Sore ini, selepas ia menghilangkan lelah diuks tanpa gangguan, akhirnya jam pulang berbunyi menyadarkannya dari lamunan. Ailin tidak bisa tidur sama sekali, ingin masuk kelas pun dicegah oleh teman temannya, jadilah ia hanya melamun hingga bel sekolah.
Untungnya semalam ia kedatangan bulan, jadinya ia bisa sedikit santai.
Melihat jam yang tepat pukul 3 Ailin berdiri lalu keluar dari uks, tangannya sudah diperban dan pipinya sudah tidak merah, hanya dibagian sudut bibir kirinya yang sedikit sobek saja.
Kaki jenjangnya bergerak menuju kelas, otaknya mudah sekali menghafal arah sekolah yang terlihat rumit.
"Aduh, ayah gak jemput lagi. Apa aku pesen taksi oneline aja ya? Kan, gak mungkin juga ka Jidan mau ajak aku."
Ailin berhenti didepan kelas, tepat sekali dengan para teman barunya yang keluar dari kelas. Mereka juga tersenyum hangat padanya, jauhkan pemikiran pertemanan mereka hanya karena uang, karena jelas sekali mereka tulus, hanya saja mungkin mereka tidak sekaya Ailin yang bahkan mampu membawa satu juta uang hanya untuk uang jajan disekolah.
"Ailin!" Dari ke empatnya, memang Dila lah yang paling cerewet dan ceria.
Disambung dengan Resa yang sepertinya lebih dewasa.
Lalu Jesicca si perempuan keturunan Amerika Indonesia, jelas karena percampuran kata dan nada bicaranya yang begitu kontra dengan orang luar.
Selanjutnya Liora, cewek terdingin dipandangan Ailin.
"Baru aja kita mau ke uks jemput Lo," Resa menjinjing tas Ailin, ia menodongkannya pada sang pemilik, "Ayok kita pulang."
Ailin mengangguk mengiyakan, ia mengambil tasnya lalu berjalan berbarisan dengan keempatnya. Jika dilihat lihat orang lain mungkin ia seperti perkumpulan geng perempuan nakal, dengan Ailin sebagai ketua, tentu karena memang dia lah yang paling berpengaruh setelah memukul Natan, ketua geng yang bahkan ditakuti para murid.
Lihatlah mereka membuat jalan untuk mereka, membuat Ailin sesak napas saja. Padahal ia ingin hidup biasa dengan kedamaian, tapi sepertinya itu sudah tidak mungkin lagi.
"Lo pulang dijemput atau bawa kendaraan sendiri?"
Ailin menoleh pada Dila, ia menghendikkan bahu tak tahu, "Ailin gak bawa kendaraan, ayah juga gak bisa jemput. Mungkin naik taksi."
Ia melihat sekeliling hingga ia melihat tubuh jangkung Zidane yang sudah bersiap dengan motor Sportnya, "Tadinya disuruh bareng ka Jidan, tapi kayaknya gak bisa." Benar saja Zidane sudah mengendarakan motornya bersama teman sepergengannya (termasuk Dinda dan kedua perempuan) keluar dari pekarangan sekolah.
"Gue gak habis pikir sama Kaka Lo," Semuanya memperhatikan hilangnya Zidane dengan wajah heran, "Cowok brengsek kayanya," Liora menyahut datar membuat Ailin tertawa kecil.
Perempuan berkerudung itu memainkan ponselnya, mencari tumpangan taksi oneline, "Kalian gak pulang?"
"Gue bawa mobil," Resa menunjuk mobilnya, "Biasanya kita bareng karena emang kita tetanggaan, kalo Lo mau Gue juga bisa anter Lo."
Ailin menggeleng, ia memperhatikan pesanan taksinya yang akan datang, "Makasih banget loh, nanti nanti aku ajak deh kerumah."
"Ehem!" Ailin terperanjat, ia lalu menoleh pada lelaki yang berdiri tepat dibelakangnya, dia William.
Senyum Ailin pun merebak, ia menarik tangan kanan William lalu menyalaminya, "Assalamu'alaikum Abang," ujarnya.
"Hm."
"Orang ngucap salam itu harus dijawab loh bang," tegur Ailin.
"Waalaikumsalam."
Ailin terlihat lebih bahagia, tidak lagi mempedulikan reaksi diam temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Novel || TERBIT
FantasyBagaimana jadinya jika Aisyah yang taat agama bertransmigrasi ketubuh Ailin yang mati karena bunuh diri? ... Aisyah Nurul Huda adalah seorang perempuan muslimah, lingkungan hidupnya dipenuhi dengan hal berbau agama. Dia seorang putri pemilik pesantr...