Tahun 1993, Riski Anggoro Prasetyo, lahir dari sebuah keluarga yg kental dengan pemahaman kejawen, sejak dulu Riski banyak dikenalkan dengan berbagai budaya jawa lama oleh bapak, sebuah budaya yg sudah jarang sekali ditemui di tempat-tempat umum seperti wayang, ludruk atau tari. bahkan di rumahnya, benda-benda antik peninggalan leluhurnya masih dirawat dan dijaga dengan sangat baik.
Riski menghormati bapak lebih dari sekedar hubungan antara anak dan orang tua, ia mengaggungkannya karena selama hidupnya Riski hanya mengenali orang tua ini yang selalu menemani dia semenjak masih anak-anak, ibu nya tidak beruntung karena harus pergi terlebih dahulu saat--melahirkan Riski kecil, sehingga hanya sosok bapaknya saja lah yang akhirnya dia kenali sebagai sosok yang paling penting di dalam hidupnya.
Orang jaman dahulu pernah mengatakan, “tresno iku apik, nanging sing ngelebihi tresno nang kuoso iso garai menungso salah dalan, sing kelebihan iku gak tau apik” (menyukai itu bagus namun jika melebihi kesukaan kepada tuhan yang maha kuasa itu bisa membuat manusia salah-- jalan, yang berlebihan itu tidak selalu membawa hal yang baik), di sinilah momen dimana Riski yang waktu itu berusia 16 tahun harus mendapati kabar kalau bapaknya kemudian meninggal dunia karena kecelakaan di tempat kerjanya di sebuah pabrik kimia, dimana seluruh bagian tubuh-sampai tidak bisa dikenali lagi.
kehilangan itu yg membuat Riski hanya bisa berdiam diri seperti orang yang nyaris kehilangan separuh jiwanya, meski pun masih ada si mbah yang merupakan pensiunan tentara, tapi Riski tidak bisa menerima kepergian bapaknya yang pergi begitu saja--tanpa pernah pamit kepada dirinya terlebih dahulu.
Suatu hari, setelah melewati satus dinone bapak (seratus harinya bapak), Riski pamit kepada si mbah, dia berniat untuk tidur lebih awal, waktu itu si mbah hanya bisa melihat Riski dengan wajah yg sayu, ia sambil berpesan kepada anak itu, “mari ngene maghrib loh nang, sabar o sek--mari isya kowe iso istirahat yo nang” (sebentar lagi adzhan maghrib loh nak, sabar dulu ya, selepas isya kamu bisa beristirahat nak)
Riski hanya mengangguk, ia tidak melawan kata-kata si mbah, tapi bocah itu tetap saja berjalan lunglai menuju ke kamarnya.awalnya dia hanya duduk di tepi ranjang, tapi lama kelamaan badannya mulai terasa lelah dan tanpa Riski sadari niat awal untuk sekedar duduk menjadi tubuh yang terlentang di atas ranjang tidur, detik jam di dinding terus bergulir dan tiba-tiba saja Riski terlelap dalam tidurnya.
Adzhan maghrib kemudian berkumandang, Riski membuka matanya saat mendengar ada seseorang sedang mengetuk pintu kamarnya. Dan dari cara dia mengetuk pintu terdengar familiar ditelinga Riski, “tok.. tok tok, tok!! tok!! tok”
Riski pun bangkit dari tempatnya tidur, ia kemudian melihat seseorang yg berdiri di muka pintu sedang menatap dirinya, "bapak".
rupanya bapak lah yang sejak tadi mengetuk pintu, beliau melihat Riski sembari tersenyum lalu berkata “sembahyang sek too, kok tambah turu to le”
waktu itu Riski masih setengah sadar, ia mengangguk lalu melewati pria paruh baya itu yg sempat menepuk bahunya, Riski lalu berwudhu seperti biasa dan menunaikan sholat maghrib seperti biasa, selepas menunaikan sholat, bapak kemudian duduk di teras depan rumah sambil menyesap--tembakau lintingan seperti biasanya, Riski tentu saja kemudian ikut bergabung bersamanya, ia hanya duduk-duduk sambil menemani bapak yg bertanya kenapa anak ini dari tadi terus melihat kearah dirinya.
Setelah duduk cukup lama, bapak kemudian baru mematikan tembakau yang ada ditangannya lalu melihat Riski dengan mimik muka yang serius, “le, kowe ndelok iku gak?” (nak, kamu lihat itu ndak?), ucap beliau sambil menunjuk sesuatu yg ada jauh didepannya.
Riski melihat ketempat bapak sedang menunjuk, sebuah jalan setapak didepan rumah di bawah pohon juwet, di sana Riski tidak melihat apa pun kecuali jalanan yang gelap, bapak kemudian berkata, “iku ngunu ibu mu le, wes ngenteni kowe ket biyen” (itu ibumu nak, sudah menunggu kamu sejak dulu)
Riski tentu saja terkejut saat itu, berkali-kali dia melihat ketempat itu tapi ia tidak bisa melihat siapa pun sedang berada di sana, rasanya bapak sedang ngelantur, pikirnya waktu itu.
Tapi bapak kemudian berdiri, “kowe ra percoyo to karo bapak, nek gak percoyo gur melok aku tak duduhno nek ibu mu pancen onok nang kunu” (kamu gak percaya kan sama bapak, kalau tidak percaya ayok ikut, tak tunjukin kalau ibumu memang ada disitu)
Saat itu Riski belum curga sedikit pun. Ia yg belum pernah sekali pun melihat ibu kecuali dari foto-foto lama kemudian ikut berdiri, dia kemudian berjalan mengikuti bapak yg sedang menapaki jalan menuju ke pohon juwet yang ada di depan rumah.
Awalnya tidak terasa, pohon juwet yg hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah entah kenapa terasa sangat jauh, selain itu bapak juga tidak berkata apa-apa lagi kepadanya keculi hanya berjalan dengan langkah kaki yang semakin cepat.
“pak, kok ra totok totok too” (pak kok gak sampai-sampai) protes Riski saat itu.
Tapi bapak tidak menjawab pertanyaan Riski sama sekali, beliau masih terus berjalan seperti biasa.
Hingga perlahan-lahan suhu udara terasa semakin dingin, pohon juwet itu juga mulai tidak nampak lagi, Riski yang melihat bapak masih berjalan di depan masih belum curiga, sebelum mendadak sekujur tubuh Riski berubah menjadi tidak enak, hatinya risau, nafasnya tersenggal-senggal,kemudian rentetan hal ganjil itu diakhiri dengan bulukuduknya yg berdiri.
Riski mulai berhenti berjalan, ia sejenak melihat tempat ini dan mulai sadar dimana kebradaannya saat ini.
Bapak yang sejak tadi memimpin kemudian ikut berhenti, anehnya beliau tidak langsung membalikkan badan saat berbicara dengan Riski. “lapo le, kok mandek? Iku loh ibu nang ngarep, titik maneh, jarene kowe kangen karo ibu”(kenapa nak, kok berhenti? Itu loh ibu ada di depan, sedikit lagi, katanya kamu kangen sama ibu)
Riski tidak bergeming dari tempatnya, firasatnya mengatakan kalau dia ikut bapak berjalan terus di jalanan ini dia akan mendapati sesuatu yang sangat buruk.
Melihat Riski yg nampak mulai ragu, sosok bapak kemudian menoleh, beliau melihat Riski kemudian melambai-lambaikan tangan kearahnya. “le, kowe ra percoyo to karo bapak? Merene, ayo nang ibu sak iki?” (nak, kamu gak percaya ya sama bapak? Kesini, ayo ke tempat ibu sekarang?)
Riski hanya menggelengkan kepalanya.
“Bapak kangen, Riski gak kangen to karo bapak, gak gelem melu bapak?” kata sosok itu yg masih melambai-lambaikan tangannya.
Riski masih diam saja, kini tubuhnya tiba-tiba saja merinding sewaktu ada hembusan angin yg seperti melewati dirinya.
Riski tau di mana tempat ini, ia mengenalinya, jalan ini tidak salah lagi adalah jalan yg menuju kearah kuburan desa. Kuburan tempat orang-orang mati biasa di makamkan, mana saat Bapak kemudian berhenti melambaikan tangan, Riski sudah berdiri diantara nisan-nisan tua-lengkap dengan pohon-pohon kamboja yang ada disekelilingnya.
“kowe ra gelem melu mergo bapak opo mergo kowe wes sadar nek iki guguk bapak?” (kamu gak mau ikut karena bapak apa karena kamu sudah sadar kalau aku bukan bapak?)
Seketika itu wujud bapak menjadi bentuk wujud pocong tapi berwarna hitam yg kain kafannya benar-benar terlihat kotor seperti diselimuti oleh arang, mulutnya rusak dengan bola mata merah menyala, sosok itu melayang beberapa centi dari permukaan tanah menuju ke tempat Riski.
Riski hanya bisa ber'istighfar tapi aneh kaki nya tidak bisa pergi dari tempat itu.
“melu aku le, bapak ibu mu onok nang ngarep, kowe gak kepingin mrunu ta karo aku” (ikut aku nak, bapak sama ibumu ada di depan sana, kamu gak mau ikut denganku kesana)
Riski menggeleng-gelengkan kepalanya, wujud pocong ini membaui Riski yang sedang membuang muka tidak berani melihat sosok yg mengerikan itu, “cah ganteng, cah pinter, cah pancer keliwon, ambumu wangi e, wangi getih sing sek legi, melu yo, melu , melu, MELUUUUUU!!”(anak ganteng, anak pinter, anak pancer keliwon, aroma mu begitu wangi, wangi darah yang masih terasa manis, ikut, ikut, ikut, IKUTTTTTT!!)
Riski meraung berteriak dan seketika dia terlonjak dengan badan yang terpelanting karena sesuatu seperti menjerat tubuhnya, saat itu lah Riski melihat si mbah yg terhenyak disamping para tetangga desa yg melihat wajah Riski dengan sorot mata terkejut sekaligus ngeri. Bagaimana hal itu bisa terjadi.
Riski juga merasa nafasnya terasa sulit dan tersenggal, saat itu lah Riski kemudian melihat dirinya, ia sadar jika sekujur tubuhnya sudah dibungkus dengan kain kafan berwarna putih.