Puspa hanya diam membisu saat memasuki minibus yang membawa beberapa karyawan termasuk dirinya. Minibus itu hendak membawa Puspa dan teman-temannya yang lain ke Yogyakarta. Ia melihat ke arah Raka yang sedang tersenyum penuh arti, duduk berseberangan di kursi yang sama. Berulangkali ia mencoba memahami jalan pikiran Raka, yang dengan berani memasukan namanya di dalam daftar list dinas luar tanpa persetujuan Puspa. Sesuatu yang memaksa Puspa mendiamkan laki-laki itu sejak informasi itu sampai ke telinganya.
Puspa tidak suka tapi dia tetap harus berangkat ketika Mba Dwi memaksanya ikut.
"Anggep aja healing, Puspa," bisik Raka lalu Puspa menatapnya marah. "Eh, Ningrum. Eh, suka-suka gue lah ya manggil lo apa."
Puspa masih mengunci bibir, melihat ke arah depan tanpa berniat menanggapi kalimat-kalimat godaan Raka yang menyebalkan.
"Ck, sorry deh. Gue cuma mau ngajakin lo jalan-jalan doang. Dinas luar itu dijamin mengesankan, nggak ada yang nggak mendaftarkan diri buat ikut kecuali lo." Raka masih tetap keukeuh bahwa apa yang ia lakukan adalah demi kebaikan Puspa. "Ningruum, lo masih ngambek?"
"Gue nggak suka jalan-jalan, Raka. Gue suka di rumah dan sendiri."
"Kenapa? Apa enaknya di rumah sendiri?"
Puspa mengetatkan jaket ketika dingin mulai mendominasi. Mereka bersama-sama berangkat dini hari ketika hujan masih sangat deras-derasnya. "Lo nggak akan ngerti."
Puspa sekuat tenaga mengecilkan suara. Meskipun dia duduk di barisan belakang dan hanya berdua dengan Raka tapi tidak menutup kemungkinan suaranya akan terdengar orang lain. Puspa tidak mau menimbulkan salah persepsi diantara teman-teman lainnya.
Mobil minibus kembali berjalan, dengan Raka dan Puspa yang memilih menyimpan kebisuan. Dia memang terlalu berani memasukan nama Puspa di dalam list dinas luar, padahal mereka tidak sedekat itu. Hanya saja, Raka ingin Puspa melihat dunia tidak hanya dari kacamatanya saja.
Selama perjalanan Puspa memilih duduk di paling ujung kursi dengan Raka yang duduk di seberang lainnya. Mereka berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar, duduk berjauhan. "Kaki lo taruh sini aja kalau capek," Raka menepuk bagian tengah kursi yang kosong. Kursi ini cukup luas untuk mereka berdua.
"Nggak usah."
"Kaki lo capek ketekuk terus, Ruum."
"Gue nggak apa-apa begini," jawab Puspa menolak.
Setelah hampir dua belas jam perjalanan mereka sampai di Yogyakarta. Kota pelajar yang katanya banyak menyimpan kenangan. Tapi bagi Puspa, kota ini terasa asing. Lama usia Puspa yang menginjak hampir dua puluh tujuh tahun, tidak pernah sekalipun Puspa datang ke kota ini. Semua hidup Puspa ada di Jakarta. Kedua orangtua dari ayah dan ibunya sudah tiada, jadi tidak ada tujuan keduanya pulang ke kampung halaman.
"Gue sudah bilang buat naruh kaki di kursi. Capek kan?" tanya Raka saat melihat Puspa yang memukul-mukul kakinya sendiri.
Mereka berhenti di hotel kawasan malioboro. Beberapa penjual terlihat membuka lapaknya di depan hotel. Ada daster, batik bahkan sampai tas-tas tradisional yang unik. Banyak teman Puspa yang datang mendekat tapi tidak dengan Puspa yang memilih langsung ke kamarnya.
"Lo jadi satu kamar sama Mbak Dwi ya," ucap salah satu karyawan wanita yang tidak ia kenal. Meskipun semua karyawan datang dari divisi yang sama tapi tugas dan bidang mereka berbeda. Itulah sebabnya banyak manusia-manusia asing disekitar Puspa. Termasuk wanita itu.
Mereka semua tahu Mbak Dwi adalah senior rese yang dihindari untuk tinggal di kamar yang sama. Dan seperti biasa, Puspa selalu mendapatkan yang tidak orang lain inginkan. Seandainya ada Ayuk, pasti hidupnya tidak akan serunyam ini. Wanita itu ikut dinas luar tapi dia mendapatkan kota Malang sebagai tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)
RomanceCerita selesai. Lengkap. ❤️ Puspa pernah berharap Arya adalah jawaban dari setiap doa yang ia langitkan. Sebuah pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Tetapi pada akhirnya, laki-laki itu justru menjadi salah satu cobaan dari seki...