundur memberi jarak. “Kayaknya biang keringet deh,” jawab Alasya berbohong. “Tadi gaya-gayaan kayak di Korea pakai jaket pas jam olahraga.” Dia memang cengegesan tapi, siapa sangka Kaze benar-benar khawatir.

Kemudian dahi serasa tersengat, Kaze menyentilnya tiba-tiba. “Udah tau iklim, musim, sama cuaca negara kita beda. Lepas dulu jaketnya.”

Saat Alasya menurut melepas jaket hitam yang membalut tubuhnya itu Kaze ikut turun tangan, lantas menarik bergantian tangan Alasya demi mengecek bagian yang biasanya dihinggapi biang keringat. Di antara lipatan siku misalnya.

“Oh, di leher aja. Bentar gue cariin bedak gatal, gini-gini waktu SMP gue masuk ekskul PMR, Sya.”

“Tetangga gue gak ikut PMR juga tau bedak gatal sejenis Herocyin tuh,” balas Alasya masih bisa menyeringai meskipun lehernya tersiksa. Ingin sekali kuku-kuku jemarinya yang tidak begitu lentik nan panjang menggaruk meredakan rasa gatal tersebut.

Namun, lagi-lagi tangan Kaze menahan Alasya. Menyorotnya seperti seorang ayah kepada sang anak. “Jangan digaruk, ngeyel.”

“Iya-iya buruan siniin bedaknya.”

COUPLE KASYA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang