Kalau aku mengatakan karena aku masih mencintaimu, apa kamu percaya?
Dalam setiap langkah kaki Puspa, kalimat itu terngiang seakan tak mau lepas dari otaknya. Arya yang mengucapkan dengan wajah frustasi penuh tekanan. Arya yang mengucapkan dengan mata yang menunjukan keteguhan. Semua itu terekam jelas di kepala Puspa.
Selama ini Puspa selalu menanamkan di hatinya bahwa Arya sudah menghianati cintanya, meninggalkannya demi wanita lain yang lebih sempurna. Tapi sekarang, Puspa mulai meragu alasan dibalik kepergian Arya.
Benarkah selama ini hanya dirinya yang tersakiti?
Ada sesak yang berkumpul di dada, tak sedikitpun terjeda meskipun sekuat tenaga Puspa mencoba untuk tidak mempercayai kalimat Arya. Nyatanya kalimat itu adalah kalimat yang masih sangat ia harapkan untuk kembali terdengar.
"Semua itu hanyalah kebohongan," batin Puspa lirih. Ia mencoba mengusir kebodohannya saat mulai terpengaruh dengan kalimat yang baru saja Arya ucapkan.
Puspa menatap pantulan dirinya sendiri di depan kaca wastafel toilet. Seorang wanita biasa dengan rambut kucir kuda polos. Seorang anak yang tumbuh dari keluarga yang tak utuh. Sampai kapanpun Puspa tak akan pernah sebanding dengan Arya.
Setelah ia meninggalkan ruang kerja Arya, Puspa memilih melarikan diri ke toilet, seperti biasa. Puspa membasuh wajahnya dan mengambil waktu sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan logikanya yang menguap saat mendengar ucapan cinta dari Arya.
Derap langkah mendekat memaksa Puspa memejamkan matanya kuat-kuat. Dan saat mata itu terbuka, ia menemukan sosok Arya yang sudah berdiri di balik tubuhnya.
"Aku mencintaimu, sejak dulu sampai sekarang," ucap Arya dengan mata mereka yang tertaut melalui kaca wastafel. "Kamu adalah wanita yang tak pernah tergeser sedikitpun di sini," tunjuk Arya ke dadanya.
Puspa tidak percaya! Jika cinta tak bisa membuat Arya bertahan di sisinya, maka semua yang keluar dari bibir laki-laki itu hanyalah kebohongan belaka. "Kenapa kamu masih berniat menyakitiku? Kenapa kamu tak pernah puas memberikan harapan kepadaku?!" Puspa mulai kehilangan akal. Ia marah dan benci kepada Arya dan dirinya sendiri yang masih saja lemah.
"Aku tahu kamu tidak akan pernah percaya dengan ucapanku, Bii," jawab Arya kecewa. Arya menghela nafasnya berat sambil tersenyum palsu yang terasa menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya.
Puspa memutar tubuhnya untuk menatap ke arah Arya langsung. Ada buncah rasa yang luar biasa menyiksa saat melihat laki-laki itu kembali berdiri di hadapannya dengan kalimat cinta. Lima tahun Puspa memupus harapan untuk mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaannya untuk Arya. Lima tahun Puspa mencoba membunuh rasa sakit yang selalu menghantuinya. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku," ucap Puspa lirih.
"Aku sudah mengatakan aku mencintaimu! Aku hampir mati, gila karenamu! Bagaimana aku bisa menyakitimu jika air matamu itu menyiksaku!" Arya berteriak lalu menendang dengan keras tempat sampah yang ada di sudut ruangan hingga jatuh berserakan.
Arya melepaskan emosi yang bersirobok di dalam hati. Ia lalu mendekat, mengikis jarak ke arah wanita yang masih terkejut dengan semua yang terjadi begitu banyak dan cepat. Arya merangkum wajah Puspa dan memaksa wanita itu untuk melihat ke arahnya. "Aku mencintaimu, Puspa. Aku mencintaimu!" ucap Arya dengan sorot mata tajam dan otot-otot yang tercetak jelas di kulitnya. Ada rasa kecewa dan marah saat Puspa tak mempercayainya.
"Kenapa?" tanya Puspa tercekat. "Kenapa kamu meninggalkanku jika ... kamu mencintaiku?" Setelah lima tahun ia menyimpan pertanyaan itu seorang diri, akhirnya siang ini ia mampu bertanya langsung ke sumber kesakitannya.
"Karena aku pengecut," jawab Arya lirih. "Aku pengecut karena tak berani menunjukan kesalahanku. Aku tak ingin kamu membenciku karena pengkhianatan, aku mau kamu merindukanku yang meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku takut kehilangan cintamu jika kamu tahu ... aku —aku sudah menghamili wanita lain saat masih menjalin hubungan denganmu."
Rasa sakit yang sebelumnya mulai terbiasa kini kembali bermunculan dengan rasa sakit yang asing. Hati Puspa tercubit banyak, ngilu dan sesak. Meskipun mereka sudah tidak berada di dalam sebuah hubungan, fakta Arya menghamili wanita lain saat bersamanya semakin menghancurkan Puspa.
"Aku mabuk, Ivy telanjang di depanku dan aku kalah."
Sebuah tamparan Arya dapatkan di pipi kanannya.
"Kamu egois!" ucap Puspa. Satu tamparan kembali ia dapatkan di sisi lainnya. "Selama lima tahun aku menunggu penjelasan darimu. Selama bertahun-tahun aku menunggumu kembali melihatku, tapi yang aku dapatkan justru kamu yang sudah melangkah jauh meninggalkanku." Puspa mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di hatinya.
"Aku minta maaf."
"Aku membencimu."
Puspa melepaskan diri dari kungkungan Arya tapi laki-laki itu kembali menahan tubuhnya untuk tetap berada pada tempatnya. Arya kembali memojokan tubuh Puspa ke dinding, lalu mengunci tubuh wanita itu disana. "Bukan hanya kamu yang tersakiti, Bii. Aku —aku tidak pernah merasa hidup sejak kehilanganmu."
"Bohong! Aku tidak akan percaya lagi dengan setiap kata-katamu."
"Itu fakta, aku membenci takdirku! Aku membencimu yang bisa tertawa lepas bersama laki-laki lain sedangkan aku harus terpuruk di dalam sebuah keluarga yang tak ada cinta di dalamnya. Hidupku hambar tanpa kamu, aku —."
"Arya, lepaskan aku." Jarak mereka terlalu dekat, bahkan Puspa mampu merasakan deru nafas Arya yang hebat.
"Katakan apa yang harus aku lakukan? Katakan apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku?!" tanya Arya menuntut dengan menekankan setiap kalimat demi kalimat. "Aku meninggalkan diriku seutuhnya pada dirimu, Bii."
Tangan Arya menahan kedua tangan Puspa di dada. Laki-laki itu berharap Puspa merasakan kejujurannya, merasakan cintanya yang masih sama. Ada tetes air mata Arya yang jatuh membasahi pipi. Hal yang memaksa Puspa untuk melakukan yang sama. Ia lelah untuk berpura-pura kuat. Mereka berdua lelah untuk berpura-pura bisa. "Bagaimana aku bisa hidup jika bahagiaku kamu?" tanya Arya dengan mengusap pipi Puspa lembut.
Laki-laki itu terlihat begitu berhati-hati mengusap wajah Puspa, seakan wajah itu mudah retak dengan sentuhannya. Ia menyatukan keningnya dengan kening Puspa. Ia berharap bisa membagi kesedihan yang selama ini ia rasakan seorang diri. "Aku tahu aku salah, aku pengecut. Aku menjaga semua-nya tapi lupa caranya menjaga diriku sendiri," tambah Arya dengan isakan yang semakin menjadi. "Bii, katakan aku harus bagaimana? I need you, Bii."
Tangis Arya pecah, ia mendudukan tubuhnya di hadapan Puspa yang membeku. Laki-laki itu memeluk tubuh Puspa dengan kuat, seakan takut wanita itu kembali meninggalkannya sendirian.
"Arya ..."
"Aku mohon biarkan seperti ini —sebentar saja."
Lama mereka terdiam dalam keheningan. Satu-satunya suara yang mendominasi ruangan ini hanyalah isakan Arya yang terasa menyesakkan bersamaan dengan isakan Puspa yang rapuh.
"Saat kamu memutuskan hubungan kita melalui panggilan telepon, aku bingung, tak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang dulunya dekat bisa semudah itu melepas?" ucap Puspa memecah sepi.
"Satu bulan pertama aku masih terus menghubungimu, tiga bulan berikutnya aku mulai takut kehilanganmu. Dan saat aku menemukan potret dirimu bersama wanita lain, mulai detik itu juga aku sadar bahwa aku sudah benar-benar kehilangan Arya-ku. Tumpuanku selama ini saat orangtuaku sibuk dengan kehidupannya masing-masing." Puspa bermonolog, tak berminat membuka sebuah percakapan.
"Aku selalu bertanya, salahku dimana? Apa aku pernah membuatmu marah? Apa aku tidak baik? Apa aku kurang cantik? Apa ... aku kurang sepadan? Semua prasangkaku selalu berujung pada diriku yang masih belum cukup pantas untuk bersanding denganmu."
"Kamu—."
"Aku belum selesai," ucap Puspa menghentikan kalimat Arya yang seharusnya panjang. "Sampai saat pertama kali pertemuan kita, aku sadar diri bahwa memang kita tak akan pernah sebanding. Kamu terlalu tinggi di atas dengan kehangatan keluarga yang dulu pernah aku idam-idamkan."
"Dulu hanya ada kamu di masa depanku, Bii," putus Arya menjeda. "Hanya ada kamu."
Puspa membawa tubuh Arya berdiri. Mereka sempat berbicara melalui mata yang saling menatap —lama. Puspa menelisik garis wajah Arya yang begitu dekat, raut wajah yang menunjukan kerapuhan dengan air mata yang membasahi. Puspa menarik kepala Arya mendekat dan tangis keduanya pecah saat semua perasaan berkecamuk di dalam dada.
"Aku adalah laki-laki pengecut yang bersembunyi di balik kebahagiaan palsu. Aku hancur, Bii."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)
RomanceCerita selesai. Lengkap. ❤️ Puspa pernah berharap Arya adalah jawaban dari setiap doa yang ia langitkan. Sebuah pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Tetapi pada akhirnya, laki-laki itu justru menjadi salah satu cobaan dari seki...