19 || Special Zidane With Risya

57.1K 8.2K 186
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya, Risya Aurelia Juanda binti Haris Juanda dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Tetesan air mata kembali membasahi pipi Risya. Sekarang ia sudah menjadi milik Zidane, lelaki yang dulunya tega membiarkan ia sakit sendiri. Meski dalam unsur paksaan Risya tetap merasa bersyukur, walaupun ia tahu Zidane tak mencintainya tapi ia bisa kembali berjuang untuk mendapatkan hati lelaki itu.

Risya menyalami tangan Zidane, ia mendapat balasan kecupan dikeningnya. Semua orang terlihat bahagia, sayangnya lelaki yang sudah sah menjadi suaminya tidak sebahagia itu.

Acara kecil kecilan dimulai, saat ia bersalaman pada keluarga barunya satu persatu, dimulai dari Agis, senyuman hangat Agis begitu lembut terpatri untuknya.

Lalu saat ia menyalami Safira, pelukan adalah balasan untuknya.

Dilanjut semua orang dan terakhir, Ailin. Lihatlah mata berbinar Ailin, Risya jadi sangat senang bisa menjadi keluarga untuk gadis itu.

Selepasnya Risya baru menyalami ibu dan ayahnya, mereka tampak bahagia, bahkan sang ibu langsung memeluknya erat.

Risya jadi ikut bahagia.

"Jangan nakal, kalau sampai kamu gak bisa muasin keluarga Aldebara, ibu bakal marah sama kamu."

Risya menghela napas, ia mengangguk saja. Niat hati ingin bahagia nyatanya ia tidak akan pernah bisa, karena meskipun hidup nyaman sang ibu tetap ingin memanfaatkannya.

...

Acara kecil kecilan untuk pernikahan Risya dan Zidane sudah selesai malam hari.

Malam ini, mereka akan tidur bersama dengan ikatan yang sudah sah. Risya lebih dulu kedalam kamar untuk membersihkan diri, lalu Zidane sedang diberi peringatan dan petuah oleh Agis, Safira, terutama Antonio.

Zidane mendengarkan dengan tenang, meski ia yakin akan langsung melupakannya. Terakhir bagian Antonio, ucapan kakeknya adalah hal yang harus ia laksanakan.

"Kalo kakek sampe denger kamu nyakitin dia lagi, siap siap kamu kakek keluarin dari kartu keluarga. Udah cukup buat kakek marah karena lancang rusak dia, jangan sampe kamu ngelakuin hal bodoh lagi." Zidane setia menunduk, ia merasakan tepukan dibahunya dua kali, "Kali ini biarkan kakek percaya sama kamu, kamu gak akan hancurin kepercayaan kakek lagi kan?"

Zidane mengangguk.

"Sekarang temui dia, minta maaf, dan coba terima dia. Ingat, kelangsungan hidup kamu tergantung sama kebahagiaan dia."

Zidane baru diizinkan kekamarnya yang baru beberapa jam tadi sudah menjadi bagian Risya juga. Baru saja ia ingin mencaci maki Risya saat sampai didalam kamar, namun melihat Risya duduk bersandar dengan memeluk kakinya ia jadi penasaran.

Isakkan kecil yang Risya keluarkan membuat hati Zidane dengan tak tahu malunya mengkhawatirkan Risya, berbeda dengan otaknya yang berusaha mengingatkan kebenciannya pada perempuan itu.

Mungkin karena suara langkahnya, Risya baru menyadari keberadaan Zidane. Terlihat bagaimana perempuan itu bergerak cepat menyembunyikan air matanya.

Bodoh sekali.

Wajah merah Risya sudah terlihat oleh Zidane.

"Oh, ka Zidan udah mau tidur atau mandi dulu?"

Zidane menutup matanya, ia menghela napas lalu mendekat kearah Risya. Saat satu langkah lagi berada didepan Risya Zidane berhenti melihat wajah ketakutan Risya.

Risya takut padanya, itulah fakta paling utama. Zidane tidak menyangkal, karena memang ialah yang lebih dulu membuat Risya takut hingga mungkin kejenjang trauma.

"Gapapa, gue gak akan sakitin Lo lagi," Zidane kembali mendekat, Risya terlihat lebih menyedihkan darinya.

Padahal Zidane lah yang ceroboh.

Kini didekapnya tubuh kecil Risya, mengelus rambut lembut miliki perempuan itu. "Nangis aja, gue gak akan komen."

Tubuh Risya tetap gemetar, kontras sekali jika Risya tetap takut pada Zidane.

Lagipula, Zidane juga tidak memiliki pengalaman menenangkan perempuan selain Dinda, bahkan Safira dan Ailin pun tak pernah ia tenangkan.

Jika Risya adalah Dinda maka ucapan yang seharusnya ia keluarkan adalah...

"Tenang aja, gue selalu ada dideket Lo."

Barulah suara tangis Risya kembali terdengar, mungkin memang semua perempuan hanya butuh teman disaat hal menyakitkan lewat pada takdir mereka.

Yang aneh sekarang, mengapa hati Zidane merasa sakit? Ini tidak seperti saat ia mendengar suara tangis Dinda, tidak juga seperti saat ia melihat wajah ketakutan dan babak belur Dinda.

"Gue... Cape. Boleh nyerah gak sih?"

Jantung Zidane seperti berhenti sesaat, ia hanya mampu termenung memikirkan ucapan Risya.

"Gue cape, hiks. Kenapa harus gue yang tanggung semuanya sendiri?" Risya memukul mukul pelan dada bidang Zidane.

Zidane hanya mampu mengusap punggung Risya, menenangkan sebisanya.

Ini salah.

Seharusnya sedari dulu ia tidak boleh melakukan itu, kini dampaknya terlalu besar untuk Zidane terima. Bukan hanya dia, Risya, perempuan itu lebih besar mendapat dampak kebodohannya.

Gerakan Risya mulai melemah, "Gue pengen mati," itulah ucapan terakhir Risya sebelum perempuan itu tidur kelelahan dipelukan Zidane.

Zidane hanya mematung sampai dirasanya Risya sudah benar benar terlelap, ia membenarkan posisi tidur Risya sebelum berjalan kearah balkon dengan sebatang rokok menyala ditangannya.

Barus saja ia ingin menghisap puntung rokoknya, mata Zidane yang tidak sengaja melihat kebawah, tepat pada dua pasang tubuh yang ia yakini orang tuanya, Zidane dengan tidak senang hati mematikan rokoknya lalu membuangnya ketempat sampah. Akan gawat jika ia ketahuan merokok.

Zidane akhirnya merebahkan diri disamping Risya, menatap langit langit kesal karena tidak kunjung terlelap.

Satu detik, satu menit dan berakhirlah hingga 30 menit ia masih diam melamun kisah hidupnya.

Suara helaan napas dan juga gerakan kecil disamping Zidane membuatnya mematung, kini Risya tepat memeluknya. Ia masih tidak terbiasa, apalagi saat Risya kembali bergerak mencari posisi nyaman dipelukannya.

Meski tidak terbiasa, hatinya tidak bisa berbohong jika Zidane menyukai hal kecil yang dilakukan Risya saat sedang tidur.

"Gue gila! Inget Zidane, Lo suka Dinda." Zidane mendesis kecil, namun pergerakan tubuhnya malah menghianati Zidane.

Tangannya ikut memeluk Risya dengan satu tangan yang menjadi bantalan.

"Sekali aja... Tubuh Lo hangat." Zidane baru merasa mengantuk saat mendapatkan posisi menenangkan dari pelukan Risya.

"Sekali aja, biarin gue tidur tenang."

Tidak ada yang tahu jika Zidane mengidap insomnia berat karena trauma dimasa kecilnya, bahkan keluarganya sekalipun. Insomnia itulah yang menjadi alasan Zidane jarang berada dirumah pada malam hari, lelaki itu butuh teman untuk malam hari yang menakutkan baginya.

Dan kali ini, hanya karena pelukan tak sengaja Risya, ia bisa merasakan ketenangan dan bahkan terlelap cepat.

"Istri? Hahah..."

"Gue punya istri." Gumam Zidane sebelum benar benar terlelap.

Malam ini, mereka terlalu tentram jika harus disebut menikah dengan unsur paksaan.

Dengan Risya yang hanya mengharapkan kehidupan nyamannya kembali. Dan Zidane yang tak pernah berpikir mencintai orang selain Dinda.

Obsesi? Zidane sudah sangat memikirkan kata itu. Ia memang merasa kata itu benar untuknya yang terlalu mengharapkan kasih balik dari Dinda, dan ia, hanya terus menyangkalnya.

....

Andai kata kalian jadi Risya, apa yang mau kalian sampaikan?

Aku sih nangis bombay tanpa mampu berkata kata awokawok.

Dibalik Novel || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang