singkat cerita, si mbah sudah memberi wejengan bahkan setelah si mbah akhirnya wafat dan Riski memulai kehidupan barunya sebagai anak kuliahan.
tahun itu, tidak banyak orang yg bisa merasakan bangku kuliah, tapi karena Riski dari keluarga yg cukup berada, beliau pun memilih-menempuh pendidikan disalah satu universitas negeri.
selama di sana, tidak ada yg terjadi, kehidupan Riski seperti mahasiswa kebanyakan, kuliah, pulang, kuliah, pulang.
sampai suatu hari, temannya menyampaikan salam titipan kepadanya, sebut saja teman Riski ini dengan Koco.
Koco ini teman Riski yg paling dekat, selain satu fakultas mereka juga masih dalam satu tempat kontrakan yg sama. tahun itu, belum banyak kost-kostan, mahasiswa umumnya saling patungan untuk langsung menyewa rumah yg bisa diisi 5-7 orang, begitu pula dengan nasib Riski dan Koco.
siang itu Koco memberitahu, kalau ada teman perempuan dari anggota Mapalanya yg ingin mengenal Riski.
saat itu sebagai anak yg kurang aktif tentu Riski tidak gampang percaya, apalagi Koco anaknya yg sedikit sangklek dan suka membesar-besarkan hal-hal kecil.
tapi Koco terus menerus memaksa katanya untuk menjaga martabatnya, kalau ndak suka sama anak ini Riski gak usah melanjutkan, ini adalah amanah, hal ini yg membuat Riski akhirnya mau dan bertemu sama kenalan si Koco ini.
singkatnya, Riski akhirnya mengenal perempuan ini, Koco memanggil beliau dengan Lika.
Lika ini cukup cantik dan Riski tidak bisa berbohong kalau dia sebenarnya tertarik, anehnya, baru satu minggu kenal Lika ini, perempuan ini berani mengajak Riski pulang ke rumahnya.
sebagai orang yg tidak enakan, Riski mau-mau saja diajak pulang ke rumah perempuan ini.
ada satu hal yg membuat Riski tidak nyaman saat bersama dengan Lika ini, dia sering sekali bertanya apa Riski pernah mati suri?
pertanyaan ini terus menerus ditanyakan setiap ada kesempatan.
Riskti tentu menjawab sekenanya saja, kata orang dia memang pernah seperti itu tapi terlepas dari itu Riski tidak tau bagaimana rasanya dan bagaimana hal itu bisa menimpanya.
Lika pun mengerti dan dia berusaha untuk tidak bertanya tentang hal itu lagi.
rumah Lika ini tidak jauh dari area kampus, tempatnya di deretan perumahan dengan gaya rumah khas belanda.
saat Riski berjalan masuk, ia langsung bertanya, "omah bekas londo?" (rumah bekas belanda?)
Lika mengangguk, "iya mas, bapak dosen jadi dapat rumah dinas"
di ruang tengah, Riski lebih banyak duduk dan menghabiskan waktunya melihat perabotan-perabotan lama, banyak lukisan dan foto-foto tua tertata di dinding, tidak ada yg menarik dari rumah ini selain firasatnya yg menunjukkan kalau rumah ini punya sesuatu yg gelap di dalamnya.
sementara Lika meninggalkan Riski di dapur bersama dengan pembantunya.
sendirian di dalam rumah itu membuat Riski tidak punya pilihan lain selain memperhatikan pigura-pigura foto yg tergeletak diatas meja buku, di sana Riski melihat foto sepasang perempuan kembar.
fotonya jauh lebih tua dari tahun Riski sehingga ia menyimpulkan kalau mungkin ini foto ibu Lika, saat Riski memperhatikan dengan seksama foto itu, Lika tiba-tiba sudah berdiri dibelakangnya kemudian berbicara, "foto ibu kale bu lek, ibu kembar mas nek kowe takok"
(itu foto ibu sama tante, ibu itu kembar mas kalau kamu tanya)
Riski yg merasa tidak enak karena bersikap tidak sopan kemudian mengangguk dengan canggung, ia melihat Lika meletakkan gelas berisi teh sebelum perempuan itu mengatakannya, "mas eroh gak karo Jajar loro?"
(mas tau tidak tentang sejajar berdua?)
Riski tentu saja bingung, karena ini kali pertama dia mendengar pertanyaan seperti ini.
Riski kemudian menggelengkan kepalanya, mengaku kalau ia tidak tahu arti dari Jajar loro yg Lika tanyakan, perempuan itu hanya mengangguk, tidak menanyakan perihal itu lebih lanjut.
setelah cukup lama mereka mengobrol, Riski kemudian meminta ijin kebelakang, Lika kemudian-memberitahu dimana kamar mandinya.
"neng mburi enek mbak Nuk, nek kowe bingung takok ae ten mbak Nuk mas" (dibelakang ada mbak Nuk, kalau kamu bingung tanya saja sama beliau mas)
Riski mengangguk, diperjalanan Riski semakin merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah ini.
mungkin karena rumah tua membuat Riski tidak terbiasa berada di dalamnya.
saat itu Riski bertemu dengan mbak Nuk, beliau wanita paruh baya yg sangat sopan, bahkan mbak Nuk masih menunjuk menggunakan jempol tangannya.
Riski pun mengikuti arahannya.
Riski membuang air disamping sebuah sumur yg ditutup dengan kayu dari pohon trambesi, setelah ia selesai dengan urusannya niatnya kembali ke ruang tengah sebelum Riski seperti melihat Lika sedang berada di salah satu kamar dengan pintu yg terbuka.
Riski tentu saja kemudian mendekat ke kamar itu, di sana Lika sedang duduk sejajar dengan cermin di meja rias di salah satu kamar, anehnya cara duduk Lika ini terlihat janggal, tubuhnya tegap dengan selaras wajahnya melihat ke cermin terus menerus.
Riski sebenarnya merasa tidak nyaman, ia bisa mendengar degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, satu hal lagi, sekujur badan Riski tiba-tiba seperti menggigil dengan sendirinya.
tapi Riski kelewat nekat, ia hanya penasaran apa yg dilakukan oleh kenalannya ini.
berdiri di depan pintu sendirian dengan seorang perempuan yg dikenal sedang duduk selaras dengan cermin merupakan keadaan yg tidak mengenakan.
Riski pun berniat memanggil kenalannya ini saat tiba-tiba Lika ini memutar tubuhnya lalu seperti dengan sengaja membelakangi Riski.
"Lik" "Lika.." panggil Riski saat itu, tapi sosok Lika ini tidak berbalik, tidak juga bergeming, membiarkan laki-laki ini seperti orang konyol yg hanya berdiri diluar pintu.
saat Riski merasa mungkin ada alasan lain, Riski berniat pergi sebelum Lika memanggilnya.
"Totok.." Riski seketika berhenti, "totok.." kata Lika lagi, Riski sempat bingung kenapa perempuan ini memanggil totok, sebelum Riski sadar sesuatu, dia cukup mengenal dialeg-dialeg lawas dari sejarah lama, totok adalah panggilan noni belanda kepada laki-laki pribumi.
Riski yg berdiri di depan kamar melihat Lika atau yg menyerupai dirinya menoleh tapi dengan cara yg sangat pelan, anehnya bagian badannya tidak bergeming atau ikut memutar, hanya kepalanya saja yg kemudian menyeringai melihat Riski, saat itu lah pintu kamar ditutup oleh mbak Nuk.
"mas, kowe iku ngerti po ra, ra sopan mlaku-mlaku nang omahe wong nek ra onok kepentingan" (mas, kamu itu mengerti apa enggak, tidak sopan jalan-jalan di rumah orang kalau tidak memiliki kepentingan)
Riski sempat menunjuk ke pintu kamar tapi mbak Nuk mengantar Riski kembali setibanya di ruang tengah, Lika yg sama, baju yg sama sedang duduk seperti orang yg sudah menunggu sejak tadi,
Riski tidak berbicara apapun begitu juga mbak Nuk yg langsung berjalan pergi.
suasana mendadak menjadi canggung dan kemudian Lika mengatakannya.
"aku karo Koco, karo arek-arek angkatanku kateh munggah, kowe gelem melok gak mas, gak tau kenek opo kok aku kepingin sampean melu, gelem yo mas"
(aku sama Koco, sama anak-anak lain angkatanku mau mendaki, kamu mau ikut gak mas, entah kenapa aku kok ingin kamu ikut, mau ya?)
entah kenapa Riski tidak bisa menolak ajakan perempuan itu terutama selepas dia menenggak teh yg ada di depannya, "mau ya mas, aku mekso soale" kata Lika, Riski kemudian bisa melihat jika dibelakang mbak Nuk sedang melotot kearahnya tanpa alasan yg jelas.
Riski pun mengangguk kepada Lika, meski tidak berucap dengan lisan tapi itu cukup membuat perempuan itu mengangguk kemudian tersenyum.
ya, untuk pertama kalinya Riski akan mendaki gunung.