25 || Hari² menenangkan

52.5K 7.6K 323
                                    

Seperti Aisyah yang menjaga kehormatan, seperti Ailin yang mencoba mengerat tali persaudaraan, seperti Risya yang mampu bertahan, dan seperti Dila yang selalu memperjuangkan. Tidak kah salah satunya adalah diri kalian?

Atau kah seperti Dinda yang sering serakah dengan keinginan?

...

"Kenapa bisa kaya gini sih, nak?"

Ailin asyik memperhatikan ketelatenan Umi Fatih mengobati luka Fatih. Wajah Umi Fatih sangat teduh, kerudung merah panjang membuat sang umi terlihat amat cantik.

"Umi bilang juga jangan berantem terus, kenapa sih kamu gak pernah nurutin perintah Umi?"

Fatih terlihat meringis saat uminya menekan kapas pada luka ditangannya, "Umi... sakit!" Fatih mendesis.

Ailin terkikik menertawakan kesengsaraan Fatih, sedang Risya sudah lebih dulu pulang, perempuan itu memiliki rasa malu jika ke area pesantren tanpa memakai kerudung. Memang ada kerudung yang baru mereka beli, namun apakah harus Risya langsung memakainya ditaksi?

Rencananya nanti Risya akan meminta seseorang menjemput Ailin.

Alasan Ailin ingin berdiam sedikit lama dirumah Fatih tentu karena ia rindu suasana pondok abinya. Jika saja Ailin dulu tidak tertabrak truk saat menjadi Aisyah, mungkin luka yang sering ia dapatkan akan diobati sang umi dengan wajah khawatir.

Sayangnya Ailin tidak boleh berandai andai, sekarang ia hanya harus bersyukur diberi kesempatan kedua oleh tuhan.

"Kamu temen Fatih?"

Ailin mengerjakan matanya, "Iya," perempuan itu mengangguk, "Saya Ailin, adik kelas ka Fatih, tadi gak sengaja liat ka Fatih pingsan dijalan sepi, jadi saya bantu, umi." Fatih melotot lucu saat mendengar Ailin menyebut ibunya dengan kata umi.

"Makasih Loh nak Ailin, Fatih emang nakal anaknya, susah diatur. Pasti ngerepotin ya bawa Fatih pulang?"

Seorang santri perempuan menyodorkan minuman lengkap dengan kue kering pada Ailin, "Silahkan teh."

Ailin tersenyum, ia yakin santri tersebut sedang mendapat piket rumah pemilik pesantren.

"Ngga kok umi, Ailin juga seneng bisa bantu orang," Ailin sedikit menunduk, "Ailin juga seneng bisa liat suasana se-asri pekarangan pesantren, udah lama banget Ailin gak liat suasana kaya disini, umi."

Umi Fatih tersenyum sebagai reaksi, "Dipesantren emang asri, soalnya dijaga sama santri, ada tugas piketnya juga. Ailin mau kepesantren?"

Ailin nyengir lebar, "Ailin sih mau, tapi kayanya Ayah bundanya Ailin gak bakal izinin."

Fatih mengerutkan keningnya, bukannya Agis dan Safira dipanggil Papa dan Mama oleh Zidane dan saudaranya? Kenapa Ailin berbeda?

"Oh, begitu yah. Sayang banget perempuan lembut kaya kamu gak masuk pesantren, diluaran soalnya susah buat jaga martabat bagi perempuan."

Ailin tersenyum mengiyakan, "Makanya sebisa mungkin Ailin jaga kehormatan Ailin, meski ada aja orang lancang yang nyoba sentuh Ailin," Ailin melirik Fatih, menyindir geng mereka yang memang selalu kelewatan perilaku pada satu perempuan.

Ailin melirik jam tangannya, sudah menjelang sore, terlalu keasyikan melihat interaksi umi Fatih dengan anaknya, juga mungkin karena keasyikan ngobrol waktu jadi semakin cepat.

"Udah sore, Ailin mau izin pulang umi," Ailin berdiri perlahan.

"Udah mau pulang aja, tunggu sebentar lagi deh, biar kakaknya Fatih yang anter kamu," Umi Fatih ikut berdiri.

Dibalik Novel || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang