BAB 1 - Kesakitan Puspa.

50.5K 2.7K 62
                                    

Wanita bersurai panjang, berkaos oblong dan celana kolor kebesaran terlihat mempercepat langkahnya saat berjalan memasuki rumah. Sesekali ia melihat ke arah ponsel yang ia genggam, sambil tersenyum tipis. Terlihat jelas, kebahagiaan gadis itu di wajahnya. Namanya Puspaningrum, seorang mahasiswi ilmu psikologi tahun keempat. Gadis cenderung introvert yang sangat menyukai hujan. Bagi seorang Puspa, hujan selalu mampu menciptakan kehangatan, karena dingin pasti datang bersamaan dengan tetes air yang jatuh membasahi bumi.

"Ini gulanya, Buk." Puspa meletakan setengah kilo gula di meja dapur lalu menunjukan ponselnya yang sedang berdering ke arah ibunya. "Ningrum mau telepon dulu, jangan ganggu."

"Dasar!" jawab Ibu Puspa kesal.

Wanita itu berjalan ke arah kamar. Rumah Puspa tidak luas, jadi tidak membutuhkan waktu lama gadis itu untuk sampai di kamarnya. Ia mendudukan tubuhnya di ranjang kamar kecil miliknya, lalu sedikit membenahi penampilan meskipun panggilan yang ada hanyalah sebatas panggilan suara. "Ekheem." Puspa berdehem untuk menetralkan canggung. "Hai, Bii," sapanya ketika icon warna hijau tergeser.

"Hai," balas suara bariton di seberang.

"Nunggu lama ya? Sorry, tadi aku lagi disuruh Ibuk beli gula. Ibuk sukanya begitu, tiba-tiba--."

"It's okey, aku juga nggak akan lama kok teleponnya."

Ada secuil rasa sakit yang tak bisa Puspa tutupi. Entah karena laki-laki itu menjanjikan sebuah panggilan yang sebentar atau karena Puspa seakan merasa kehilangan untuk sesuatu yang tak jelas. "Oh, oke," jawabnya singkat.

Laki-laki yang sedang menghubunginya pagi ini adalah Arya Adiputra, kekasih yang sudah menemani hidupnya selama empat tahun. Laki-laki itu saat ini sedang menempuh pendidikan di Boston. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tak pernah berkomunikasi melalui telepon, sesekali pesan Puspa berbalas tapi hanya sebatas sebuah jawaban singkat tak berarti. Puspa selalu berpikir positif, mungkin Arya sedang fokus dengan perkuliahannya di sana.

Tahun ini adalah tahun keempat mereka menjalin kasih dan tahun kedua mereka berjuang dengan jarak. Puspa kuliah di Indonesia sedangkan Arya mengambil kuliah Post Graduate-nya di luar negeri. Seperti yang sudah bisa ditebak, Arya lahir dari kalangan orang berada dan sangat mampu hanya untuk sekedar menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Tidak seperti Puspa yang lahir dari orangtua dengan tanggungan cicilan setiap bulan ke bulan.

"Sorry, apa aku ganggu?" tanya Arya.

Pertanyaan yang Puspa anggap lucu, karena mereka berdua berada di dalam sebuah hubungan. Seharusnya hal ini bukan gangguan tapi justru keharusan. "Nggak, nggak ganggu kok," jawab Puspa setelah mampu menguasai diri. "Gimana Bii?"

Bee atau Bii adalah panggilan sayang keduanya. Karena Puspa artinya bunga dan Arya suka memanggilnya dengan panggilan itu.

"Ada satu hal yang ingin aku sampaikan."

"Apa itu?"

"Aku ingin kita putus."

Puspa membisu, bingung lebih tepatnya. Hubungan mereka baik-baik saja karena selama ini Puspa cenderung menjadi wanita yang penurut di depan Arya. Arya mengatakan untuk tidak menghubunginya terlebih dulu, ia lakukan. Arya mengatakan untuk tidak memposting atau menunjukan hubungan mereka, Puspa pun menurut. Selama ini tak pernah sekalipun Puspa menuntut lebih. Bagi Puspa, dengan Arya yang mencintainya itu sudah lebih dari sekedar cukup. "Haha, Mas Arya nge-prank ya?" tawanya lepas. "Ketahuan ih."

"Aku serius."

Puspa bisa mendengar dengusan sebal di seberang lalu kembali menajamkan pendengaran ketika tawanya tak mendapat balasan. "Tapi ... bukankah selama ini kita baik-baik saja, Bii?" tanya Puspa mulai khawatir.

"Aku merasa hubungan kita hambar, monoton. Maaf Puspa, keputusan saya sudah final."

Rasa sesak datang bersamaan sakit yang menghantam tepat di relung hati Puspa. Seseorang yang beberapa menit lalu terasa dekat kini benar-benar jauh untuk direngkuh. Arya mengatakan kalimat itu lugas, tak terdengar keraguan di dalamnya.

"Apa aku —ada salah?" tanya Puspa sekali lagi.

"Tidak."

"Aku kurang apa?"

"Tidak ada."

"Lalu?"

"Ya itu, aku hanya merasa hubungan ini hambar."

"Mas Arya bosan sama Puspa?"

Jeda dibiarkan Arya sepi tanpa suara. Helaan nafas terdengar pelan dan berat, Puspa menggigit bibirnya sendiri karena khawatir. Kilasan bayangan masalalu mereka yang indah berebut meminta perhatian lebih. Puspa merindukan Arya-nya. Sangat!

"Iya."

Tujuh bulan yang lalu Arya sempat kembali ke Indonesia dan laki-laki itu sama sekali tidak berbeda. Arya-nya masih miliknya. Tapi kenapa tiba-tiba dia berubah?

Tahun ini seharusnya menjadi tahun terakhir perjuangan mereka melawan jarak. Tentu Puspa tidak akan serta merta menyerah dengan hubungan keduanya. Puspa tetap akan memperjuangkan hubungan mereka, bukankah begitu seharusnya? "Aku nggak mau," jawabnya. Dia mencintai Arya, sangat.

"Loh, kalau aku sudah nggak mau sama kamu terus gimana?"

Sakit! Rasanya sakit.

"Mas, Aku cinta sama Mas Arya."

"Tapi aku enggak, aku udah bosen sama kamu, hubungan kita hambar."

"Bukankah Mas Arya bisa berjuang lagi? Bukankah itu yang dulu Mas Arya janjikan? Sebuah perjuangan."

"Sorry aku kalah."

Kenapa kalimat-kalimat menyakitkan begitu mudah keluar dari bibir yang selama ini selalu mampu menenangkannya? "Aku, —aku sudah memberikan semuanya untuk Mas Arya. Lalu aku harus bagaimana?"

"Kita melakukannya karena mau sama mau, Puspa. Tidak mungkin kamu membelengguku hanya karena sebuah tanggung jawab yang kamu juga melakukan itu tanpa paksaan."

Kalimat Arya menghentikan isakan tangis Puspa.

"Intinya aku sudah nggak mau sama kamu. Bukankah seharusnya kalimatku sudah jelas?"

"Tapi Puspa nggak mau."

"Terserah kamu lah! Yang jelas bagiku, kita sudah selesai."

Beep.

Panggilan itu diputus sepihak. Kisah cinta yang Puspa rajut dalam waktu empat tahun kandas melalui sebuah panggilan telepon mendadak. Secepat itukah dunia memutar takdirnya?

Namun Puspa tak pernah putus asa, ia tetap menghubungi Arya di hari-hari berikutnya. Ia masih ingin berjuang, sesuatu yang selalu digadang-gadangkan Arya selama ini. Setiap hari ia selalu mencoba menghubungi Arya, meskipun dengan itu ia harus merogoh uang yang tidak sedikit. Setiap hari ia mengirimkan pesan meskipun tak pernah berbalas. Hingga tiga bulan setelahnya, Puspa masih bertahan dengan harapan bahwa Arya hanyalah bosan tapi cinta seharusnya masih dimiliki laki-laki itu.

Sebuah potret yang ia temukan di beranda media sosial Arya menegaskan sesuatu yang ternyata sudah benar-benar hilang. Potret seorang wanita cantik yang berdiri di samping Arya, diantara keluarga yang belum pernah sekalipun Arya kenalkan padanya. Tubuh itu jelas milik Arya yang biasa memeluknya. Tubuh itu-lah yang dulu selalu bisa melindungi Puspa dari dunia yang seringnya mengecewakan. Dan tubuh itu-lah yang kini justru menciptakan kekecewaan besar dalam hidup Puspa setelahnya.

Laki-laki itu sudah bersama dengan wanita lain. Lalu bagaimana dengan Puspa?

Puspa kehilangan Arya,kehilangan semuanya termasuk dirinya sendiri.

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang