PART 19 - Pergi mendadak.

17.2K 1.9K 17
                                    

Satu pesan yang cukup membuat Puspa harus membacanya berulang kali. Sebuah ajakan makan siang bersama dari orang yang jelas-jelas duduk berdekatan dengan dirinya.

Raka.
Nanti siang kita makan di luar, gue yang traktir.

Me :
Tumben.

Tidak ada lagi jawaban dari manusia di samping Puspa lalu ia kembali berkutat dengan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk.

Sudah satu minggu sejak kepergiannya ke Jogja, sejak pertemuan mengejutkannya dengan Arya. Laki-laki itu tak lagi menampakan batang hidungnya, bahkan saat waktu sarapan tiba Arya tak pernah lagi menemani Puspa di balkon. Mungkin Arya benar-benar menyesali perbuatannya.

Ya, tentu saja! Laki-laki itu tidak mungkin menukar kehidupannya yang sempurna hanya demi bersama Puspa.

Jam menunjukan pukul duebelas siang, sudah waktunya makan siang untuk kalangan budak corporate seperti Puspa. Ia melihat Raka yang keluar terlebih dahulu lalu satu pesan ia terima saat laki-laki itu sudah menghilang dari ruangan.

Raka:
Gue tunggu di depan outlet kopi. Gue udah bawain helm lo.

Puspa membaca pesan itu lalu mengambil jaketnya untuk menemui Raka. "Mbak Dwi, gue izin makan siang di luar ya," ucap Puspa.

Mbak Dwi melihat Puspa yang sudah berdiri dengan menenteng tas dan jaketnya.

"Janji nggak lama kok, jam satu sudah sampai kantor," tambah Puspa.

"Oke," jawab Mbak Dwi singkat.

Puspa berjalan ke luar kantor. Ia sedikit berlari karena tak ingin Raka terlalu lama menunggu. Raka kalau ngomel sudah melebihi emak-emak yang sedang berada di fase pra-menopause. Galak!

"Lama," kesal Raka saat melihat wanita yang ia tunggu datang.

"Izin dulu sama Mbak Dwi."

"Dia bukan bos, Puspa. Yang penting kita balik tepat waktu."

"Iya, iya. Daripada ngomel mending kita jalan deh, Ka."

Raka menyiapkan footstep untuk Puspa naik lalu menjalankan motornya saat wanita itu sudah siap.

Perjalanan keduanya tidak lama, Raka membawa Puspa ke warung nasi padang terdekat dari kantor. Kata Raka ini adalah warung padang terenak yang pernah ia makan. Apalagi, harganya juga tidak terlalu mahal.

Raka menyerahkan satu bungkus kopi ke arah Puspa saat mereka sudah duduk di meja.

"Tadi nunggu tuan putri yang lama gue sempetin beli kopi. Kaya-nya lo tadi belum minum kopi."

"Cie, perhatian banget sih lo." Puspa mengambil bungkusan itu dengan wajah ceria.

"Emang! Lo-nya aja yang nggak peka."

Puspa membuka kopinya lalu menatap Raka dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Kenapa?" tanya Raka.

"Kok latte?"

"Biar ada manis-manisnya. Hidup itu harus banyak rasa. Nggak suka?" tanya Raka.

"Suka kok," jawab Puspa akhirnya. Meskipun sedikit terpaksa hanya karena demi menghargai Raka yang sudah membelikannya kopi. Karena sebenarnya, Puspa mengharapkan es kopi hitam seperti sebelumnya.

Mereka mengambil makanan masing-masing lalu melanjutkan makan dalam diam. Setelah selesai makan, Raka meminta untuk tinggal sebentar.

"Ada yang mau gue omongin."

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang