Malam semakin larut Koco kemudian mendatangi kamar Riski, ia melihat Riski sedang duduk di atas ranjang miliknya, bocah itu nampak sedang membuka buku, Koco sejenak mengetuk pintu kemudian berjalan masuk, nampaknya anak itu sudah bisa mengira-ngira apa yang baru saja terjadi.
Tanpa basa basi Koco kemudian langsung mengatakannya, “kowe diwedeni tah karo sing ono gok jeding?” (kamu digangguin ya sama yang ada di kamar mandi?)
Mendengar itu tentu saja Riski hanya bisa melongo, sepertinya Koco lebih tau sesuatu yang tidak Riski ketahui. “maksudmu opo?”
“Ora, kowe loh kok koyok ngunu mau, kowe diwedeni ta karo sing njogo omah iki?”
(enggak, kamu loh kok kaya begitu reaksinya, kamu digangguin sama yg jaga rumah ini?)
Tidak lagi bisa berbohong, Riski kemudian menceritakan semuanya, Koco hanya manggut-manggut tidak berkomentar, anak itu juga nampaknya tidak terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“Halah, ra popo, mek nggudo tok iku, kepingin kenalan paling karo kowe” (halah, gak papa itu, cuma nggodain, mungkin ingin kenalan sama kamu)
Riski hanya mengangguk, Koco kemudian melanjutkan, “aku yo gelek ketemu ambek sing ngunu kui, tambah cebok e mumbul tapi yo gak popo, omah model ngene justru aneh nek ra onok sing njogo modelan ngunu”
Riski mengangguk kembali, apa yg Koco katakan memang benar, hal-hal diluar nalar memang ada dan tidak seharusnya dia takut dengan hal seperti itu. Ditengah-tengah pikiran Riski yg campur aduk kemudian ia ingat dengan pembicaraan saat dia tadi sedang dikerjai, “mbak-mbak itu” siapa maksudnya, tapi Riski memilih mengurungkan niat untuk mengatakan hal itu kepada Koco.
Kemudian pembicaraan mereka melebar sampai pada titik dimana Riski memberitahu kalau Lika mengajak dia naik ke gunung bersama dengan rombongan Koco, saat itu lah Koco baru nampak kaget ketika mendengarnya.
“Opo?? Kowe, melu munggah? Tenanan? Ojok guyon kowe karo aku?” (apa?? kamu. Ikut naik? Yang bener saja? Jangan bercanda sama aku?)
Riski kemudian menjelaskan bukankah seharusnya Koco tau hal ini, tapi kenapa dengan reaksi Koco yang seperti itu. Bukankah hal ini terasa janggal.
Koco kemudian menjelaskan kalau gunung yg akan Koco daki bersama rombongannya adalah gunung yg jarang jadi pilihan para pendaki karena medannya yg masih terkenal sulit dan aksesnya yang sukar dijelajahi, selain itu butuh jam terbang tinggi untuk menjelajahi tempat ini.
namun Koco kemudian terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu.
“aku kok kaet eroh nek Lika ngejak kowe, soale sing nggawe acara iki yo asline Lika iku, malah bapak’e sing bakal nangung kabeh biayane”
Riski semakin yakin kalau ada kejanggalan dengan pendakian ini tapi baik Riski mau pun Koco, mereka sama-sama tidak tahu alasan apa yg dilakukan oleh keluarga Lika.
"nek aku seh gak keberatan, lumayan iso nyantai" (kalau aku tidak keberatan, lumayan bisa bersantai)
Riski hanya diam saja. Ia ingat jika Lika mengatakan kalau ayahnya adalah seorang dosen.
“trus kowe ngomong iyo pas ditawari?” (trus kamu ngomong iya sewaktu dia menawarimu?)
Riski mengangguk, Koco nampak khawatir kemudian ia mengatakan sesuatu kepada Riski, “munggah gunung iku gak gampang loh Ris, ra koyok kari mlaku ngunu, nek wong rung tau mestine munggah gunung sing endek-endekan sek, gak langsung melu pendakian sing iki, tak saranno urungno niatmu, soale, kowe gak ngerti nang gunung iku menungso iso dadi bedo?”
Riski kurang mengerti apa yg coba Koco sampaikan kepadanya tapi jika ia melakukan hal itu rasanya mau ditaruh dimana mukanya nanti dihadapan Lika, lagipula entah kenapa Riski yang biasanya kurang memperdulikan perasaan orang lain bisa begitu takut membuat Lika kecewa, padahal mereka saja baru mengenal satu sama lain kurang dari sebulan ini.
Riski kemudian berujar kepada Koco kalau jauh di dalam hatinya memang ada keinginan setidaknya untuk sekali ini saja dia ingin melakukan pendakian ini jadi dia bisa merasakan perasaan Koco yg biasa dia ceritakan kepadanya lagipula kegiatan ini bisa menambah pengalaman.
Koco sebenarnya tetap tidak sependapat dengan Riski, bagaimana pun mendaki gunung itu berbeda, tapi ia juga tidak mau jika harus melarang anak itu untuk merasakan sensasi mendaki, dan tertawa puas saat sampai dipuncak, ia kemudian mengurungkan niat dan berpesan kepada Riski, “mene mulai mlayu-mlayu diluk ben isuk, latih ambekanmu, gunung iku gak seramah sing dipikir wong-wong”
(besok, mulai lari-lari kecil setiap pagi, latih pernafasan, gunung itu tidak seramah yang orang-orang pikirkan) selepas mengatakan hal itu, Koco kemudian pergi meninggalkan Riski seorang diri di dalam kamar yg entah kenapa membuatnya masih termangu diam sendirian.