wajah pemuda yg menyingkir itu sempat menunduk seperti kecewa dengan keputusan Riski yg tidak melawan Lika sama sekali.
sementara Koco yg paling bingung dengan situasi ini hanya bisa hah heh, apalagi dia satu-satunya yg rasa-rasanya masih ingat dengan kawan mereka yaitu Prio.
"Prio piye cah kui rung mbalik loh? opo gak digoleki?" (Prio gimana, anak itu belum balik loh? apa gak dicari dulu?)
Lika mendekat kemudian berkata "Prio ra popo, engkok lak ketemu maneh, turu ae kowe.. engkok tak bugah kapan lanjut mlaku" (Prio gak papa, nanti pasti ketemu lagi
tidur saja dulu kalian, nanti kubangunin kalau lanjut jalan)
"Lanjut?" Koco tentu saja kaget, dia kira mau istirahat semalam di sini tapi rasa-rasanya Lika ingin tetap melanjutkan perjalanan meski pun masih butuh berjam-jam lagi sampai pagi datang.
"iyo lanjut, nek kowe ra gelem, turu ae nang kene, tapi ijen yo?" (iya lanjut, kalau kamu gak mau, tidur aja di sini, tapi sendirian ya?)
Koco pun menolak, sementara Puteri pergi, ia mengenakan lagi pakaian yg tadi dia kenakan, sembari matanya terus melihat Riski.
tak berselang lama hujan deras turun, sekuat apa pun Riski mencoba untuk tidur dia tidak bisa, ada sesuatu yg mengganjal, mulai dari jaminan, kemudian bisikan dari pemuda itu yg entah kenapa bisa membuat Riski begidik ngeri. "Bangsat!! kenapa jadi gini setan!!" ujarnya, ketika waktu menunjukkan pukul 1 malam, saat itu lah Puteri berdiri dari tempatnya, diikuti Lika yg kemudian sadar, Andris dan Riski pun langsung mengangkat tas mereka, berikut si pemuda yg sejak tadi menghabiskan waktu duduk di teras pos bangunan, hujan jg mulai reda, Koco adalah orang terakhir yg dibangunkan oleh Riski, meski awalnya bocah sial itu menolak dan memilih tetap tidur tapi pada akhirnya Koco mengalah dan memaksa tubuhnya untuk menembus tanah berlumpur akibat hujan tersebut.
mula-mula Puteri yg berjalan paling depan, sambil berkata dia hanya bisa mengantarkan rombongan ke kampung itu, jaminan yg sudah dibuat tidak menentukan langkah selanjutnya tapi Lika punya hutang kepada siapa pun yg ada pada diri Puteri. Riski memahami situasi ini.
pemuda itu berjalan paling belakang seolah menjauh dari Puteri, Riski sesekali mengawasi wajahnya yg benar-benar pucat, mata-nya cekung dengan bibir kebiru-biruan, sementara Lika yg berada dibelakang Riski berjalan tanpa perduli apa pun.
tanah yg tidak rata dengan kepadatannya yg menggembur menyulitkan medan ini, beberapa kali mereka nyaris terperosok atau terseok, di bawah pohon-pohon besar dan tinggi, satu persatu dari mereka mulai merasakan gejala yg aneh, dimulai sekujur badan mulai merinding.
Puteri menunjuk bahwa tidak lama lagi semua orang akan sampai di kampung itu, lebih baik tidak ada yg pergi atau berpencar karena semakin dekat kampung, akan semakin banyak warganya yg sudah siap menyambut.
barisan pohon-pohon besar itu semakin lebat dengan semak nyaris setinggi badan manusia, menutupi setiap sela dan tidak memberikan kesempatan mata untuk mengeksplor lebih jauh apa yg ada di depan, Lika berjalan semakin cepat, karena Puteri menambah kecepatan. termasuk si pemuda.
si pemuda yg awalnya ada di belakang tiba-tiba saja sudah melewati Riski dan Koco, tak ada yg tahu apa dan tujuan pemuda ini untuk memaksa tetap ikut, sementara Koco dari raut wajahnya sepertinya tubuhnya sedang dalam kondisi yg tidak menyenangkan, beberapa kali dia bernafas--lebih panjang.
saat jarak mereka terpaut sekitar sepuluh sampai dua belas langkah, Koco menarik ransel Riski sebelum berujar, "hancok kebelet ngeseng aku!!" (hancok, aku pengen buang air besar)
Riski yg mendengarnya hanya bisa diam sambil menatap Koco nanar.
Riski kemudian melihat kedepan hanya Andris yg nampaknya menyadari kalau Riski dan Koco tertinggal, Riski menjelaskan keadaannya, dengan terpaksa seluruh rombongan pun berhenti, hanya Lika yg nampak geram melihat kejadian ini, tak lama Puteri mendekat lalu menawarkan diri-untuk mengantar Koco.
"gak popo, iki wes kawasan kampunge, ayok nang kunu onok godong kriwuk, tak terke" (gak papa, ini sudah masuk kawasan kampungnya, ayok disitu ada daun rimbun, kuantar)
Koco pun setuju, mereka berdua pergi menembus semak belukar yg tidak jauh dari mereka.
Riski yg merasa Koco dan Puteri sudah pergi terlalu lama mulai khawatir apalagi ia berkali-kali merasa sungkan dengan Lika yg melihatnya dengan sorot mata dingin, Riski pun berkata akan menyusul mereka berdua, saat itu Andris menawarkan diri tapi Riski menolak..
Riski menyingkirkan setiap daun rimbun yg menghalanginya, dedaunan ini menyerupai daun muris yg mempunyai dimensi lebar, terkadang sayatan rantingnya membuat kulit Riski terasa perih, saat menjelajah semakin jauh samar-samar terdengar suara Koco yg mengejan.. sebelum, Gedebuk!!
suaranya seperti karung jatuh atau sesuatu yg menyerupainya, Riski berhenti sebentar menyingkirkan rimbun yg menghalangi pandangannya dan lagi-lagi suara gedebuk jatuh terdengar lagi, bahkan hingga dua tiga kali dalam satu waktu yg berdekatan.
Riski tidak tahu suara apa itu tadi jadi dia melanjutkan langkahnya, ketika melewati satu pohon kembar dimana dibagian tengahnya terdapat tanah agak menurun disitulah Riski menemukan Koco sedang melihatnya dengan ekspresi orang yg bersusah payah mengeluarkan apa yg ada diperutnya
Riski pun menyingkir kebagian sisi pohon sambil berteriak, "ning ndi Puteri?" (kemana Puteri?)
suara Koco terdengar dimana dia mengatakan kalau Puteri ada dibagian sisi pohon yg lain, Riski pun mengerti, tiba-tiba suara gedebuk itu kembali dan mengejutkan mereka berdua.
"kowe krungu gak sih koyo onok suara rutuh?" (kamu dengar gak sih kaya ada suara jatuh?)
Koco yg ada dibawah menjawabnya, "krungu, suarane koyok kelopo rutuh" (kedengeran, suaranya kaya buah kelapa yg jatuh)
"ing ndi onok kelopo nang tengah gunung ngene ki?" (dimana ada pohon--kelapa ditengah hutan kaya gini?)
"lah iku mangkane" (lah ya itu makanya) jawab Koco, ditengah-tengah percakapan itu, Riski kemudian melihat benda jatuh itu dari arah tempat seharusnya Puteri sedang berada, begitupula dengan Koco suara benda jatuh juga terdengar dibelakangnya..
Riskipun berjalan mendekat melewati bagian tengah tempat Koco bisa melihat Riski, dengan langkah kaki pelan Riski melihat apa yg jatuh dari balik pohon itu saat dia melihat selembar kain yg membungkus, warnanya putih kusam dalam kondisi terbaring, karena samar Riski mengamatinya
di sana, Riski melihatnya, wajah manusia yg hitam legam seperti daging yg lama membusuk sedang melotot melihat Riski sembari mengangah lebar,
belum bergerak dari tempatnya, Riski mendengar suara Koco menjerit dengan suara lantang, "POCONG ALAS DADAKNO"
di situlah, Riski sadar..
baik di bawah mau pun di atas ranting-ranting pohon, nyaris seluruh tempat ini dihuni oleh puluhan bahkan mungkin lebih sosok pocong yg memiliki bentuk tubuh dan ukuran berbeda-beda.
wujud mereka sama dengan kulit wajah nyaris hancur seperti daging dicincang hingga merah hitam
saat itu lah Puteri datang dengan yg lain sambil berujar "aku salah, iki wes melbu kampung e, enggen sing digawe Koco ngising iku nggone mbok-mbok ane, nggon Sadekwoh sing butuh jaminan mau" (aku salah, ini ternyata sudah masuk kampungnya, tempat yg dipakai Koco buang air besar--itu tempat yg paling tua berada, tempat dia yg membutuhkan jaminan tadi)
Riski menoleh melihat Koco yg sudah kocar kacir dimana dibelakangnya ada wujud familiar yg Riski kenal,
seonggok Pocong dengan kain berwarna hitam legam hanya saja ukurannya tujuh kali manusia normal.