22.

522 98 13
                                    

Happy Reading

*****

"Aku mau ketemu Bu Ina!"

Setelah menyaksikan langsung gosip terhangat tadi, Bella segera bergegas menuju kantor ibunya bekerja. Baju tidur dilapisi jaket oversize serta raut wajah sembab karena habis bangun tidur, menjadi tontonan para karyawan yang hendak mencari makan siang sebab sekarang bertepatan dengan jam istirahat. Bella tidak peduli jika orang-orang memandangnya aneh. Karena siapapun yang melihatnya saat ini pasti tahu jika kondisinya lebih dari kata kacau.

"Tapi bu Ina sedang tidak–"

"Aku ini anaknya Bu Ina! Dan sekarang aku mau ketemu beliau!" Serunya marah. Nadanya naik beberapa oktaf hingga resepsionis tersebut berjengit kaget. Tidak ingin ditahan lebih lama lagi, Bella lantas membawa langkahnya ke arah lift yang nanti akan membawanya ke lantai dimana ruang kerja mamanya terletak.

Dua resepsionis tadi mengikuti langkah Bella yang telah lebih dulu sampai lift. Terus membujuknya untuk turun ke bawah agar jangan membuat keributan di kantor yang keadaannya tengah kacau akibat berita dari desainer mereka.

Bella menyentak kasar tangan salah satu resepsionis yang menahan lengannya saat ia hendak membuka pintu ruang kerja mamanya. Kala tidak ada lagi yang menahan pergerakannya ia segera masuk ke dalam ruangan.

Ina sontak berdiri saat pintu ruangannya dibuka kasar oleh anak bungsunya. Ibu tiga anak itu menelan ludahnya sulit seraya matanya menatap Bella cemas. Kepalanya terasa penuh memikirkan urusan pekerjaan yang tidak bisa ditunda sekaligus prahara rumah tangga yang tengah ramai dibicarakan.

"Bell," panggilnya lirih. Unexpected jika Bella sampai rela menginjakkan kakinya ke kantor tempatnya bekerja.

"Maaf Bu, kita–"

Ina menggeleng pelan, meminta resepsionis tersebut untuk tidak melanjutkan ucapannya. Tangannya mengisyaratkan agar dua wanita cantik itu meninggalkan ruangannya. Pintu kembali tertutup, sehingga kini hanya menyisakan seorang ibu serta anak yang meminta penjelasan.

"Berita soal perceraian itu gak bener kan ma?" Tanyanya memecah hening. Sedari tadi Bella tak henti-hentinya merapalkan doa supaya berita soal keluarganya itu hanyalah kesalahpahaman semata.

Ina mencoba kuat. Kepalanya mengangguk membenarkan jika berita soal keluarganya yang sekarang tengah berada di ambang kehancuran itu bukanlah rumor palsu, "mama udah mutusin buat ninggalin papa kamu," jawabnya masih terdengar tegar.

Kepalan tangan Bella semakin kuat, tidak peduli jika kuku jarinya melukai kulitnya. Pijakan kakinya semakin lemah, hampir saja terjatuh jika tangannya tidak refleks mencengkeram sofa di sebelah kirinya.

"Jadi mama sama papa beneran bakal cerai?" Arabella bukan gadis yang mudah menangis. Namun kali ini, saat dunianya terasa runtuh, izinkan ia mengeluarkan bulir bening yang tidak mampu dirinya tahan lagi.

Ina memilih diam. Tenggorokannya terasa tercekat saat hendak menjelaskan kondisi saat ini.

"Jadi ini alesan renggangnya hubungan keluarga kita beberapa tahun ini? Ini juga alesan kenapa mama jarang di rumah dan selalu milih habisin waktunya di kantor, karna mama pengen lupain segala hal tentang papa? Dan sekarang aku mulai paham kenapa kak Thea sama bang Kemal mutusin buat kuliah di Jogja?"

Bella menarik nafas dalam-dalam. Air matanya telah berderai deras menggenangi pipi putihnya. Rasanya sulit mengutarakan isi pikirannya disaat-saat seperti ini.

"Disini cuma aku kan yang gak tau apa-apa? Cuma aku yang gak tau kalo keluarganya lagi di ambang kehancuran?" Tanyanya, getaran suara Bella menjadi bukti betapa hancurnya ia kali ini.

[✓] Teenagers | HaruyyihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang