HEY CRUSH || 31

22.6K 4.2K 1.2K
                                    

Assalamualaikum...

***

Bel pertama berbunyi tepat ketika Bu Irma, guru Bahasa Inggris mereka keluar dari kelas IPS satu yang tidak lain adalah kelas Shabira.

Chealse yang satu bangku dengan Nadia segera menarik kursinya untuk merapat pada bangku Shabira dan mulai duduk dengan posisi siap mendengarkan cerita. "Lanjut, Bir. Gimana ceritanya, si El bisa di jodohin sama si Aira itu?"

Tadi acara curhat mereka memang terpotong karena seruan dari lapangan yang memanggil mereka untuk segera berbaris melakukan upacara rutin penaikan bendera hari Senin. Setelah upacra selesai pun, guru pelajaran pertama mereka cepat sekali datang ke kelas sehingga mereka harus menunggu sampai jam istirahat datang untuk melanjutkan cerita dari Shabira.

"Bir, jawab!" sembur Karina gemas karena Shabira hanya diam. "Gue tahu lo belum siap cerita, tapi Demi Allah gue nggak akan bisa tidur semaleman kalau sampai lo nggak cerita hari ini juga."

Shabira menghela napas, melirik Chealse dan Karina bergantian lalu tatapannya jatuh pada Nadia yang diam saja di bangku dengan tangan sibuk memainkan ponsel, tapi Shabira yakin telinga gadis itu sebenarnya sudah siap mendengarkan.

"Bir, please. Cerita, ya. Selain kepo, gue juga pengen hibur lo tapi gimana mau hibur kalau kita nggak tahu cerita lengkapnya," bujuk Chealse.

Akhirnya Shabira mengangguk dan mulai menjelaskan bagaimana kejadian di hari Minggu. Di mulai dari Elzio yang menghubunginya pagi-pagi dan mengatakan akan berkunjung ke rumah, berlanjut Shabira yang pergi mengantar pesanan dan malah menemukan hal pahit di rumah Ghufaira, sampai akhirnya cerita usai di mana Elzio dan keluarganya datang ke rumah untuk meminta maaf.

".... Dari apa yang gue tangkap pas kemarin Papa nya cerita, perjodohan ini di adain memang ngedadak. Dari awal nggak ada rencana perjodohan El sama Aira walau mereka teman lama pas masih kecil. Cuma ya itu... perjodohan mereka ini terdorong karena rasa hutang budi."

"Hutang budi gimana?" tanya Karina tak mengerti.

"Papa El, kan, sakit ginjal udah tiga tahun terakhir dan tahun sekarang itu lagi parah-parahnya. Udah coba berbagai macam terapi dan konsumsi obat sebelum operasi cangkok ginjal, cuma memang hasilnya nggak maksimal sedangkan semakin hari keadaan ginjal Papa El makin buruk. Buat cari donor ginjal juga nggak mudah."

"Jadi yang donor ginjal buat Papa El itu papanya Aira, gitu?" tebak Chealse.

Shabira menggeleng. "Bukan, tapi dari adik iparnya Papa Aira. Sebut aja om nya Aira. Jadi om nya Aira itu kecelakaan, dan meninggal di tempat. Dan ternyata, selama masih hidup, om nya Aira udah daftar buat donor organ tubuhnya yang masih sehat dan layak di donorkan. Qadarullah, ginjalnya ternyata cocok sama ginjalnya Papa El, dan atas persetujuan Papa nya Aira dan istri almarhum akhirnya ginjal itu di donorkan ke Papa nya El."

Karina mengangguk-angguk. "Tapi gimanapun, nggak seharusnya balas budi pakai perjodohan begini apalagi ngelibatin El yang nggak tahu apa-apa."

"Bener. Kasian El nya nggak sih, yang di tolongin bapaknya eh malah dia yang harus balas budi. Mana balas budinya harus jagain si Aira seumur hidup lagi," timpal Chealse menggebu.

"Hussh!" Shabira menegur kedua temannya itu. "Papa nya El pasti udah pertimbangkan ini semua, bestie. Beliau juga pasti nggak asal-asalan ambil keputusan. Dan lagipula..." Shabira menjeda lantas menunduk memainkan jemarinya. "Aira cocok sama El. Mereka teman dari kecil juga, udah saling kenal lama. Aira cantik, El ganteng. Aira shaleha, El shaleh. Nggak ada yang di rugikan dalam perjodohan ini, dan nggak sepantasnya kita ngomentari hal yang bukan ranah kita."

Karina dan Chealse mencebik bersamaan. "Tetap aja... nggak bisa gitu. Apalagi dalam keadaan El nggak di kasih tahu dulu."

"Memangnya kenapa kalau El nggak di kasih tahu dulu?" Nadia ikut bersuara menatap Karina tak mengerti.

"Ya, kan, kalau Papa nya El ngabarin dulu dan ngadain runding dulu, seenggaknya El bisa nolak."

"Dan kenapa El harus nolak?" Alis Nadia terangkat sebelah, senyum remeh terpampang di wajah gadis tersebut dengan begitu arogan.

"Ya lo tahu sendiri, El demennya sama Shabira!" Chealse menyahut tidak santai.

"Oh ya? Tapi buktinya, El nggak nolak, tuh. Dia mau-mau aja di jodohin sama Aira." Nadia menjawab sambil melirik Shabira yang terdiam.

"Ya karena El orangnya patuh sama orang tua! Dia anak shaleh, nggak mungkin ngebangkang orang tuanya!" balas Karina.

Nadia terkekeh. "Gue pernah baca, kalau demi cinta, lelaki pasti rela ngorbanin segalanya termasuk menentang orang tua. Dan kalau El nggak bisa berkorban, itu artinya...."

"El bilang dia sayang sama gue." Shabira tak tahan untuk tetap diam, gadis itu menatap Nadia dengan mata sayunya. "Dia pernah sayang sama gue."

Nadia mengedikkan bahu dengan bibir bawah yang turun seolah tak percaya. "Nggak tahu deh. Bisa jadi dulu emang suka sama lo, tapi sekarang sadar kalau Ghufaira emang yang terbaik buat dia dan perempuan yang bisa imbangi El sampai akhir hidupnya ya cuma Ghufaira. Percuma juga, kan, kalau El bilang sayang sama lo tapi yang di nikahin Aira." Gadis itu tertawa mengejek lantas keluar dari bangkunya. "Gue ke kantin duluan," pamitnya kemudian.

Shabira memejam mata sambil menggumamkan istighfar berulang kali sementara Karina sudah berdiri dan hampir saja menjambak kerudung Nadia namun Chelase segera menahannya. "Kar!"

"Sini lo Nadia bangsat! Lo ada masalah apa sih sama Shabira, hah?! Lihat sahabat lo lagi sedih bukannya support kek, malah lo pojokin terus!" teriak Karina geram. "Sini lo anjing!"

"Karina!" Shabira coba melerai. "Udahlah biarin."

"Nggak bisa di biarin, Bir. Dia udah keterlaluan."

"Terus kenapa memang?" Nadia menjawab pongah, melipat tangan di dada. "Butuh banget memang dukungan dari gue, Bir? Gue, sih, sebenernya males support karena bingung mau bilang apa. Nggak mungkin, kan, gue support lo but rebut El dari Ghufaira. Lo nggak serendah itu kan Bir?"

"Emang anj—"

"Apa gue minta support dari lo?" Shabira membalas tenang, tatapannya menghunus tajam pada Nadia yang masih mengukir senyum miring. "Apa ada keluar dari mulut gue, minta tolong sama lo?"

"Yaa siapa tahu lo butuh—"

"Gue nggak butuh lo, Nad," sela Shabira. "Gue nggak butuh orang munafik kayak lo. Dan sejujurnya, support dari lo nggak gue butuhin lagi. Karena sejak lo berubah, gue udah anggap lo orang asing. Kita bukan teman, apalagi sahabatan. Ngerti?"

Karina dan Chealse sontak membekap mulut, demi menahan tawa yang hendak menyembur. Sementara Nadia berdiri dengan tangan terkepal erat sambil mengumpat dalam hati. Shabira sialan!

Namun, gadis itu enggan menampakan egonya yang terluka. Nadia memaksakan tawa lalu berkata. "Baguslah, gue juga udah nggak sudi temenan sama manusia modelan kayak lo, Bir."

Shabira mengacungkan jempol. "Jadi... apa lo bisa pergi dari hadapan gue sekarang? Gue nggak suka lihat gundukkan sampah di depan mata soalnya."

Nadia menggertakan gigi mendengar tawa Karina dan Chealse yang menggelegar, membawa segenap rasa dongkol dan marah yang membumbung tinggi di hati, Nadia akhirnya pergi dari sana sementara Shabira langsung menyandarkan punggungnya pada kursi. "Astagfirullahaladzim," gumamnya sambil menutup mata. "Gue keterlaluan nggak, sih?"

"Dikit. Tapi gue seneng dengernya," kata Chealse tertawa. "Udah nggak apa-apa, Bir. Si Nadia emang udah keterlaluan."

Karina mengangguk setuju. "Sumpah demi Allah, gue nggak rugi kehilangan sahabat kayak dia. Lega banget hati gue baru buang sampah, duh," ujarnya di sambut gelak tawa oleh Chealse.

Shabira hanya diam, dengan perasaan sedikit menyesal. Dia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan kalimat buruk itu pada Nadia, tapi apalah daya, dia juga manusia yang punya emosi dan sayangnya Shabira bukanlah orang yang sabar jika sudah emosi.

***

Bersambung...

Minggu, 05 Juni 2022.

IN THE SHADOW OF PRAYER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang